Indonesia Perlu Hadirkan Aksi Lokal dalam Konferensi Iklim Glasgow
Indonesia akan membawa kekhasan upayanya dalam mengatasi perubahan iklim di tingkat tapak pada COP26 Glasgow mendatang.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah substansi terkait dengan perubahan iklim, termasuk penguatan aksi mitigasi dan adaptasi, pada tingkat lokal perlu disiapkan menjelang konferensi negara-negara PBB untuk perubahan iklim atau COP26 di Glasgow, Skotlandia, November mendatang. Hal ini bertujuan untuk membangun ketahanan iklim di tingkat lokal yang secara kumulatif bisa menjelma sebagai ketahanan nasional.
Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim Sarwono Kusumaatmadja mengemukakan, Indonesia dapat melakukan aksi nyata kolaboratif adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dengan mengedepankan tindakan dan kebijakan yang didorong oleh program. Upaya ini diawali dengan menciptakan program terlebih dulu, kemudian melakukan kampaye yang intensif, dan terakhir membuat regulasi.
Beberapa program serupa saat ini telah banyak digulirkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), seperti adiwiyata, adipura, kalpataru, kampung iklim, nirwasita tantra, ataupun perhutanan sosial. Inovasi-inovasi tersebut, menurut Sarwono, perlu dipertahankan dan diperkuat sehingga dapat menjadi tindakan khas Indonesia dalam menanggulangi perubahan iklim.
”Menonjolkan sesuatu yang khas dari Indonesia ini sangat penting karena entah kenapa dalam forum internasional, kita cenderung terlalu apa adanya. Hadirnya negosiator yang telah dilatih itu bisa ditempa untuk lebih agresif dan vokal serta meyakinkan dalam tindakannya, baik dalam negosiasi maupun kerangka memperkuat jaringan,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Menuju COP 26 Glasgow: Aksi Nyata dalam Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim di Indonesia”, Rabu (6/1/2021).
Sebelumnya, pada November 2020, sebanyak 30 aparatur sipil negara dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Kementerian Luar Negeri telah mengikuti pelatihan negosiator perubahan iklim. Pelatihan bertujuan meningkatkan kapasitas negosiator Indonesia dalam Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim atau UNFCCC.
Negosiator diharapkan dapat menyampaikan target dan upaya penurunan emisi Indonesia yang difokuskan pada lima sektor, yakni kehutanan dan tata guna lahan, energi, industri, sampah, serta pertanian. Indonesia menargetkan dapat mencapai NDC sebelum 2030, khususnya di sektor kehutanan dan tata guna lahan.
Sarwono menegaskan, tugas negara saat ini adalah menciptakan kebijakan untuk memudahkan terwujudnya aksi nyata di tingkat lokal. Hal ini bertujuan membangun ketahanan iklim di tingkat lokal yang secara kumulatif akan menjelma sebagai ketahanan nasional.
Selain itu, tambah Sarwono, COP26 perlu memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, yaitu pangan, energi, dan air secara kolaboratif lewat aksi nyata. Sebab, keberhasilan ketahanan pangan suatu negara beriringan dan saling bersinergi dengan ketahanan iklim.
Pengalihan fokus
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Ruandha Agung Sugardiman mengatakan, saat ini pemerintah terus melakukan penguatan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dalam masa pemulihan pandemi Covid-19. Pemerintah juga melakukan pengalihan fokus kebijakan dan program di sektor energi, limbah, industri, pertanian, dan kehutanan.
Program Kampung Iklim (Proklim) menjadi salah satu upaya adaptasi perubahan iklim yang dilakukan KLHK di tingkat lokal. Saat ini terdapat lebih dari 3.000 lokasi proklim di tingkat desa dan kelurahan. Pada 2024 ditargetkan telah dibentuk 20.000 kampung iklim.
Penasihat senior Yayasan Kehati Diah Suradiredja menyatakan, dari sejumlah upaya terkait penanggulangan perubahan iklim, ia optimistis Indonesia dapat menyampaikan upaya yang optimal dalam COP26. Salah satu hal terpenting lainnya yang perlu diperkuat ialah memberikan pemahaman kepada non-party stakeholders (NPS) terhadap semua sistem dan upaya mitigasi yang telah dibuat.
”Keterlibatan NPS ini dalam isu adaptasi adalah perlunya kesadaran pada dampak, risiko, dan kerentanan perubahan iklim, terutama pembangunan kapasitas pada generasi milenial. Ini memerlukan suatu proses bagaimana aksi mereka diperhitungkan menjadi bagian laporan dari pemerintah. Sistem laporan yang terintegrasi ini yang perlu dipikirkan,” tuturnya.