Wiji Thukul, Grafiti, dan Nada Kegelisahan di Tembok Kota
Tembok kota seakan menjadi jalan akhir untuk menyuarakan keresahan saat cara-cara formal tidak bermuara. Memahami makna yang disampaikan melalui goresan di setiap tembok kota adalah kunci menghadapi fenomena mural ini.
Boleh jadi, tembok kota adalah jalan terakhir yang dimiliki oleh sebagian masyarakat untuk menyuarakan keresahannya saat cara-cara formal tidak bermuara. Atau, inilah satu-satunya cara yang dimiliki oleh kaum marjinal untuk menyampaikan keluh kesahnya kepada penguasa.
Suka ataupun tidak, harus diakui bahwa tembok kota adalah bagian yang turut merekam perjalanan sejarah bangsa. Saking pentingnya, kata tembok bahkan pernah digunakan sebagai metafora dalam sebuah sajak pada dekade 1980-an.
Saat itu, Wiji Thukul, penyair kelahiran Surakarta, Jawa Tengah, 23 Agustus 1963, menulis sebuah sajak berjudul ”Bunga dan Tembok”. Dalam sajaknya, Wiji mencoba menggambarkan masyarakat seumpama bunga dan pemerintah seperti tembok yang sulit untuk diajak berdiskusi. Namun, pada tembok inilah disemai bebijian dengan harapan bunga dapat tumbuh di antara dinding dan tembok yang kokoh.
Sajak ini dapat menggambarkan suasana zaman kala itu. Saat suara-suara dibungkam dan pemerintah seperti tembok yang sulit mendengar kegelisahan masyarakat.
Wiji mencoba mengingatkan bahwa tembok tersebut bisa saja roboh berkat bibit bunga yang tak lama lagi tumbuh mengitari tembok tersebut. Sajak ini hidup, bersuara, dan menjelma menjadi kenyataan pada tahun 1998.
Metafora tembok yang digunakan oleh Wiji juga merupakan cermin bagi Indonesia bahwa suara-suara masyarakat sering kali disampaikan melalui tembok.
Jika menengok catatan sejarah Indonesia, tembok di jalanan memang kerap menjadi ruang ekspresi dalam berbagai situasi. Bahkan, pada zaman prasejarah, dinding goa telah digunakan sebagai sarana komunikasi saat itu.
Pada era sejarah modern dan kontemporer, dinding atau tembok juga digunakan untuk menyampaikan beragam ekspresi dengan berbagai tujuan. Pada awal kemerdekaan, misalnya, pesan dan propaganda kemerdekaan banyak disampaikan melalui tembok-tembok kota.
Dalam catatan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), tembok dimanfaatkan oleh pejuang republik untuk menyampaikan beragam kalimat propaganda. Saat tentara Belanda di bawah Nederlands Indie Civil Administration (NICA) datang ke Indonesia, misalnya, terdapat coretan di tembok dengan tulisan ”No Indonesian Cares About the NICA”.
Tulisan dalam tembok di jalanan ataupun rumah dengan menggunakan bahasa Inggris memang cukup banyak ditemui pada awal kemerdekaan. Selain untuk membangkitkan semangat juang, kalimat-kalimat ini juga ditujukan agar mudah dipahami oleh pasukan asing yang berada di Indonesia.
Sejumlah tulisan di tembok dalam bahasa Inggris yang terekam dalam catatan sejarah bangsa pada periode revolusi di antaranya ialah ”We Are A Free Nation Conceived in Liberty”, ”Away with Colonies, for the Right of Self Determination”, dan ”We Don’t Ask for Freedom, We’ve Got The Right to It”.
Melalui tulisan-tulisan ini, para pejuang berusaha mengirimkan pesan bahwa kemerdekaan adalah hak yang dimiliki oleh setiap bangsa, termasuk Indonesia, sehingga tidak dapat diganggu oleh siapa pun.
Selain dalam bahasa Inggris, tulisan di tembok kota dalam bahasa Indonesia juga cukup banyak ditemui. Salah satu yang terpotret di antaranya ialah tulisan dalam sebuah tembok rumah seperti ”Maoekah kita didjadjah lagi? Tidak!”, serta ”3½ abad diperboedak, 3½ tahun ditelandjangi”.
Coretan pada tembok jalanan dan dinding rumah ini adalah grafiti pada zamannya. Nada-nada keresahan berbalut semangat revolusioner berbuah suatu gerakan yang kian membangkitkan semangat para pejuang.
Saking berharganya, catatan tentang ”grafiti jalanan” era revolusi ini sempat disinggung oleh Presiden Soekarno dalam pidato kenegaraan saat perayaan HUT RI tanggal 17 Agustus 1956. Dari kacamata politik, hal ini membuktikan bahwa grafiti jalanan saat itu telah berhasil menjadi daya tarik politis dalam catatan sejarah bangsa.
”Di tembok-tembok rumah, di tembok-tembok jembatan, orang tuliskan isi hatinya dengan singkat, tetapi tegas: ”Indonesia never again the lifeblood of any nation”, ’Indonesia tidak lagi akan jadi darah-hidupnya sesuatu bangsa asing’; ’we fight for freedom, we have only to win’,’kita berjoang untuk kemerdekaan, kita pasti menang’,” kata Soekarno dalam pidatonya saat mengenang semangat masyarakat Indonesia pada lustrum 1945-1950.
Baca juga : Yogyakarta dan Pesan Kemerdekaan Soekarno
Ruang Orde Baru
Tembok jalanan masih menjadi medium ekspresi masyarakat saat Indonesia berada di bawah rezim pemerintahan Soeharto. Bahkan, saat terjadi peralihan kekuasaan, entah siapa pencetusnya, dukungan terhadap Soeharto sempat menggema di antara tembok jalanan pada tahun 1966.
Harian Kompas mencatat terdapat beberapa kalimat yang menunjukkan arah dukungan pada Soeharto pada saat peralihan kekuasaan yang dituangkan dalam lorong tembok jalanan Ibu Kota. Beberapa tulisan, seperti ”Pak Harto, rakjat tetap di belakangmu,” atau ”Hitam Pak Harto, Hitam Rakyat” menghiasi sejumlah jalananan di Jakarta.
Namun, ruang kreasi melalui tembok jalanan di era Orde Baru tidak seramai dibandingkan pada periode revolusi. Pemerintah saat itu mulai membentuk opini publik bahwa mencoret tembok di sekitar jalanan adalah tindakan negatif yang merusak keindahan kota.
Pada sekitar bulan November 1985, sebanyak 30 remaja beserta orangtuanya bahkan dipanggil pihak kepolisian karena terlibat dalam aksi corat-coret tembok di daerah Tebet, Jakarta. Secara perlahan, ruang kritik melalui semangat ”demokrasi jalanan” mulai dibatasi.
Namun, di tengah upaya pemerintah membungkam kritik melalui berbagai media, suara-suara lirih tetap disuarakan oleh masyarakat melalui tembok kota dengan simbol-simbol khusus. Pada tahun 1993, contohnya, sekitar lima tahun jelang reformasi muncul coretan di sekitar jalanan Jakarta seperti ”Rezim 70”, atau ”Texas 46”.
Aksi corat-coret tembok ini menimbulkan spekulasi. Beberapa pihak saat itu beranggapan bahwa kalimat yang muncul adalah lambang dari nama kelompok anak muda yang berusaha menampilkan identitasnya. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa grafiti ini memiliki tujuan dan kritik politik mengingat saat itu Soeharto telah berkuasa selama seperempat abad.
Baca juga : Menelisik Pasal Penghinaan Pejabat di Masa Lampau
Kritik estetis
Perumpamaan yang dibuat oleh Wiji pada era Orde Baru, terbukti pada periode reformasi. Ibarat biji yang ditanam, hasilnya mulai dituai pada era reformasi. Terbukti, tembok-tembok kota kembali riuh oleh suara-suara yang mewakili masyarakat kecil.
Apa pun alasannya, yang jelas, tembok kota masih menjadi medium kritik estetis yang dilakukan oleh berbagai kelompok masyarakat. Tengok saja, misalnya, lukisan dinding atau mural yang sempat dipertontonkan pada tahun 2011 di sekitar Jalan Galunggung, Jakarta. Mural ini menggambarkan hewan berjas dengan menampilkan catatan beragam persoalan, seperti kenaikan harga bahan pangan hingga pengalihan sejumlah isu.
Terbaru, tembok di sekitar jalanan kota juga menjadi sasaran keluh kesah masyarakat. Coretan seperti ”Tuhan, Aku Lapar”, di Tangerang, Banten, atau ”Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit”, di Pasuruan, Jawa Timur, adalah sebagian kecil nada-nada kekalutan yang mencuat ke permukaan. Sayang, suara-suara itu kembali lenyap dan perlahan tenggelam dari permukaan.
Jika menengok catatan sejarah, apa pun kondisi zaman yang dihadapi, tembok kota tampaknya akan terus hidup dan bersuara, terutama saat masyarakat merasa tak lagi ada jalan untuk bersuara. Dinantikan makna yang disampaikan melalui goresan di setiap tembok kota. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Mengapa Harus Membayar Berita Daring?