Pasukan Taliban Masuki Ibu Kota Kabul, Presiden Ghani Tinggalkan Afghanistan
Kelompok Taliban menuntut penyerahan tanpa syarat oleh pemerintahan Presiden Ashraf Ghani setelah memasuki kota Kabul. Afghanistan segera jatuh ke tangan kekuasaan Taliban.
KABUL, MINGGU – Kota Kabul, ibu kota Afghanistan, dan pusat pemerintahan Presiden Ashraf Ghani di ambang kejatuhan totalnya ke tangan kelompok Taliban. Pada Minggu (15/8/2021), Taliban telah memasuki Kabul dan meminta penyerahan diri tanpa syarat oleh pemerintahan Ghani. Kelompok itu memperkirakan, transfer kekuasaan terjadi beberapa hari ke depan.
Dua pejabat mengungkapkan kepada kantor berita Associated Press, Presiden Afghanistan Ashraf Ghani telah meninggalkan negerinya. Abdullah Abdullah, Kepala Dewan Rekonsiliasi Nasional Afghanistan, mengkonfirmasi, Ghani telah meninggalkan Afghanistan.
"Mantan Presiden Afghanistan telah meninggalkan Afghanistan, kabur dari negaranya dalam situasi yang berbeda ini," kata Abdullah. "Tuhan seharusnya meminta pertanggungjawaban dia."
Baca juga: Taliban Mulai Masuki Pinggiran Kabul
Pencapaian Taliban hingga Kabul terjadi setelah penguasaan kilat dalam 10 hari terakhir dan setelah merebut Jalalabad, ibu kota Provinsi Nangarhar. Jalalabad adalah kota besar terakhir di luar Kabul yang direbut dari pasukan pemerintah.
Jatuhnya Jalalabad, kota utama perbatasan dengan Pakistan, membuat pemerintahan Presiden Ghani hanya menguasai Kabul dan lima ibu kota provinsi dari 34 provinsi. Minggu kemarin, Taliban membuat kemajuan baru, mulai memasuki Kabul dari berbagai arah.
Setelah mendekati Kabul, pasukan Taliban berusaha untuk terus menguasai distrik-distrik strategis agar bisa mendekat ke istana presiden dan merebut kekuasaan dari Presiden Ghani. Dua komandan senior Taliban kepada kantor berita Reuters semalam mengungkapkan, pasukannya telah menguasai istana Kepresidenan Afghanistan.
Hingga Minggu petang WIB, Taliban dilaporkan telah masuk di Distrik Kalakan, Qarabagh dan Paghman di ibu kota. Tembakan sporadis terdengar di sejumlah tempat. Warga panik dan berhamburan keluar rumah. Para pekerja dan pegawai melarikan diri dari kantor-kantor pemerintah.
Ribuan warga sekarang tinggal di taman dan ruang terbuka di Kabul. Mereka khawatir akan masa depannya yang tidak menentu. Jatuhnya Kabul akan membuat Taliban mengambil kembali kekuasaan mereka yang digulingkan pasukan asing pimpinan AS pascaserangan 11 September 2001.
Setelah Taliban mulai memasuki Kabul, banyak warga Afghanistan takut akan kembalinya kekuasaan opresif kelompok itu. Saat memerintah Afghanistan pada 1996-2001, Taliban memberlakukan hukum Islam secara keras. Perempuan dilarang bekerja atau bersekolah, dan tidak dapat meninggalkan rumah mereka tanpa didampingi suami atau kerabat laki-laki.
Penyerahan kekuasaan
Jubir Taliban, Zabihullah Mujahid, mengungkapkan, kelompoknya tengah berunding dengan pemerintahan Ghani untuk menuntut penyerahan diri secara damai. "Pasukan Taliban siaga di seluruh pintu-pintu masuk Kabul hingga disepakati transfer kekuasaan secara damai dan memuaskan," kata Mujahid.
Tiga sumber diplomatik menyebutkan bahwa Ali Ahmad Jalali, akademisi berbasis di AS dan mantan menteri dalam negeri Afghanistan, bisa ditunjuk sebagai kepala pemerintahan sementara di Kabul. Namun, kepada Reuters, dua pejabat Taliban menegaskan, tidak akan ada pemerintahan transisi. Taliban menuntut penyerahan kekuasaan secara total.
Minggu kemarin, helikopter pemerintah mondar-mandir di atas Kabul. Sebuah helikopter mendarat di Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) di Zona Hijau, Kabul, diduga untuk mengevakuasi para diplomat dan staf kedutaan. "Kepulan asap terlihat di dekat atap kedutaan ketika para diplomat menghancurkan dokumen-dokumen sensitif," kata dua pejabat militer AS.
Boeing CH-47 Chinook, yakni helikopter AS bermesin ganda, tandem rotor dan heavy-lift, juga terlihat di dekat Kedutaan Besar AS. Helikopter itu mulai disiagakan di lokasi itu beberapa jam tak lama setelah Taliban merebut Jalalabad. Satu mobil diplomatik lapis baja mulai meninggalkan area sekitar pos penjagaan kedutaan.
Baca juga: Menghitung Detik di Kabul
Departemen Luar Negeri AS tidak segera menanggapi pertanyaan tentang pergerakan di kantor perwakilannya di Kabul.
Helikopter Sikorsky UH-60 Black Hawk, pesawat serba guna bermesin ganda, yang biasanya membawa pasukan bersenjata, juga muncul dan mendarat di dekat kedutaan AS. Beberapa hari lalu, Washington memutuskan untuk mengirim lagi 3.000 personel tentara lagi ke Afghanistan. Mereka bertugas mengawal dan membantu mengevakuasi personel Kedutaan Besar AS di Kabul.
Para staf dan diplomat AS dan Uni Eropa (UE) berjuang menyelamatkan diri. “Anggota tim ‘inti’ AS bekerja dari Bandara Kabul,” kata seorang pejabat AS. Seorang pejabat aliansi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mengatakan, beberapa staf UE telah dievakuasi ke lokasi yang lebih aman dan amat dirahasiakan di ibu kota Kabul. Situasi di Kabul semakin mencekam.
Republik Ceko juga menyetujui rencana untuk mulai menarik semua staf Afghanistan dari kedutaan mereka di Kabul setelah sebelumnya mengangkut para diplomatnya ke Bandara Internasional Kabul. Beberapa negara lain juga mengambil langkah darurat untuk pengamanan para diplomat dan stafnya.
Jerman, Minggu, menutup kedutaan besarnya di Kabul. "Situasi keamanan telah memburuk secara drastis. Kedutaan Besar Jerman di Kabul ditutup pada 15 Agustus," kata Kementerian Luar Negeri Jerman di Berlin di situs webnya. Berlin menyerukan warga Jerman untuk meninggalkan Afghanistan.
Rusia bekerja dengan negara-negara lain untuk mengadakan pertemuan darurat di Dewan Keamanan PBB untuk membahas situasi di Afghanistan. "Kami sedang menyiapkannya," kata pejabat Kementerian Luar Negeri Rusia, Zamir Kabulov. Rusia adalah salah satu dari lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB, bersama dengan Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan China.
Cegah perang saudara
Terkait situasi di Afghanistan, Pemimpin umat Katolik sedunia Paus Fransiskus mengungkapkan "keprihatinannya" atas konflik di Afghanistan. Ia menyerukan dialog sehingga penduduk yang menjadi korban dapat hidup dalam damai.
Baca juga: Kabul di Ambang Jatuh ke Taliban, AS-Inggris Mulai Evakuasi Warganya
Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla, optimistis meskipun ibu kota Kabul jatuh ke tangan Taliban, Afghanistan tak jatuh dalam pertumpahan darah dan perang saudara. Kalla, mewakili Pemerintah RI, beberapa kali terlibat dalam perundingan dan berbicara langsung dengan Presiden Ghani dan para petinggi Taliban.
"Baik Taliban maupun pemerintah Afghanistan sama- sama meyakini bahwa mereka bersaudara dan tidak akan saling memerangi negara yang sudah ditinggalkan oleh tentara Amerika Serikat," ujar Kalla.
"Saya kenal baik dengan Presiden Afghanistan Ashraf Ghani dan Kepala Kantor Politik Taliban, Mullah Abdul Ghani Baradar. Januari lalu saya bertemu di Afghanistan dan Pak Baradar di Qatar, mereka akan berupaya menyelesaikan secara damai konflik di Afghanistan yang sudah berjalan 30 tahun."
"Mereka juga sudah bilang tidak akan mengusik kantor- kantor kedutaan besar di Afghanistan, apalagi Kedubes RI,” lanjut Kalla, Minggu malam.
Kalla menambahkan, dunia kini menantikan masa depan Afghanistan setelah Taliban berkuasa. "Saya harapkan Afghanistan terbuka dengan kerja sama dengan negara-negara lain yang tidak punya kepentingan politik, tetapi kerja sama perekonomian," ujarnya.
"Indonesia punya peran penting di Afghanistan dalam menjajaki perdamaian kemarin sehingga pemerintah Indonesia juga harus mendukung upaya damai sekarang saat Taliban memimpin Afghanistan.”
Di London, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson akan berusaha untuk membuat pertemuan dengan parlemen, minggu depan, terkait krisis di Afghanistan. Anggota parlemen kemungkinan akan dipanggil kembali meski sedang reses atau liburan musim panas untuk membahas tentang apa yang harus dilakukan Inggris. Negara ini kehilangan 457 personel tentara dalam perang selama dua dekade di Afghanistan.
Janji Taliban
Kembali pada situasi di Kabul. Meski tembakan meletus di beberapa lokasi di Kabul, sebelum Taliban dilaporkan menduduki Istana Kepresidenan, Kantor Presiden Afghanistan terlihat tak terlalu memandang serius situasi yang terjadi. "Pasukan pertahanan dan keamanan bersama dengan pasukan internasional bekerja untuk keamanan kota Kabul dan situasinya terkendali," demikian pernyataan Kantor Presiden Afghanistan.
Kelompok Taliban berjanji untuk tidak merebut Kabul “dengan paksa”. Juru bicara Taliban Suhail Shaheen mengatakan kepada Al Jazeera, Taliban sedang "menanti pemindahan kota Kabul secara damai."
Saat ditanya tentang kesepakatan seperti apa yang diinginkan Taliban, Shaheen menjawab bahwa mereka menginginkan penyerahan tanpa syarat oleh pemerintah pusat.
Dalam sebuah pernyataan, Taliban memerintahkan pasukannya untuk menahan diri dan tidak melakukan kekerasan. "Tidak ada nyawa, harta benda, dan martabat yang akan dikorbankan. Nyawa warga Kabul tidak akan terancam.”
Taliban “mengizinkan jalan yang aman bagi siapa saja yang ingin pergi dan meminta semua perempuan untuk pergi ke kawasan yang aman,” kata seorang pemimpin Taliban di Doha, Qatar.
Baca juga: Taliban Rebut 8 Ibu Kota Provinsi dalam 6 Hari Pertempuran
Serangan kilat Taliban dalam waktu lebih dari seminggu ini telah mengalahkan, mengkooptasi, atau memaksa pasukan keamanan Afghanistan melarikan diri dari medan pertempuran. Padahal, pasukan pemerintah Afghanistan selalu mendapat dukungan udara dari AS.
Kecepatan serangan Taliban mengejutkan banyak orang. Muncul pertanyaan: mengapa pasukan Afghanistan rontok meskipun bertahun-tahun mendapat pelatihan AS yang menghabiskan dana ratusan miliar dollar AS. Padahal, baru beberapa hari lalu, militer AS memperkirakan, butuh waktu sekitar satu bulan lagi bagi Taliban untuk bisa menekan Kabul.
Pemerintahan Ghani tampak semakin terisolasi. Panglima perang yang ditemuinya di kota Mazari Sharif, benteng pertahanan milisi anti-Taliban dan pro-pemerintah, untuk mengatur strategi perang kota beberapa hari lalu, melarikan diri. Atta Mohammad Noor dan Abdul Rashid Dostum, dua dari panglima perang Ghani, dilaporkan telah melarikan diri ke Uzbekistan.
Baca juga: Afghanistan Makin Genting, Puluhan Anak Tewas dan Wartawan Dibunuh
“Terlepas dari perlawanan sengit kami, sayangnya, semua peralatan pemerintah dan pasukan keamanan Afghanistan telah diserahkan kepada Taliban. Ini merupakan hasil rencana besar yang terorganisir dan pengecut,” cuit Noor di Twiter.
Tuduhan persekongkolan
Dia menduga ada konspirasi atau persekongkolan oleh kelompok tertentu dengan Taliban. Kelompok tertentu itu disebutnya sebagai para “pengecut” yang mengkhianati perjuangan untuk mempertahankan Afghanistan utara dari Taliban. “Mereka telah mengatur rencana untuk menjebak Dostum dan saya juga, tetapi mereka tidak berhasil,” lanjut cuitan Noor di Twitter.
Sementara itu para diplomat AS terus mengadakan perundingan damai antara pemerintah Afghanistan dan Taliban di Doha, Qatar, pekan ini. Negosiasi juga gagal menghentikan kemajuan Taliban, yang terus menolak gencatan senjata dengan pasukan pemerintah. Komunitas internasional telah memperingatkan, pemerintah Taliban yang dipimpin dengan paksa akan dijauhi.
Dalam sebuah pernyataan Sabtu malam, Taliban bersikeras bahwa pasukan mereka tidak akan memasuki rumah warga atau mengganggu bisnis. Taliban juga menawarkan "amnesti" kepada mereka yang pernah bekerja dengan pemerintah Afghanistan atau pasukan asing.
"Emirat Islam sekali lagi meyakinkan semua warganya bahwa mereka akan--seperti biasa--melindungi kehidupan, harta benda dan kehormatan mereka dan menciptakan lingkungan yang damai dan aman bagi negara tercintanya," kata Taliban. "Tidak ada yang perlu khawatir tentang hidup mereka."
Walau demikian, Bandara Internasional Hamid Kazai Kabul dibanjiri warga Afghanistan dan orang asing. Warga yang mampu membeli tiket berbondong-bondong mendatangi bandara, satu-satunya jalan keluar dari negara itu, ketika Taliban mulai memasuki Kabul, hari Minggu (15/8/2021). (AP/REUTERS/AFP)