Negara-negara Kecil di Pasifik Kian Terancam, Perlu Tindakan Nyata Global
Dataran rendah dan pesisir negara-negara kecil di Pasifik Selatan bakal menghadapi masa depan yang “mengerikan” jika tidak ada aksi nyata menghadapi perubahan iklim.
APIA, RABU — Dunia harus mengambil tindakan cepat untuk mengatasi dampak perubahan iklim yang sangat drastis. Perubahan iklim menjadi ancaman besar bagi negara-negara kepulauan kecil di Pasifik Selatan. Dataran rendah, wilayah pesisir, dan pulau kecil kawasan itu bakal menghadapi masa depan yang ”mengerikan” jika tidak ada aksi nyata.
Seruan tersebut disampaikan pemimpin baru Samoa, Fiame Naomi Mata\'afa, dalam sebuah wawancara khusus dengan kantor berita AFP, yang dirilis pada Rabu (8/9/2021) pagi. Dia adalah perempuan pertama Samoa yang menjabat perdana menteri. Ia mulai duduk di kursi perdana menteri pada akhir Juli lalu setelah partainya menang pemilu.
Beberapa negara kecil di wilayah Pasifik Selatan yang saat ini sangat terancam, antara lain Samoa, Tokelau, Tuvalu, dan Kiribati, Nauru, dan Fiji. Samoa, yang terdiri dari dua pulau utama dan tujuh pulau kecil, merupakan salah satu negara yang mempunyai wilayah terkecil di dunia.
Baca juga: Indonesia Perlu Hadirkan Aksil Lokal dalam Konferensi Iklim Glasgow
Mata’afa, yang sebelumnya menjabat Wakil PM Samoa, menyampaikan seruannya menjelang penyelenggaraan pertemuan tingkat tinggi global untuk membahas perubahan iklim. Konferensi Tingkat Tinggi Ke-26 Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP26) itu akan diadakan di Glasgow, Inggris, sejak 31 Oktober hingga 12 November 2021.
Perempuan pertama Samoa yang menduduki posisi puncak pemerintahan negara kecil itu memberikan penilaian yang sangat tajam tentang masa depan negara-negara kecil di Pasifik Selatan. Dia menggambarkan kondisi yang mengerikan jika upaya mengatasi pemanasan global terhenti.
Dataran rendah pantai dan wilayah pesisir lainnya bakal menghadapi persoalan permanen, yakni terendam air pasang akibat naiknya permukaan laut. Pulau-pulau kecil di Pasifik juga terancam hilang. Semuanya itu bisa menjadi kenyataan jika tidak ada aksi nyata global terhadap perubahan iklim.
Kenaikan permukaan air laut telah menyebabkan banjir rob di pulau-pulau kecil di negara-negara Pasifik Selatan. Beberapa negara di kawasan yang kini merasakan masalah itu, selain Samoa adalah Tokelau, Tuvalu dan Kiribati. Tokelau terdiri dari tiga atol koral tropis. Tuvalu terdiri dari empat pulau karang dan lima atol besar.
Kiribati misalnya, yang memiliki lebih dari 30 pulau kecil dan atol, juga menghadapi ancaman serupa. Isu pulau yang tenggelam sejak lama dibicarakan sebagai ancaman yang akan dihadapi negara kepulauan kecil.
Baca Juga: Pembaruan Dokumen Penurunan Emisi Bekal Indonesia ke Glasgow
Menurut Mata’afa, negara-negara kecil lain juga mengalami kondisi yang sama, namun kondisi sangat memprihatinkan terjadi di empat negara kecil tersebut. Bencana alam banjir akibat roba menggerogoti kawasan itu setiap waktu. ”Ini adalah keadaan yang nyata dan saat ini air mulai menggerogoti mereka,” katanya dalam wawancara khusus Senin lalu.
Mata’afa juga menambahkan, topan ganas menjadi sangat umum di Pasifik Selatan. Badai besar ”dulu terjadi setiap 50 hingga 60 tahun, ”Sekarang (badai ganas) terjadi setiap dua hingga tiga tahun,” katanya. ”Bagi kami, kami telah memperhatikan dampaknya terhadap wilayah pesisir kami. Sekitar 70 persen (penduduk) negara kami menetap di wilayah pesisir.”
Dalam sebuah wawancara khusus tersebut, Mata\'afa juga membahas persaingan geopolitik antara China dan Amerika Serikat di Pasifik. Dia juga mengungkapkan kekecewaannya terhadap sikap negara tetangga Australia dalam menghadapi perubahan iklim dan implikasi bagi Samoa.
Walau demikian, Mata’afa lebih fokus pada COP26. Menurut catatan Kompas, KTT tersebut akan melibatkan negosiator atau para pakar iklim dari 196 negara. COP26 merupakan dalam konferensi iklim terbesar sejak KTT serupa yang dianggap monumental di Paris pada 2015.
Mata\'afa mengatakan, sangat penting bagi para peserta untuk menghormati tujuan ambisius yang ditetapkan di Paris untuk membatasi pemanasan global hingga ambang 1,5 derajat celsius. Untuk mencapai target itu, dia mengatakan bahwa negara-negara penghasil karbon perlu memprioritaskan menyelamatkan planet ini daripada pertumbuhan ekonomi. ”Ini bukan soal ilmu roket,” katanya.
Perlu kerja kolektif
Politisi perempuan berusia 64 tahun itu mengakui frustrasi terhadap negara tetangga Australia. Canberra telah menolak untuk mengadopsi target emisi nol-bersih (net-zero emission). Australia bahkan tetap menjadi salah satu pengekspor bahan bakar fosil terbesar di dunia.
”Ketika Anda bekerja secara kolektif seperti yang kami lakukan di Pasifik, seharusnya Australia adalah bagian dari itu,” katanya. ”Ini adalah elemen yang membuat frustrasi, tetapi itulah kenyataan hidup kita, Anda tidak selalu bisa setuju.”
Baca juga: Kumpul di Resor Mewah, Pimpinan G-7 Ditagih Janji Lingkungan
Dia juga marah dengan saran oleh beberapa orang di Australia bahwa Samoa tidak memahami risiko yang ditimbulkan jika berhubungan dekat dengan China, yang berusaha memperluas pengaruhnya di Pasifik. ”Kami sudah merdeka sejak tahun 1962. Saya pikir kami cukup memahami apa hubungan kami, sama seperti Australia memiliki hubungan sendiri.”
Mata\'afa mengatakan, pemerintah barunya tidak berniat mengubah hubungan diplomatiknya dengan Beijing. Samoa tetap mengakui kebijakan ”Satu China”, meskipun dia tetap terbuka untuk berdagang dengan Taiwan.
Dia juga mengecilkan dampak pembatalan proyek pelabuhan yang dibiayai Beijing yang disetujui oleh pendahulunya. Tidak akan berpengaruh pada hubungan Samoa dengan China.
Ditanya tentang persaingan antara China dan AS di kawasan itu, Mata\'afa mengatakan dia nyaman berurusan dengan kedua negara adidaya untuk mengejar kepentingan terbaik Samoa. ”Dalam konteks geopolitik, realitas negara-negara kecil adalah bahwa kami harus menavigasi jalan kami melalui negara-negara besar ini dan isu-isu yang mereka prioritaskan,” katanya.
Baca Juga: AS Siap Bantu Kepulauan Pasifik di Tengah Persaingan dengan China
Mata\'afa telah lama mengadvokasi hak-hak perempuan. Dia menyatakan harapannya bahwa kemenangannya dalam pemilu akan menandakan perubahan sikap di Pasifik, yang memiliki salah satu tingkat perwakilan parlemen perempuan terendah di dunia.
”Untuk model peran jender, saya selalu percaya bahwa setiap wanita yang berprestasi di sektor apa pun, begitu itu terjadi, gadis dan wanita lain melihat bahwa itu bisa dilakukan," katanya.
Realistas baru
Sementara itu lebih dari 50 menteri dan kepala organisasi iklim dan bank pembangunan mendesak agar KTT COP26 nanti segera melakukan adaptasi terhadap realitas baru. Seruan disampaikan dalam sebuah pertemuan di Rotterdam, Belanda, yang diadakan oleh Global Center on Adaptation.
Seperti dilaporkan Reuters, Selasa (7/9/2021), pertemuan Rotterdam dihadiri oleh mantan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, Kepala Iklim PBB Patricia Espinosa, dan Dirjen Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva. Hasil pertemuan didengar oleh perwakilan negara-negara Afrika, negara-negara kepulauan kecil dan negara-negara rentan perubahan iklim lainnya.
Para pemimpin meminta lebih banyak anggaran dan kemauan politik untuk membantu orang beradaptasi terhadap realitas baru. Apa itu realitas baru? Cuaca ekstrem dan kenaikan air laut terjadi lebih cepat dari yang diperkirakan, seperti diperingati bulan lalu oleh panel ahli iklim PBB.
”Adaptasi harus menjadi prioritas. Sangat penting bagi COP26 untuk mengampanyekan percepatan upaya adaptasi. Hal itu memungkinkan dunia mengimbangi keadaan darurat yang paling mendalam dan berjangkauan luas ini,” kata mereka dalam satu komunike bersama.
KTT COP26, menurut mereka, tidak akan berhasil jika tidak mendorong upaya adaptasi sebagai prioritas yang sama dengan pengurangan emisi karbon.(AFP/REUTERS)