Bertaruh Nasib, Perempuan di Afghanistan
Masa depan perempuan Afghanistan di bawah kepemimpinan Taliban mengundang kekhawatiran dunia. Tanpa adanya jaminan pengakuan hak perempuan, capaian dan perjuangan perempuan selama dua dekade ini terancam mundur.

Perempuan polisi di Afghanistan menghadiri acara International Women’s Day di Provinsi Bamiyan (8/3/2021).
”Menjadi perempuan adalah hal terburuk di Afghanistan.”
Pernyataan Endy Hagen, seorang konsultan Jerman di tempat perlindungan Mazar-i-Sharif Afghanistan, yang tercatat arsip Kompas (28/7/2010) tersebut ada benarnya. Bukan hal mudah bagi perempuan untuk tinggal dan hidup di Afghanistan.
Mereka harus berjuang bertahan hidup di negara dengan konflik bersenjata berkepanjangan yang tiba-tiba dapat merenggut nyawa mereka atau anggota keluarga. Belum lagi budaya patriarki yang kuat membuat mereka tidak begitu saja dapat menentukan masa depannya sendiri meskipun hak-hak perempuan lebih dihargai saat ini.
Kini, mereka harus dihadapkan pada kekhawatiran akan jaminan masa depan di bawah kepemimpinan Taliban. Saat Taliban menguasai pemerintahan Afghanistan yang ditandai dengan direbutnya Kabul, ibu kota Afghanistan pada 15 Agustus 2021, mata dunia langsung tertuju pada nasib perempuan. Perhatian tersebut bukan tanpa alasan.
Dengan berkuasanya Taliban, kenangan pahit nasib perempuan saat Taliban berkuasa pada 1996-2001 kembali membayangi masa depan mereka. Hal ini lantaran perlakuan kurang adil yang dilakukan Taliban terhadap warga perempuan. Apalagi selama Taliban berkuasa pada 1996-2001, hak-hak perempuan dibatasi secara ketat.
Baca juga:
> Perempuan, Masa Depan Afghanistan
> Perempuan Afghanistan Memprotes Taliban

Perempuan koki menyiapkan masakan di sebuah restoran di Kabul, Afghanistan (30/1/2019). Kembalinya Taliban memantik kekhawatiran bakal munculnya kembali represi terhadap kaum perempuan di Afghanistan.
Saat itu, wanita tidak hanya dilarang bekerja atau sekolah, tetapi juga menghadapi risiko hukuman pukulan bila mengenakan riasan atau mengenakan burkak, pakaian khas wanita Afghanistan yang menutup kepala hingga kaki, tetapi masih memperlihatkan mata kaki. Dalam pandangan pemerintah waktu itu, kedua tindakan tersebut melanggar hukum (Kompas, 28 Juni 2002).
Dalam pemerintahannya kini, Taliban memang berjanji akan menghormati dan memperhatikan hak-hak perempuan menurut kerangka kebijakan yang mereka miliki. Akan tetapi, pernyataan ini diragukan.
Wanita tidak hanya dilarang bekerja atau sekolah, tetapi juga menghadapi risiko hukuman pukulan.
Pada 1 September 2021, menurut informasi dari Kepala Kantor Politik Taliban di Doha, Sher Mohammad Abbas Stanikzai, Taliban tidak menjamin perempuan dapat menempati posisi di kabinet atau pejabat tinggi lainnya. Taliban hanya memberi ruang bagi perempuan hanya sebagai pekerja pelayanan sipil biasa di pemerintahan. Sebagai informasi, saat ini hampir separuh dari setiap kementerian terdiri atas tenaga kerja wanita.
Melihat pengalaman masa lalu, berkuasanya Taliban tentu mengundang kekhawatiran dunia jika hak-hak perempuan kembali diabaikan. Hal itu juga akan meluruhkan segala perjuangan terhadap hak-hak perempuan yang selama ini selalu diupayakan.

Hak perempuan
Isu tentang pengakuan hak-hak perempuan Afghanistan selalu menjadi salah satu topik utama yang dibicarakan dalam rencana perjanjian damai. Lembaga internasional serta negara-negara lain yang terlibat di dalamnya selalu mendorong pihak Afghanistan dan Taliban untuk serius mengakomodasi kepentingan itu.
Dukungan serupa ditunjukkan masyarakat Afghanistan. Hal ini tercatat dalam survei yang dilakukan oleh The Asia Foundation bertajuk ”Afghanistan Flash Surveys on Perceptions of Peace, Covid-19, and the Economy 2020-2021”. Survei ini menanyakan persepsi warga Afghanistan terkait upaya perdamaian. Dari survei tersebut, 88 responden setuju bahwa hak-hak perempuan menjadi prioritas kebijakan yang harus diperjuangkan dalam setiap perjanjian damai.
Lihat juga:
> Perempuan Afghanistan Turun ke Jalan Menuntut Kesetaraan Hak
Dukungan penuh dari kalangan internasional dan warga Afghanistan merujuk pada capaian pengakuan hak-hak perempuan selama dua dekade pasca-Taliban jatuh pada 2001. Setelah lepas dari kepemimpinan Taliban, harapan akan masa depan perempuan di Afghanistan mulai jelas.
Dengan hak perempuan yang semakin diakui, dukungan sosial perempuan untuk berkarya semakin meningkat. Peran perempuan dalam membangun negara pun semakin dirasakan.
Kemajuan pengakuan hak perempuan itu ditandai dengan kebebasan perempuan untuk memperoleh pendidikan, bekerja, hingga menjadi pemimpin. Lebih dari 2,5 juta anak perempuan bisa bersekolah. Selain itu, lebih dari 25 persen kursi parlemen Afghanistan disediakan bagi perempuan politikus. Bahkan, sebanyak 20 persen angkatan kerja negara itu adalah perempuan (Kompas, 2 Februari 2019).

Perempuan dan ekonomi
Kondisi tersebut tidak lepas dari penerimaan masyarakat terhadap wanita dalam setiap sektor kehidupan, termasuk ketenagakerjaan. Berdasarkan survei yang sama, Lebih dari separuh responden menerima dan mendukung perempuan untuk bekerja di beberapa tempat kerja, seperti sekolah khusus wanita, rumah sakit atau klinik, perusahaan khusus dengan pegawai hanya wanita, kantor pemerintahan, institusi pendidikan, serta polisi atau militer.
Persentase tenaga kerja perempuan di Afghanistan pun terus meningkat sejak jatuhnya kepemimpinan Taliban pada 2001. Dalam enam tahun pertama sejak saat itu, proporsi tenaga kerja perempuan dengan usia di atas 15 tahun rata-rata mencapai 15,5 persen. Persentase tersebut meningkat, hingga pada periode 2014-2019 mencapai 20,1 persen. Angka ini jauh melampaui kondisi saat Taliban memimpin pada 1996-2001 yang hanya 15 persen.
Sebanyak 88 responden setuju bahwa hak-hak perempuan menjadi prioritas kebijakan yang harus diperjuangkan dalam setiap perjanjian damai.
Sayangnya, meski iklim sosial mendukung, masalah pengangguran masih menjadi hal utama yang dianggap menjadi masalah utama bagi perempuan oleh masyarakat di Afghanistan. Pernyataan ini disebutkan oleh 23,9 persen responden dalam survei The Asian Foundation, yaitu A Survey of Afghan People pada 2019.
Isu pengangguran pada perempuan ini bahkan dianggap lebih penting dibandingkan dengan masalah lain, seperti kekerasan rumah tangga (16,9 persen), kurang diakuinya hak perempuan (13,5 persen), paksaan menikah (12,2 persen), dan kemiskinan (8,7 persen).

Kepedulian warga Afghanistan terhadap situasi ketenagakerjaan perempuan ini didukung dengan fakta tingginya angka pengangguran perempuan yang mencapai 41 persen pada 2016-2017. Apalagi perempuan juga berkontribusi pada pendapatan rumah tangga. Sebanyak 18,6 persen responden menyebutkan anggota keluarga perempuan mereka yang bekerja turut menyumbang penghidupan keluarga.
Dengan kondisi tersebut, pembatasan perempuan untuk berkarya dan bekerja berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Hal ini akan sangat terasa bagi para janda.
Karena tinggal di negara yang dilanda konflik bersenjata terus-menerus, tidak mengherankan lagi jika banyak perempuan Afghanistan yang terpaksa menjadi janda karena suami meninggal akibat berperang, konflik, atau menjadi anggota kelompok Taliban. Mau tidak mau mereka ini harus bertahan hidup bagi dirinya serta keluarganya. Mereka inilah yang akhirnya menjadi tulang punggung keluarga.

Dukungan dunia
Peran perempuan tidak hanya dirasakan bagi perekonomian. Kemajuan atas pengakuan hak perempuan tampak pada keterlibatan perempuan dalam pemerintahan dan politik negara. Saat peralihan kekuasaan dari Taliban ke Afghanistan, hal tersebut ditandai dengan pemilihan sejumlah perempuan menteri oleh presiden terpilih saat itu, yakni Hamid Karzai.
Mereka adalah aktivis Habiba Sorabi sebagai Menteri Urusan Peranan Wanita, Mahboba Hoqooqmal sebagai Menteri Muda Urusan Peranan Wanita, dan Suhaila Seddiqi sebagai Menteri Kesehatan Umum. Penetapan wanita menteri tersebut adalah sebagai upaya mengembalikan peranan wanita (Kompas, 28 Juni 2002).
Baca juga:
> PBB Minta Dunia Ulurkan Tangan untuk Warga Afghanistan
Tidak hanya untuk urusan dalam negeri, para perempuan Afghanistan juga ditugaskan untuk tampil di panggung internasional. Beberapa di antaranya adalah Roya Rahmani, Duta Besar perempuan pertama Afghanistan untuk Amerika Serikat 2018-2021; dan Adela Raz, Duta dan Perwakilan Tetap perempuan pertama Afghanistan untuk PBB 2018-2021, yang kini menjadi Duta Besar Afghanistan untuk Amerika Serikat.

Perempuan Afghanistan membawa bunga saat melewati toko yang menjual pernak-pernik menyambut Hari Valentine di Kabul, Afghanistan (14/2/2019).
Dengan keterlibatan perempuan dalam pemerintahan dan urusan internasional, suara perempuan Afghanistan terwakili. Isu-isu yang menjadi permasalahan mereka selama ini sedikit demi sedikit dapat teratasi. Dengan capaian-capaian tersebut, terbukti bahwa perempuan Afghanistan pun mampu berkarya dan berperan bagi pembangunan negara.
Namun, perjuangan untuk menyuarakan hak-hak perempuan belum berakhir. Di satu sisi, kuatnya budaya patriarki masih menyulitkan perempuan untuk meraih masa depannya.
Dalam buku karya Sonia Ahsan Tirmizi berjudul Pious Peripheries: Runaway Women in Post-Taliban Afghanistan (2021) disebutkan, masih banyak perempuan yang tidak memiliki kesempatan untuk bersuara atau memilih jalan hidupnya. Bahkan, seringkali mereka hanya dianggap sebagai ”barang” yang bisa dijual atau ditukarkan. Cerita ini banyak ditemukan di khana-yi aman, rumah perlindungan bagi perempuan yang dalam masa hukuman atau sanksi sosial.
Baca juga : Antara Pergi atau Tinggal, Beda Sikap Warga Afghanistan
Di sisi lain, kepemimpinan Taliban dikhawatirkan akan melemahkan pengakuan hak perempuan yang selama ini sudah terbangun. Dukungan internasional diperlukan untuk mengawasi pemerintahan Taliban yang berjanji akan menghargai hak-hak perempuan.
Tidak hanya itu saja, dorongan untuk pengakuan dan perlindungan hak perempuan perlu terus disuarakan oleh kalangan internasional. Menjamin nasib perempuan Afghanistan juga akan menjamin keberlangsungan negara ini. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Covid-19, Pandemi yang Hilang di Afghanistan