Menlu Kedua Brunei Terpilih Jadi Utusan ASEAN untuk Myanmar
ASEAN mengakhiri spekulasi tentang pemilihan Utusan Khusus untuk Myanmar. Tugas berat menanti Erywan Yusof untuk mengembalikan situasi Myanmar dengan minimnya akses terhadap para pihak bertikai.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
BANDAR SERI BEGAWAN, RABU — Menteri luar negeri negara-negara Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), Rabu (4/8/2021), sepakat memilih Menlu Kedua Brunei Darussalam Erywan Yusof sebagai Utusan Khusus untuk Myanmar. Dalam pernyataan bersama (joint communique) yang dikeluarkan para menlu ASEAN disebutkan, Erywan akan memulai pekerjaan sebagai utusan khusus untuk membangun kepercayaan dan keyakinan disertai akses penuh ke semua pihak terkait.
Terpilihnya Erywan sebagai Utusan Khusus untuk Myanmar mengakhiri spekulasi selama beberapa bulan terakhir tentang siapa yang dianggap tepat mengemban misi ini. Sebelumnya, beberapa nama seperti mantan Menlu RI Hassan Wirajuda dan Marty Natalegawa serta mantan Wakil Menlu Thailand Virasakdi Futrakul digadang-gadang menduduki posisi penting untuk membantu mengatasi konflik di Myanmar pascakudeta militer 1 Februari lalu.
Seusai pertemuan para pemimpin ASEAN yang menghasilkan lima poin konsensus, berbagai upaya yang dilakukan jalan di tempat. Myanmar, yang mendapat dukungan dari China dan Rusia, mengelak melaksanakan isi konsensus yang dibuat di Jakarta itu dan menetapkan persyaratan, salah satunya stabilitas situasi keamanan dan politik. ASEAN berada di bawah tekanan internasional untuk segera bertindak.
Kondisi di lapangan tidak kunjung membaik. Kekerasan bersenjata terus terjadi terhadap warga dan aktivis prodemokrasi yang terus bergerak bersama milisi etnis tertentu. Milisi etnis sudah sejak lama berjuang untuk memperoleh hak otonomi khusus, bahkan kemerdekaan dari pemerintah Myanmar.
Lebih dari 900 orang menjadi korban kekerasan aparat militer sejak kudeta. Sebanyak 75 korban tewas di antaranya anak-anak.
Masalah Myanmar semakin kompleks seiring lonjakan kasus infeksi Covid-19 di tengah lumpuhnya pelayanan kesehatan.
Dalam pernyataan bersama, para menlu ASEAN mengulagi keprihatinan mereka, termasuk soal laporan kematian dan kekerasan. Namun, mereka berhenti menyerukan agar Myanmar membebaskan tahanan politik dan sebaliknya hanya menyatakan ”mendengar seruan” untuk membebaskan para tahanan. Ini mencerminkan betapa pekanya masalah tersebut, terutama karena prinsip non-intervensi ASEAN.
Seorang diplomat dari salah satu negara anggota ASEAN mengatakan, para menlu ASEAN sebenarnya sejak Senin (2/8/2021) telah sepakat memilih Erywan sebagai utusan khusus. Namun, mereka tidak bisa mengumumkan karena Myanmar belum menyetujuinya.
Melihat kedekatan pemimpin junta militer Jenderal Min Aung Hlaing dengan Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha, Myanmar tampaknya lebih memilih calon dari Thailand sebagai utusan khusus. Namun, keluarnya nama Erywan, menurut diplomat yang tidak mau disebut namanya, menunjukkan pemimpin junta berharap mengandalkan dukungan negara-negara ASEAN untuk membentengi diri dari kecaman dunia internasional.
Meski ada kesepakatan, ASEAN tidak bisa memastikan apakah Erywan bisa dengan mulus mengakses berbagai kelompok yang saling berhadapan di Myanmar. Tak hanya akses militer, tetapi juga akses terhadap pemimpin partai Liga Demokrasi Nasional (LND), Aung San Suu Kyi, yang masih ditahan dengan tuduhan mengimpor alat komunikasi, serta para pemimpin politik lainnya.
Tidak mengenal
Publik ASEAN tidak banyak mengenal kerja-kerja diplomasi Erywan selama berada di Kementerian Luar Negeri Brunei Darussalam.
Dikutip dari laman Universitas Swansea, Inggris, Erywan pernah mendalami bidang genetika terkait tanaman pangan di universitas tersebut dan meraih gelar master tahun 1991. Kinerjanya di bidang tanaman pangan dan hortikultura membuat dia didapuk menjadi penanggung jawab masalah pertanian ASEAN tahun 1994.
Tahun 2005, dia memulai aktivitas di Departemen Perdagangan Internasional di bawah Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Brunei Darussalam dan terlibat dalam negosiasi perjanjian kemitraan ekonomi Brunei-Jepang. Dia juga juga menjadi bagian dari tim negosiasi perjanjian perdagangan bebas ASEAN-Selandia Baru hingga tahun 2007. Setelah itu, dia dipercaya menjadi Sekretaris Tetap Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Brunei Darussalam.
Delapan tahun kemudian, tahun 2015, dia diangkat sebagai Menteri Kedua di Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Brunei Darussalam hingga sekarang. (AP)