Duduki Istana Kepresidenan, Taliban Kembali ke Tampuk Kekuasaan Afghanistan
Taliban telah menduduki Kabul. Mereka menjanjikan rezim yang lebih moderat. Namun pengalaman rezim Taliban selama 1996-2001 membuat banyak pihak ragu. Bahkan warganya sendiri banyak yang ingin meninggalkan Afghanistan.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
KABUL, SENIN — Gerilyawan Taliban menduduki istana kepresidenan menyusul penguasaannya atas Kota Kabul. Melalui peristiwa yang disiarkan langsung oleh Al Jazeera, Minggu (15/8/2021) tengah malam waktu Indonesia Barat itu, Taliban menegaskan kembalinya kekuasaannya atas Afghanistan setelah 20 tahun.
Juru bicara Taliban mengklaim perang telah selesai. Ia menjanjikan rezim baru akan menghormati hak perempuan dan kelompok minoritas. Ia juga menyatakan keinginan Taliban untuk menjalin hubungan internasional.
Namun masyarakat khawatir situasi politik dan keamanan tidak kondusif seiring keluarnya pasukan internasional pimpinan Amerika Serikat (AS). Sejumlah negara-negara Barat juga menyatakan akan segera mengevakuasi warganya dari negara itu.
Segera setelah Taliban menguasai Kabul, banyak warga mengambil uang di anjungan tunai mandiri. Selain itu, banyak pula yang bermaksud meninggalkan Afghanistan karena khawatir dengan situasi ke depan.
Penguasaan kembali Afghanistan oleh Taliban antara lain ditandai dengan keluarnya Presiden Ashraf Ghani dari negeri itu pada Minggu (15/8/2021). Hal itu terjadi ketika para anggota kelompok itu memasuki Kabul. Ghani dalam sebuah unggahan melalui media sosial Facebook menyatakan memilih keluar dari negaranya semata untuk menghindari pertumpahan darah.
Belum jelas ke negara mana Ghani akan berlabuh. Belum jelas pula soal bagaimana transisi kekuasaan akan berlangsung pasca-penguasaan oleh Taliban dalam waktu cepat itu. Ghani tidak mengatakan di mana dirinya berada. Beberapa pengguna media sosial lokal di Kabul mengecap Ghani pengecut karena meninggalkan mereka dalam kekacauan.
Sementara hiruk-pikuk terjadi di Kota Kabul sepanjang Minggu. Macet di mana-mana. Warga mengaku tidak tahu apa yang akan terjadi. Sebagian merasa ketakutan sehingga ingin keluar dari ibu kota atau bahkan meninggalkan negara itu secepatnya.
Kekacauan memuncak di Bandara Kabul pada Minggu malam. Ratusan warga Afghanistan yang putus asa menunggu penerbangan untuk keluar secepatnya dari negara itu. Beberapa dari mereka terlihat menyeret barang bawaan melintasi landasan pacu dalam gelap. Bahkan sebuah sumber di bandara mengatakan, beberapa bentrokan pecah di antara orang-orang itu, khususnya mereka yang tidak bisa mendapatkan tempat karena keberangkatan dihentikan.
Stasiun televisi lokal, 1TV, melaporkan bahwa beberapa ledakan terdengar di ibu kota setelah gelap. Menurut satu kelompok tanggap darurat, puluhan orang terluka akibat ledakan itu. Sedikitnya 80 orang di antaranya telah dibawa ke rumah sakit di Kabul.
Banyak warga Afghanistan khawatir Taliban akan kembali ke praktik keras mereka di masa lalu dalam penerapan syariat Islam. Selama pemerintahan Taliban pada era 1996-2001, misalnya, perempuan tidak boleh bekerja di luar rumah. Aneka hukuman yang keras, seperti rajam, cambuk, dan gantung, dipraktikkan di depan masyarakat.
Para militan Taliban berusaha memproyeksikan wajah Afghanistan yang lebih moderat. Mereka berjanji akan menghormati hak-hak perempuan dan melindungi orang asing.
Seorang juru bicara Taliban mengatakan, perang telah berakhir dan rakyat Afghanistan akan segera mengetahui bentuk rezim baru yang akan dipilih dan ditentukan. Adapun juru bicara kantor politik Taliban mengatakan kepada stasiun televisi Al Jazeera bahwa kelompok itu menginginkan hubungan baik dengan masyarakat internasional.
Al Jazeera sebelumnya menayangkan rekaman, sebagaimana disebut komandan Taliban diambil di Istana Kepresidenan, yang memperlihatkan penguasaan kelompok itu atas Istana Kepresidenan. Sejumlah anggota Taliban bersenjata terlihat dalam rekaman itu.
Dari Washington DC dilaporkan, sejumlah pihak mengkritik keras keputusan Presiden Joe Biden mengakhiri perang terpanjang Amerika itu. Dalam sebuah pernyataan, pemimpin Senat Republik Mitch McConnell menyalahkan Biden atas apa yang disebutnya sebagai kegagalan kepemimpinan Amerika yang memalukan. ”Teroris dan pesaing utama seperti China sedang menyaksikan aib negara adidaya yang diredam,” kata McConnell.
Washington dinilai harus ikut bertanggung jawab dalam kondisi terkini di Afghanistan. Para pengritik menilai kekacauan terbaru di Afganistan disebabkan oleh kegagalan kepemimpinan AS. Di antaranya karena pasukan AS lebih banyak dikerahkan untuk mengevakuasi diplomat AS ketimbang memastikan situasi keamanan terkendali.
Di Afghanistan, para diplomat Amerika diterbangkan dengan helikopter, dari kedutaan di Distrik Wazir Akbar Khan ke bandara. Pentagon mengizinkan 1.000 tentara lainnya membantu mengevakuasi warga AS dan warga Afghanistan yang bekerja untuk mereka, kata seorang pejabat AS.
Seorang pejabat senior pertahanan AS di Wasington, Minggu malam, mengatakan kepada Reuters, sekitar 500 orang, kebanyakan warga AS, telah telah dievakuasi. Jumlah itu diperkirakan meningkat menjadi 5.000 per hari ketika seluruh pasukan AS yang direncanakan membantu evakuasi sudah berada di Kabul.
Negara-negara Eropa, termasuk Perancis, Jerman, dan Belanda, juga mengatakan segera mengevakuasi warga negara serta beberapa karyawan asal Afghanistan dari negara itu. Sementara Pemerintah Rusia punya pandangan lain. Rusia menyatakan tidak akan mengevakuasi staf kedutaannya untuk saat ini.
Otoritas Turki juga mengatakan kedutaannya akan melanjutkan operasinya di Afghanistan. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres mendesak Taliban dan semua pihak lain menahan diri sepenuhnya. Ia secara khusus menyatakan keprihatinan tentang masa depan perempuan dan anak perempuan di Afghanistan. (AFP/REUTERS/BEN)