Penting bagi generasi muda untuk turun tangan mengatasi isu lingkungan. Anak muda perlu melakukan perubahan positif, kemudian menjadi teladan yang hidup.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·5 menit baca
Dua tahun silam, pada 2019, remaja sekaligus aktivis lingkungan asal Swedia, Greta Thunberg, meradang di Pertemuan Puncak Aksi untuk Iklim pada rangkaian Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ia menagih keseriusan orang dewasa yang berjanji mengatasi perubahan iklim.
Aksi pemerintah di seluruh dunia dinilai belum memberi solusi yang menjanjikan. Padahal, dunia sedang berkejaran dengan waktu menekan dampak perubahan iklim. Efek perubahan iklim tidak hanya akan terjadi di masa depan, tetapi sedang terjadi sekarang.
Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) per September 2019 mencatat kenaikan suhu bumi mencapai 1,1 derajat celsius. WMO juga memprediksi kenaikan suhu global rata-rata tahunan pada 2020-2024 mencapai 1 derajat celsius di atas masa praindustri.
Dunia bakal menghadapi gelombang panas, cuaca ekstrem, hingga bencana hidrometeorologis. Apabila itu terjadi, banyak orang terancam mengungsi dan ada pula potensi korban jiwa. Kebakaran besar di Yunani, misalnya, terjadi karena gelombang panas berkepanjangan.
Jika dampak perubahan iklim saat ini sudah berat, kondisi akan semakin berat buat generasi muda. Belum tentu ada jaminan kehidupan yang baik di masa mendatang. Perubahan iklim ibarat dosa warisan yang justru harus ditanggung anak-cucu.
Generasi muda menghadapi konsekuensi krisis lingkungan. Krisis ini berdampak ke penurunan kualitas lingkungan. Kualitas udara, air, dan tanah yang buruk pada akhirnya menyebabkan masalah kesehatan hingga krisis pangan.
Konsekuensi ini yang digugat Greta. Ia menuding bahwa orang-orang dewasa telah mencuri mimpi dan masa depannya serta anak-anak lain. Di mata Greta, orang dewasa gagal menunaikan janji untuk mengatasi isu iklim. ”Beraninya kalian!” ucapnya.
Pemuda bergerak
Tak mau berlarut-larut dalam masalah, generasi muda mulai bergerak sesuai kemampuan masing-masing. Apabila Greta lantang bersuara soal perubahan iklim, ada pemuda-pemudi lain yang menjaga lingkungan dengan cara lain. Ada yang mulai dari gerakan terkecil, seperti membawa kantong belanja sendiri, berhenti memakai sedotan plastik, serta rutin membersihkan pantai dan sungai dari sampah.
Pendiri Sungai Watch, Gary Bencheghib (26), sejak usia belasan tahun rutin membersihkan sampah di pantai. Ia dan saudara-saudaranya kemudian mengajak sejumlah teman untuk berpartisipasi. Gerakan ini menjadi semakin besar seiring berjalannya waktu.
”Saya kemudian tahu bahwa 80 persen sampah di pantai terbawa dari sungai. Belum semua orang tahu soal itu,” kata Gary dari Bali secara daring, Jumat (6/8/2021).
Ia lalu menginisiasi Sungai Watch pada 2020, yaitu gerakan peduli kelestarian sungai. Gerakan ini mewadahi lebih dari 1.000 relawan di Bali. Kebanyakan dari mereka adalah anak muda berusia 16-28 tahun. Mereka digandeng melalui sosialisasi hingga ke desa-desa.
Mereka memasang jaring sampah di sungai-sungai untuk mencegah sampah lepas ke laut. Sejak Oktober 2020 hingga kini, sudah ada 84 jaring yang terpasang di Kabupaten Badung, Tabanan, dan Denpasar. Mereka berencana memasang 100 jaring dalam waktu dekat. Selain memasang jaring, para relawan juga rutin membersihkan sampah yang terjaring.
Sungai Watch bekerja sama dengan pemerintah untuk memperluas gerakan ini hingga ke Jawa. Menurut rencana, ada 80 jaring sampah yang akan dipasang di Jawa Timur dan 150 jaring di Bali bagian barat. Tujuannya untuk mengurangi sampah yang masuk ke Pantai Kuta setiap musim hujan. Kegiatan di Jawa akan berlangsung tahun ini.
Menurut Gary, penting bagi generasi muda untuk turun tangan mengatasi isu lingkungan. Anak muda perlu melakukan perubahan positif, kemudian menjadi teladan yang hidup.
”Jika kita tidak melakukan apa pun, gunung sampah akan semakin besar. Kita perlu memberi contoh bahwa pemuda bisa (berperan), kemudian menunjukkannya ke generasi yang lebih tua,” kata Gary.
Inisiatif anak muda juga ditunjukkan melalui dialog ”Muda Bersuara 2021: Selamatkan Generasi Emas 2045 dari Krisis Iklim”. Dialog itu diselenggarakan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dengan 21 universitas di Indonesia. Dialog berlangsung pada 4-16 Agustus 2021.
Dialog diselenggarakan agar semua pemangku kepentingan bisa duduk bersama dan berdiskusi, mulai dari pemerintah, pakar, organisasi, hingga anak muda. Diskusi ini diharapkan menghasilkan solusi dan memantik inisiatif prolingkungan.
”Tidak ada jalan kembali untuk generasi kami dan generasi masa depan. Sekarang kita bisa jadi bagian dari agen perubahan. Masih ada kesempatan memperlambat laju perubahan iklim selama kita beraksi hari ini. Dengan partisipasi semua pihak, kita bisa usahakan yang terbaik buat masa depan dunia,” tutur Marvella, mahasiswi Universitas Indonesia, pada konferensi pers daring, Juli 2021.
Khawatir
Berdasarkan survei oleh Change.org pada 2020, ada 89 persen penduduk muda di Indonesia yang khawatir atau sangat khawatir dengan dampak krisis iklim. Yang mereka khawatirkan meliputi krisis air bersih (15 persen), krisis pangan (13 persen), dan penyebaran penyakit (10 persen).
Sementara itu, 19 dari 20 responden meyakini bahwa manusia punya peran besar menyebabkan krisis iklim. Survei ini dilakukan terhadap 8.374 penduduk berusia 20-30 tahun pada Juli-September 2020.
Kendati khawatir, sebagian generasi muda mengaku optimistis mencegah kerusakan alam. Ini tampak dari survei indeks optimisme yang dilakukan Good News From Indonesia (GNFI) dengan Kelompok Kajian dan Diskusi Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI). Dari 800 responden, sebanyak 43,1 persen di antaranya menyatakan optimistis, sementara 56,9 persen lainnya netral.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Ahmad Erani Yustika pada Jumat (13/8/2021) mengatakan, generasi Z dan milenial adalah generasi yang kritis mempertanyakan kredibilitas pemangku otoritas. Hal ini termasuk kemampuan pemerintah mengatasi krisis. Pemerintah dinilai perlu beradaptasi dengan tuntutan itu melalui kebijakan yang tepat.
”Saya rasa ini peluit nyaring yang mesti didengar pemerintah,” katanya. ”Jika tidak, pemerintah akan dianggap bagian dari masalah, bukan pemecah (masalah),” tutur Erani.
Generasi muda juga menuntut pemerintah dunia lebih agresif mengatasi isu lingkungan. Target menurunkan emisi karbon 50 persen pada 2030 dinilai perlu lebih ambisius.
Sambil menunggu orang dewasa melakukan tugasnya, generasi muda akan terus memperjuangkan hidupnya di masa depan. Seperti kata Greta di Sidang Majelis Umum PBB, ”Pesan saya adalah kami akan mengawasi kalian.”