Kumpul di Resor Mewah, Pimpinan G-7 Ditagih Janji Lingkungan
Kelompok advokasi pelestarian dan penyelamatan lingkungan menilai kelompok tujuh negara terkaya di dunia atau G-7 lamban dalam menjalankan komitmen lingkungan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
FALMOUTH, SABTU — Kelompok tujuh negara terkaya di dunia atau G-7 dinilai oleh berbagai kelompok advokasi pelestarian dan penyelamatan lingkungan lamban dalam menjalankan komitmen lingkungan mereka. Tanpa dukungan G-7, kemungkinan besar Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim di Glasgow, Skotlandia, November 2021, tidak akan efektif.
Di pantai Hayle Towans, kota Falmouth di Cornwall, Inggris, seniman Joe Rush sibuk membuat gunung. Gunung itu bukan dari batuan dan pasir seperti gunung yang terbuat secara alami, tetapi dari berbagai bongkahan logam bekas dan barang-barang elektronik, seperti komputer dan televisi, yang sudah tidak terpakai.
Rupa gunung buatan Rush itu mirip dengan Gunung Rushmore, sebuah gunung asli yang menjadi monumen raksasa di Amerika Serikat (AS) karena menampilkan pahatan empat wajah presiden terhebat negara tersebut di tebingnya. Bedanya, gunung di pantai itu oleh Rush diberi nama Gunung Recyclemore.
Wajah-wajah pimpinan G-7, seperti Presiden AS Joe Biden, Perdana Menteri (PM) Inggris Boris Johnson, PM Kanada Justin Trudeau, Presiden Kanada Emmanuel Macron, PM Italia Mario Draghi, Kanselir Jerman Angela Merkle, dan PM Jepang Yoshihide Suga, dibuat menatap Hotel Carbis Bay. Di resor itulah para pemimpin G-7 menggelar pertemuan selama 11-13 Juni 2021.
Dilansir dari media setempat, Cornwall Live, Rush disewa oleh perusahaan Music Magpie untuk membuat instalasi seni itu. Dalam pernyataan kepada media, mereka mengatakan ingin mengingatkan para pemimpin G-7 mengenai bahaya sampah elektronik yang tidak ditangani dengan baik.
Music Magpie—sebuah lapak jual, beli, dan sewa gawai—memilih memakai cara tidak langsung untuk mendesak G-7 membuat kebijakan terkait perubahan iklim. Akan tetapi, organisasi-organisasi pelestari lingkungan lain, seperti Greenpeace dan Bond, memilih cara langsung dengan menyerukan betapa lamanya G-7 mengeluarkan komitmen.
Sebelumnya, G-7 mengatakan bersedia mengalokasikan dana sebesar 100 miliar dollar AS setiap tahun untuk membantu negara-negara miskin beralih dari bahan bakar fosil, seperti minyak bumi dan batubara, ke energi baru dan terbarukan. Meki demikian, sampai sekarang belum ada pengumuman kerangka waktunya.
Tujuh negara di G-7 juga berjanji untuk melindungi 30 persen tanah dan lautan Bumi per 2030. Bahkan, Boris Johnson mengatakan, Inggris bersedia menjadi pemimpin dalam upaya itu. Ia juga mengungkapkan hendak membuat rencana aksi membantu negara-negara di Benua Afrika dan Asia berpindah ke energi ramah lingkungan. Namun, kementerian keuangan Inggris sejauh ini enggan untuk menyisihkan dana.
”Tanpa komitmen G-7, Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim juga tidak akan punya gigi. G-7 sebagai ekonomi terkuat dunia punya kemampuan besar untuk mendesak negara-negara lain dan itu hanya bisa dilakukan jika mereka sendiri sudah menerapkan komitmen ramah lingkungan,” kata Direktur Bond, Stephanie Draper.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterrez pada Desember 2020 juga turut mengkritik G-7. Ia mengatakan bahwa untuk kapasitas negara-negara sekelas G-7, langkah yang mereka ambil sangat lambat.
Para menteri keuangan negara-negara G-7 pada pertemuan Mei lalu menandatangani perjanjian untuk mengubah sistem ekonomi dan industri menjadi ramah lingkungan. Targetnya, G-7 tidak memproduksi sama sekali emisi gas rumah kaca di 2050.
Oleh karena itu, semua investor wajib menyertakan laporan risiko kerusakan lingkungan beserta laporan risiko perubahan iklim akibat industri yang mereka bangun untuk jangka panjang. Hal ini memungkinkan pemerintah lebih selektif memilih perusahaan-perusahaan yang memedulikan pelestarian alam. (AP/AFP/REUTERS)