Suara dari Dinding-dinding Kota
Di satu sisi, grafiti dan mural mendongkrak segi artistik sebuah kota. Di sisi lain, dia dipandang mendegradasi keindahan kota. Barangkali tergantung siapa yang tengah berkuasa di kota itu.
Taliban baru saja memasuki Kabul, Minggu (15/8/2021). Di tengah kepanikan dan kekacauan yang menyeruak, Omaid Sharifi bersama rekan-rekannya menggambar mural di dinding di tepi jalan kota itu. Gambarnya mengingatkan Sharifi pada adegan terkenal film Titanic saat para musisi tetap bermain musik sampai kapal itu karam.
”Selamat pagi Kabul, kami menggambar mural hari ini. Aku harap kalian menikmatinya saat melihat penderitaan kami, dunia,” cuitnya di Twitter, mengiringi unggahan video.
Baca juga: Wiji Thukul, Grafiti, dan Nada Kegelisahan di Tembok Kota
Dalam video terlihat tiga orang bersiap menggambari dinding. Di jalan, kendaraan berlalu lalang. Suara klakson terdengar beberapa kali. Beberapa orang tampak berjalan dan berbincang.
Bagi Sharifi, salah satu pendiri organisasi ArtLords, juga bagi banyak orang yang mengalami pengambilalihan kekuasaan di Afghanistan oleh Taliban, masa depan tidaklah pasti. ”Rasanya seperti, aku tidak yakin aku bisa melukis lagi. Aku tidak yakin gambarku (mural) akan tetap di sana besok. Tapi, hari ini, beberapa jam lalu, aku masih menggambar di jalanan Kabul. Aku harap bisa melakukannya lagi,” ujar Sharifi, seperti dikutip media NPR.
Omaid Sharifi, salah satu pendiri Artlords, kelompok seni rupa jalanan di Kabul, Afghanistan. Sharifi merasa, karya muralnya fokus pada empati dan kebaikan. Dia yakin negerinya yang terluka butuh penyembuhan. Cara dia, melalui seni jalanan atau street art.
Melansir laman The Guardian, 15 Juli 2020, kota-kota di Afghanistan penuh dengan dinding penahan serangan sebagai antisipasi memburuknya situasi keamanan selama bertahun-tahun. Sejak 2014, Artlords—permainan kata warlords (panglima perang lokal) dan drug lords (gembong narkoba)—telah memberikan sentuhan warna-warna hidup pada dinding penahan yang suram itu.
Lihat video: Boleh Kritik Melalui Mural, Asal...
Kelompok ini terdiri atas 10 seniman dan 35 relawan. Sejak berdiri, Artlords telah menggambar hampir 2.000 mural di 19 dari 34 provinsi di Afghanistan. Beberapa proyek merupakan kerja sama dengan badan-badan di PBB. Lainnya adalah karya independen untuk memantik perdebatan.
”Kami ingin menjadi suara rakyat melalui karya seni. Kami ingin menjamin agar mereka yang berkuasa mendengar suara ini dan malu. Mereka harus tahu rakyat tidak akan lupa kejahatan yang mereka lakukan di masa lalu,” ungkap Sharifi.
Warga berlutut saat protes antirasisme di dekat mural pemain sepak bola dari klub Manchester United, Marcus Rashford, di dinding Coffee House Cafe di Copson Street, Withington, Inggris, 13 Juli 2021. Seperti halnya di Kabul, di banyak kota di dunia, visualisasi di dinding, baik berupa mural maupun grafiti, menyuarakan isi hati dan pikiran pembuatnya. Karya ini awalnya berupa goresan di tempat-tempat umum yang bisa dilihat banyak orang. Jika ditengok ke belakang, cara komunikasi semacam ini telah dilakukan nenek moyang manusia yang hidup di gua.
Sejumlah referensi menyebutkan, mural merupakan kata sifat dalam bahasa Spanyol, merujuk pada segala sesuatu yang melekat di dinding. Mural lantas berubah menjadi kata kerja dan mulai digunakan pada awal abad ke-20.
Baca juga: Mural untuk Menyampaikan Pesan
Adapun ’grafiti’ berasal dari kata dalam bahasa Italia, graffiato. Grafiti digunakan untuk merujuk pada karya seni yang dibuat dengan mengguratkan desain di atas sebuah permukaan.
Mengutip laman The Art Story, goresan di dinding ini bisa berupa coretan, tulisan, gambar, atau lukisan. Semasa Perang Dunia II, sketsa sederhana berupa figur kepala gundul berhidung besar mengintip dari balik dinding disertai frasa ”Kilroy was here” atau ”Kilroy di sini” menjadi populer di kalangan tentara. Goresan ini dinilai sebagai cara tentara untuk ”terlihat” sekaligus mengekspresikan rasa senasib sepenanggungan mereka di negeri asing di tengah kecamuk perang.
Sekitar 1960 hingga 1970, grafiti menjamur di New York, Amerika Serikat, berkelindan dengan musik hip-hop, subkultur jalanan, dan temuan semprotan aerosol. Awalnya pelaku disebut tagger atau penanda karena karyanya berupa tanda diri, misalnya kombinasi nama dan angka. Sebutlah semacam Frodo 504. Lokasi yang banyak menjadi sasaran grafiti kala itu terowongan dan gerbong kereta bawah tanah.
Dalam perkembangannya, sekitar akhir 1970, grafiti tidak sebatas tanda atau tulisan, tetapi telah memasukkan gambar. Masa ini melambungkan nama seperti Jean-Michel Basquiat dan Keith Haring yang berkarya di New York.
Baca juga: Mural di Sudut-sudut Kota
Pada 1980-an, Tembok Berlin sisi barat sepenuhnya menjadi galeri mural karya-karya seniman dari seluruh dunia. Sejak 2000-an, kesan atas grafiti mulai berubah, di antaranya berkat sosok Banksy. Seniman jalanan di Inggris yang digambarkan selalu mengenakan penutup wajah ini menciptakan titik balik seni jalanan.
Karyanya dikenal satir, mengombinasikan grafiti dengan humor gelap dalam teknik stensil unik. Dia telah menggambari jalanan, dinding, dan jembatan di berbagai kota di dunia. Karya-karya Banksy bisa saja tahu-tahu muncul di dinding rumah seseorang dan kini bernilai tinggi.
Seniman jalanan membuat grafiti bertuliskan ”No Copa America” di dinding Campin Stadium selama protes menetang Kolombia sebagai tuan rumah turnamen sepak bola Copa America di Bogota, 19 Mei 2021.Seni jalanan awalnya dianggap sampah. Namun, dalam perkembangannya, seni jenis ini mendapatkan pengakuan dan apresiasi yang makin luas di masyarkat. Toh tetap saja, mereka yang kontra masih saja ada sampai sekarang.
Tahun 1980-an, grafiti dianggap problem kota di New York karena dianggap mengotori, menimbulkan ketakutan dan kebingungan, hingga menggambarkan kurangnya kewibawaan otoritas kota. Mereka yang dicurigai membuat grafiti jadi sasaran aparat. Di berbagai kota dunia, dinamikanya kurang lebih sama. Di satu sisi, grafiti dan mural mendongkrak segi artistik sebuah kota. Di sisi lain, dia dipandang mendegradasi keindahan kota.
Di satu sisi, grafiti dan mural mendongkrak segi artistik sebuah kota. Di sisi lain, dia dipandang mendegradasi keindahan kota.
Seperti dilansir laman BBC dalam artikel Street Art: Crime, Grime, or Sublime? pada 16 Desember 2016, seni jalanan kerap dilihat sebagai indikator apakah kota itu vibran atau lesu. ”Sangat bergantung pada opini individu tentang perilaku yang diterima di ranah publik. Tetapi jelas, bagi saya, semakin banyak orang yang menganggap seni jalanan sebagai fenomena positif,” kata Richard Clay, profesor humaniora digital pada Universitas Newcastle.
Kota Callington di Cornwall, Inggris, punya mural di seantero kota. Pemerintah setempat bahka nmempromosikannya sebagai tujuan wisata. Sementara masih di Inggris, otoritas kota Clacton-on-Sea menganggap mural karya Banksy berupa sekelompok burung merpati membawa tulisan anti-imigrasi untuk seekor burung eksotis sebagai kebodohan.
Baca juga: Bekreasi lewat Kartun di Tembok Kampung
Kota Bogota di Kolombia juga memiliki banyak dinding yang didedikasikan untuk seni jalanan dan menjadikannya gerakan artistik yang kuat. Namun belakangan, pemerintah setempat menentang dengan alasan vandalisme, merusak properti, dan mencemari pemandangan.
Kendati menghadapi tantangan, bahkan yang ekstrem seperti dialami Sharifi di Kabul, mural dan grafiti akan terus hidup selama masih ada dinding dan sesuatu untuk disuarakan. Mengutip sebuah grafiti di New York tahun 1986, ”Jika grafiti itu kejahatan, semoga Tuhan mengampuni kami”.