Blok Afrika Barat Tangguhkan Keanggotaan Guinea lantaran Kudeta Militer
Blok ekonomi negara-negara Afrika Barat menjatuhkan sanksi kepada Guinea lantaran kudeta militer di negara itu pada Minggu (5/9/2021). Sanksi berupa penangguhan keanggotan. Tim khusus juga akan dikirim ke Guinea.
Oleh
Pascal S Bin Saju
·4 menit baca
ABUJA, KAMIS — Sebanyak 15 negara di Afrika Barat yang tergabung dalam blok ekonomi Komunitas Ekonomi Negara-negara di Afrika Barat (Economic Community of West African States/ECOWAS) memutuskan menangguhkan keanggotaan Guinea. Penangguhan yang diikuti pemberian sanksi itu terjadi lantaran junta militer mengudeta pemerintahan sipil demokratis Presiden Alpha Conde, Minggu lalu.
Keputusan diambil setelah ECOWAS menggelar pertemuan darurat tingkat tinggi di markas mereka di Abuja, Nigeria, Rabu (8/9/2021) waktu setempat. Para pemimpin menyerukan agar junta ”segera kembali ke tatanan konstitusional”.
Anggota pasukan khusus militer Guinea yang dipimpin Kolonel Mamady Doumbouya mengudeta pemerintahan sipil Conde dan menahan Presiden Alpha Conde, Minggu (5/9/2021). Tindakan itu menuai kecaman dari komunitas internasional, termasuk ECOWAS dan Uni Afrika yang beranggotakan 54 negara.
Selain menahan presiden, Doumbouya juga membubarkan Majelis Nasional dan membatalkan konstitusi negara. Setelah mengukuhkan diri menjadi presiden junta, Doumbouya melucuti jabatan gubernur di seluruh Guinea. Mereka diganti oleh komandan militer regional masing-masing.
Conde menjadi presiden setelah meraih suara terbanyak, yakni 53 persen, pada putaran kedua pemilu, 7 November 2010. Pemilu ini disebut paling demokratis pertama sejak Guinea merdeka dari jajahan Perancis pada 1958. Pemilu digelar setelah kudeta militer pada 2008.
Pemilu demokratis kedua di Guinea digelar pada 2015 dan Conde kembali terpilih. Sebelum Pemilu Oktober 2020, Conde mengubah konstitusi untuk memungkinkan dirinya bisa maju lagi untuk masa jabatan ketiga. Dia menegaskan, batasan masa jabatan tidak berlaku untuk dirinya.
Langkah Conde menimbulkan gejolak. Demonstrasi dan penentangan muncul di mana-mana di negeri itu hingga puluhan pengunjuk rasa tewas. Conde memenangkan pemilihan, tetapi oposisi politik menyatakan bahwa dia memenangkan pemilu karena kecurangan.
Pemerintahan Conde dinilai gagal memperbaiki kehidupan rakyat Guinea yang sebagian besar hidup dalam kemiskinan. Padahal, negara itu kaya akan mineral, seperti bauksit dan emas. Dia berusaha melanggengkan kekuasaannya yang korup dan nepotis.
Beberapa jam setelah mengudeta Conde, Doumbouya muncul di televisi nasional memberi alasan kudeta. Dia menuduh pemerintahan Conde melakukan ”korupsi endemik” dan ”menginjak-injak hak warga negara”. Mantan legiuner Perancis itu berjanji membuka pembicaraan tentang pembentukan pemerintahan transisi, tetapi belum jelas kapan atau dalam bentuk apa itu akan terjadi.
Ratusan penduduk turun ke jalan untuk memberikan dukungan kepada tentara yang sedang berpawai. Cellou Dalein Diallo, pemimpin oposisi utama negara itu, telah mendukung rezim militer sambil meminta tentara untuk menegakkan supremasi hukum.
Merespons perkembangan politik di Guinea itu, para pemimpin dari 15 negara anggota komunitas ECOWAS mengadakan konferensi tingkat tinggi luar biasa secara daring, Rabu. Mereka menilai, kudeta di Guinea memicu kekhawatiran kemunduran demokrasi di Afrika Barat. Kecenderungannya adalah bahwa kudeta oleh militer di negara-negara Afrika Barat semakin jamak dan dianggap lumrah.
Setelah pertemuan itu, ECOWAS mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa para pemimpin regional Afrika Barat memutuskan untuk menangguhkan Guinea dari semua badan pembuat keputusan ECOWAS dengan segera. Blok juga menuntut militer Guinea agar membebaskan Conde dan meminta pertanggungjawaban atas keselamatan fisik pemimpin yang digulingkan itu.
Menurut ECOWAS, misi tingkat tinggi dari organisasi tersebut akan segera dikirim ke Conakry untuk bertemu dengan semua pihak terkait. ”Otoritas akan meninjau situasi sehubungan dengan perkembangan di Republik Guinea dan (menyusun) laporan misi penilaian,” kata pernyataan blok Afrika Barat tersebut.
Belum lama ini, kudeta militer juga terjadi di Mali, 18 Agustus 2020. Junta merebut kekuasaan dari Presiden Ibrahim Boubacar Keita dan Perdana Menteri Boubou Cisse setelah aksi protes sejak 5 Juni 2020 dan ancaman pemberontakan dari milisi garis keras.
Orang kuat di Angkatan Darat Mali, Kolonel Assimi Goita, yang memimpin kudeta, kemudian membentuk pemerintahan transisi pada September 2020. Ia menyerahkan pemerintahan peralihan kepada pemimpin sementara, Presiden Bah Ndaw dan Perdana Menteri Moctar Ouane.
Namun, sejak September itu pula terjadi ketegangan antara pemerintahan sipil transisi dan junta militer. Puncaknya terjadi pada 24 Mei 2021 ketika Ndaw merombak kabinet dengan mencopot dua pemimpin kudeta, yakni Sadio Camara dan Modibo Kone. Hari itu pula junta mengudeta Ndaw.
Ketika menghadapi masalah di Mali itu, ECOWAS memberlakukan sanksi ekonomi di negara itu. Namun, kemudian ECOWAS mencabut sanksi tersebut setelah militer yang berkuasa di Mali berkomitmen untuk memulihkan pemerintahan sipil.
Sama seperti Guinea, kudeta di Mali juga memicu kecaman diplomatik yang luas. Selain ECOWAS, kecaman juga dilancarkan oleh Uni Afrika, Uni Eropa, dan Amerika Serikat. (AFP/REUTERS/AP)