Beragam bencana seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, hingga kekeringan kini semakin kerap mengempas dunia. Tantangan besar dihadapi manusia untuk menahan laju perubahan iklim. Energi bersih menjadi pilihan.
Oleh
B Josie Susilo Hardianto
·3 menit baca
Sebelum dunia ”panas” oleh berita tentang jatuhnya Kabul ke tangan Taliban, banyak wilayah telah benar-benar terbakar oleh api. Sebagaimana diberitakan, si jago merah melahap sebagian Oregon, California, Amerika Serikat, dan bagian barat Kanada. Ribuan hektar hutan dan semak menjadi abu. Hal serupa terjadi di Yunani dan Perancis. Sejumlah ahli berpendapat, bencana itu diduga disebabkan oleh perubahan iklim.
Isu perubahan iklim juga disebut-sebut turut memengaruhi terjadinya banjir dan tanah longsor di China, India, dan Turki. Perubahan iklim juga dilihat menjadi penyebab bencana kekeringan di Afrika dan Asia. Selain menelan kerugian material, seperti ribuan rumah dan beragam fasilitas umum yang rusak parah, rangkaian bencana alam itu juga menyebabkan ratusan orang meninggal dan puluhan ribu orang lainnya terancam kelaparan.
Seruan agar para pemimpin dunia segera bertindak untuk menahan laju pemanasan global terus dikumandangkan. Bahkan, pada Jumat (20/8/2021), remaja aktivis Greta Thunberg kembali berunjuk rasa di depan Kantor Parlemen Swedia. Thunberg adalah aktivis muda yang sejak tiga tahun lalu memelopori gerakan Fridays for Future. Sebagai generasi pewaris, Thunberg gundah pada kondisi lingkungan dunia yang kian rusak.
Ia menyerukan tuntutan agar semua pemangku kepentingan yang terkait segera bertindak. Setiap manusia, termasuk mereka yang akan lahir dan hidup di masa depan, layak memiliki bumi yang indah, aman, dan menyejahterakan. Thunberg sadar, apa yang dimulainya pada Agustus 2018 itu masih jauh dari apa yang ditargetkan. Namun, ia merasa kesadaran publik kian meningkat.
”Kami memutuskan untuk bersatu hari ini, untuk menyerang bersama, untuk merencanakan, untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya,” kata Luisa Neubauer, seorang aktivis lingkungan dari Jerman yang turut berunjuk rasa.
Ia melihat kemungkinan untuk bisa menyerukan agar isu perubahan iklim betul-betul menjadi perhatian Pemerintah Jerman. Pada 26 September mendatang, Jerman akan menggelar pemilu. ”Jerman adalah pemain besar. Kami memiliki tanggung jawab besar, dan saat ini semua pemain gagal memenuhi tanggung jawab itu,” kata Neubauer.
Tentu saja dalam konteks global, persoalan perubahan iklim tidak hanya menjadi tanggung jawab Jerman. Semua negara, terutama negara-negara maju dan berkembang, memiliki tanggung jawab serupa.
Ada beragam hal perlu mendapat perhatian serius. Tak dapat dimungkiri, hingga saat ini banyak negara masih mengandalkan energi fosil untuk mendukung beragam industri besar yang menjadi lokomotif peningkatan kinerja ekonomi. Bahkan—yang sebelumnya tidak terpikirkan—dari beragam kajian disebutkan gas metana dari kentut dan sendawa sapi ternyata turut memberi dampak pada pemanasan global. Tidak heran jika di Amerika Serikat, isu sekerat daging di atas piring tidak hanya soal isu makanan. Pada sekerat daging sarat pula isu lingkungan hidup dan politik.
Kini, setelah hampir dua tahun bergulat melawan pandemi Covid-19, banyak pemerintah telah mengambil ancang-ancang untuk melakukan pemulihan ekonomi. Banyak pihak, termasuk Indonesia, mengingatkan agar upaya-upaya itu dilakukan dalam perspektif ramah lingkungan, karena apa yang dilakukan saat ini berdampak panjang terhadap kelestarian kehidupan di masa mendatang.