Terancam Perang Saudara, DK PBB Kecam Keras Kekerasan di Myanmar
Pernyataan pers Dewan Keamanan PBB dirancang Inggris dan disetujui oleh semua 15 anggota DK PBB. Namun, redaksional pernyataan itu menurut informasi diperlunak oleh China.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
NEW YORK, KAMIS — Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB pada Kamis (1/4/2021) malam mengecam keras penggunaan kekerasan terhadap pengunjuk rasa damai dan kematian ratusan warga sipil di Myanmar, tetapi menghapus ancaman kemungkinan dilakukannya tindakan pada masa depan terhadap junta militer setelah kudeta 1 Februari lalu. Kekerasan yang tidak kunjung henti dan bahkan makin menguat bisa membuat Myanmar jatuh dalam kondisi perang saudara.
Pernyataan pers DK PBB dirancang Inggris dan disetujui oleh semua 15 anggota DK PBB setelah negosiasi intens yang dimulai sejak Rabu (31/3/2021). DK PBB menyatakan, ”Keprihatinan yang mendalam pada situasi yang memburuk dengan cepat” di Myanmar dan menegaskan kembali seruan dewan kepada militer junta ”untuk menahan diri sepenuhnya”. ”Anggota Dewan Keamanan mengungkapkan keprihatinan yang mendalam atas situasi yang memburuk dengan cepat dan mengutuk keras penggunaan kekerasan terhadap pengunjuk rasa damai dan kematian ratusan warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak," demikian antara lain bunyi pernyataan itu.
Sejumlah sumber menyebutkan, draf asli pernyataan DK PBB itu sejatinya mengandung pernyataan-pernyataan jauh lebih kuat. Termasuk di dalamnya adalah pernyataan ”kesiapan DK PBB untuk mempertimbangkan langkah lebih lanjut”, yang dapat mencakup sanksi bagi Myanmar. Disebut juga pernyataan tentang penyesalan pada penggunaan kekerasan terhadap pengunjuk rasa damai dan ”mengutuk pembunuhan ratusan warga sipil oleh pasukan keamanan”.
Akan tetapi, draf itu kemudian dihapus, menurut info, atas desakan China. Frasa ”langkah lebih lanjut” dihilangkan dan bahasa yang lebih kuat, termasuk kata-kata ”membunuh” dan ”menyesalkan”, dilunakkan dalam pernyataan terakhir. Frasa ”langkah lebih lanjut” diganti dalam pernyataan akhir dengan kalimat yang mengatakan anggota DK PBB ”menekankan bahwa mereka terus memantau situasi dengan cermat dan akan tetap aktif menangani masalah tersebut”.
Akan tetapi, draf itu kemudian dihapus, menurut info, atas desakan China. Frasa ”langkah lebih lanjut” dihilangkan dan bahasa yang lebih kuat, termasuk kata-kata ”membunuh” dan ”menyesalkan” dilunakkan dalam pernyataan terakhir.
Pernyataan dewan terakhir juga menyerukan ”di semua pihak untuk menahan diri dari kekerasan”. Informasi yang diperoleh menyebutkan, frasa itu diminta Rusia. Termasuk juga atas frasa yang berbunyi ”menegaskan kembali perlunya menghormati hak asasi manusia sepenuhnya dan untuk mengupayakan dialog dan rekonsiliasi sesuai dengan keinginan dan kepentingan rakyat Myanmar”. Dicatat juga pernyataan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada 27 Maret 2021 yang ”menyerukan respons yang tegas, bersatu, dan keras dari komunitas internasional”.
Pernyataan pers DK PBB dihasilkan menyusul pertemuan secara tertutup oleh DK PBB sejak Rabu. Dalam pertemuan itu, utusan khusus PBB untuk Myanmar, Christine Schraner Burgener, memperingatkan bahwa Myanmar menghadapi kemungkinan perang sipil atau perang saudara ”pada skala yang belum pernah terjadi sebelumnya”. Ia pun mendesak DK PBB untuk mempertimbangkan ”tindakan yang cukup signifikan” untuk membalikkan kudeta dan memulihkan demokrasi.
Burgener tidak merinci tindakan apa yang dia anggap penting. Dia hanya melukiskan gambaran yang mengerikan dari tindakan keras militer dan mengatakan kepada DK PBB bahwa Myanmar ”berada di ambang menuju negara yang gagal”. Maka, Burgener pun mendesak DK PBB ”untuk mempertimbangkan semua alat yang tersedia guna mengambil tindakan kolektif” dan melakukan apa yang layak diterima rakyat Myanmar, semata-mata untuk ”mencegah bencana multidimensi di jantung Asia”.
Kudeta militer Myanmar pada awal Februari lalu dinilai membalikkan kemajuan demokrasi yang, meski lambat, terjadi selama bertahun-tahun di Myanmar. Negara itu selama lima dekade telah terkungkung di bawah pemerintahan militer yang ketat yang menyebabkan isolasi dan sanksi internasional. Saat para jenderal melonggarkan cengkeraman mereka, yang berpuncak pada kebangkitan Aung San Suu Kyi menjadi pemimpin negara itu melalui pemilu 2015, komunitas internasional meresponsnya dengan mencabut sebagian besar sanksi dan mengalirkan investasi ke negara tersebut.
Melanggar UU kerahasiaan
Dari Yangon dilaporkan, Suu Kyi telah dituduh melanggar undang-undang (UU) rahasia negara resmi era kolonial. Tuduhan terhadap Suu Kyi itu diungkapkan pengacaranya pada Kamis. Sebelumnya, Suu Kyi muncul melalui tautan video di pengadilan di ibu kota Myanmar, Naypyidaw. Suu Kyi menghadapi serangkaian dakwaan yang bisa membuatnya dilarang memegang jabatan politik.
Sidang menangani aspek administratif dari kasus tersebut, termasuk penunjukan resmi delapan pengacara pembela. ”Kondisi fisik Daw Aung San Suu Kyi baik menurut (pengacara yang melihatnya di layar). Dia pintar dan menawan seperti biasa,” kata pengacara Khin Maung Zaw kepada wartawan. Zaw kemudian mengatakan bahwa peraih Nobel Perdamaian itu telah dituduh melanggar UU rahasia resmi dalam gugatan yang diajukan pada 25 Maret 2021.
Tuduhan yang baru diumumkan itu muncul di tengah kemarahan internasional yang meningkat atas kudeta 1 Februari dan tindakan keras militer terhadap pengunjuk rasa yang telah menewaskan sedikitnya 535 orang. Inggris, misalnya, baru mengumumkan pengenaan sanksi terhadap Myanmar Economic Corporation (MEC), perusahaan yang dikendalikan oleh militer yang telah dimasukkan ke daftar hitam oleh Washington. Kekuatan internasional telah berusaha untuk menambah tekanan pada militer dengan mencapai kepentingan bisnisnya yang luas, termasuk perdagangan batu giok dan ruby yang menguntungkan di negara itu. (AP/AFP/REUTERS/BEN)