Kita semua berharap tahun 2021 akan menjadi babak baru model pembangunan Indonesia. Model pembangunan yang mengarusutamakan aksi iklim.
Oleh
FIRDAUS CAHYADI
·5 menit baca
"Kenapa aku harus belajar untuk masa depan yang mungkin tidak ada lagi, ketika tidak ada satu orang pun yang bergerak untuk menyelamatkan masa depan?" ungkap Greta Thunberg, saat konferensi PBB untuk perubahan iklim di Polandia 2018 silam. Greta Thunberg adalah aktivis lingkungan belia yang peduli terhadap perubahan iklim.
Greta dan teman-teman sebayanya resah karena akan mewarisi kehancuran ekologi akibat ketidakpedulian orang-orang tua yang menjadi pengambil kebijakan politik saat ini. Meskipun ungkapan Greta disuarakan 2018 silam, namun masih relevan hingga kini. Apalagi di 2020 adalah tahun krusial bagi aksi penyelamatan bumi dari perubahan iklim.
Bagaimana tidak, tahun 2020 adalah momentum penting bagi implementasi perjanjian perubahan iklim yang dilakukan di Paris pada 2015 silam. Perjanjian itu berpijak pada komitmen negara-negara yang akan meningkatkan ambisi mereka mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) penyebab peruabahan iklim. Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana dengan aksi iklim Indonesia sendiri di 2020?
Tahun 2020 akan segera berakhir. Bila kita sedikit refleksi, di awal tahun 2020, dibuka dengan banjir yang menggenangi Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi). Banjir di awal tahun 2020 memang bukan terjadi pertama kali di Jabodetabek. Namun, bila dilihat dari curah hujan, banjir pada 2020 terjadi anomali.
Dalam rentang 1996 hingga 2006, intensitas curah hujan paling tinggi terlihat pada tahun 2007 dengan 340 mm/hari. Sementara data yang dihimpun dari beberapa titik pengukuran didapat per 1 Januari 2020, intensitas curah hujan tercatat 377 mm/hari di Stasiun BMKG TNI AU Halim dan 259 mm/hari di Stasiun BMKG Jatiasih .
Bencana yang diakibatkan perubahan iklim tersebut bukan hanya terjadi di Jabodetabek. Data BNPB menyebutkan bahwa dari awal tahun hingga 21 September 2020 ada sekitar 2.067 bencana terjadi di Indonesia, yang mayoritas merupakan bencana hidrometeorologi .
Bencana ekologis yang disebabkan perubahan iklim itu telah menimbulkan kerugian ekonomi. Lembaga Pembangunan Internasional Amerika Serikat (U.S. Agency for International Development) memperkirakan bahwa kerugian akibat perubahan iklim di Indonesia pada 2050 akan mencapai lebih dari Rp 132 triliun atau $14,8 miliar (Hect 2016).
Di satu sisi Indonesia adalah negara kepulauan yang rentan menjadi korban bencana ekologis perubahan iklim. Namun di sisi lain Indonesia juga penyumbang emisi GRK di atmosfir. Menurut data World Resources Institute (WRI), Indonesia tercatat sebagai negara penyumbang GRK terbesar kelima di dunia dan penyumbang terbesar emisi GRK dari sektor kehutanan.
Singkat kata, suka atau tidak, Indonesia harus memperkuat aksi iklimnya (adaptasi dan mitigasi). Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana cara Indonesia memperkuat aksi iklimnya?
Setidaknya ada dua langkah yang bisa dilakukan Indonesia. Pertama, Indonesia harus menetapkan visi strategis jangka panjang dalam meningkatkan aksi iklimnya. Visi strategis jangka panjang ini harus melampaui siklus politik elektoral 5 tahunan. Artinya, visi strategis jangka panjang harus melampaui visi dan misi presiden yang berganti-ganti setiap 5 tahunan.
Aksi iklim harus dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan. Aksi iklim tidak boleh digantungkan pada visi politik jangka pendek atau lima tahunan presiden yang bisa jadi selalu berubah setiap lima tahun sekali.
Kedua, Indonesia harus memperkuat aksi iklim dalam NDC (Nationally Determine Contribution) yang telah dibuatnya. NDC adalah dokumen untuk mewujudkan kesepakatan Perjanjian Paris yang menetapkan batas kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat Celcius atau di bawah 1,5 derajat Celcius (secara optimis) dibandingkan dengan periode pra-industri.
Sementara, dalam NDC Indonesia, target keseluruhan pengurangan emisi Indonesia berada di angka 29 persen dengan kemampuan sendiri (unconditional) dan 41 persen dengan bantuan internasional (conditional).
Tahun 2017, pemerintah pun meluncurkan inisiatif pembangunan rendah karbon (Low Carbon Development Indonesia/LCDI). Laporan ini memaparkan beberapa pilihan kebijakan yang tepat bagi Indonesia untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara optimal sekaligus mengurangi emisi GRK hingga 43 persen pada tahun 2030.
Namun, skenario paling ambisius dalam laporan LCDI-Plus, masih belum menyentuh target penurunan suhu bumi sebesar 1,5 derajat. Analisis atas skenario ini menunjukkan bahwa Indonesia baru dapat menghentikan kenaikan emisinya antara tahun 2025 dan 2030. Di sisi lain, target emisi nol tidak akan dapat tercapai sebelum tahun 2050 .
Analisis Climate Actions Tracker (CAT) menilai bahwa target iklim Indonesia sangat tidak memadai. Analisis itu menyebutkan bahwa Indonesia masih dapat mencapai target tersebut jika berbagai permasalahan yang ada dapat diselesaikan dengan baik. Salah satunya adalah menghentikan peningkatan emisi pada tahun 2020 dan menurunkannya secara drastis sampai tahun 2050 .
Memperkuat aksi iklim melalui visi jangka panjang dan dalam NDC bukan saja akan menguntungkan Indonesia secara ekologi namun juga ekonomi. Di sisi ekonomi, analisis terbaru memperkirakan bahwa memperkuat aksi iklim dapat menghasilkan $26 triliun keuntungan ekonomi bersih hingga 2030. Bukan hanya itu, memperkuat aksi iklim juga akan menciptakan 65 juta pekerjaan pada tahun 2030 (The Global Commission on the Economy dan Iklim 2018).
Namun sayang, nampaknya tahun 2020 ini akan terlewat begitu saja. Indonesia nampaknya tetap menempuh model pembangunan yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Aksi iklim belum menjadi arus utama pembangunan negeri ini.
Kita semua berharap tahun 2021 akan menjadi babak baru model pembangunan Indonesia. Model pembangunan yang mengarusutamakan aksi iklim. Tentu saja masyarakat Indonesia tidak bisa menunggu kemauan politik dari pemerintah. Masyarakat sebagai pembayar pajak harus menyuarakan pentingnya mengarusutamakan aksi iklim dalam pembangunan.
(Firdaus Cahyadi Executive Director OneWorld-Indonesia)