Meski Ditentang, Taman Nasional Kaeng Krachan Masuk Situs Warisan Budaya UNESCO
Taman Nasional Kaeng Krachan di Thailand memiliki keanekaragaman hayati dan menjadi habitat sejumlah tanaman dan hewan yang hampir punah. Namun, masuknya taman nasional ini sebagai situs warisan budaya dunia diprotes.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
BANGKOK, SELASA — Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) memasukkan kompleks Taman Nasional Kaeng Krachan yang terletak di Thailand barat daya dalam situs warisan budaya dunia (World Heritage List), Senin (27/7/2021). Namun, sejumlah anggota panel ahli hak asasi manusia PBB memperingatkan keputusan itu karena adanya pelanggaran hak masyarakat adat yang tinggal di kawasan hutan tersebut.
Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha memuji keputusan UNESCO memasukkan kawasan hutan itu dalam daftar situs warisan budaya mereka. Keluarnya keputusan itu diikuti janji PM Prayuth untuk melindung hutan sesuai dengan standar internasional.
”Mulai sekarang, pemerintah akan memulihkan hutan dan mempromosikan pengembangan mata pencarian serta hak asasi masyarakat lokal bersama-sama. Semua orang akan menjadi bagian dari manajemen sehingga akan timbul rasa memiliki,” kata Prayuth, dalam sebuah pernyataan yang diunggah di halaman media sosial Facebook.
Taman Nasional Kaeng Krachan yang memiliki luas sekitar 3.000 kilometer persegi mencakup kawasan dari Distrik Nong Ya Plong, Kaeng Krachan, dan Tha Yang di Provinsi Phetchaburi serta Hua Hin di Provinsi Prachuap Khiri Khan. Dikutip dari laman Situs Warisan Budaya Dunia UNESCO, taman nasional ini adalah rumah bagi keanekaragaman hayati yang sangat kaya.
Taman nasional ini tidak hanya menjadi rumah bagi spesies tanaman endemik, melainkan juga rumah bagi delapan spesies hewan yang juga terancam punah, seperti buaya siam (Crocodylus siamensis), anjing liar Asia (Cuon alpinus), banteng (Bos javanicus), gajah Asia (Elephas maximus), dan kura-kura kuning/bujur (Indotestudo elongata).
Meski dinilai memiliki keanekaragaman hayati yang kaya, ahli HAM PBB mendesak UNESCO untuk menunda pengumumannya sampai pemantau independen selesai melakukan inspeksi dan memberikan laporan lengkap tentang situasi masayarakat adat yang telah hidup dan berkembang di taman nasional tersebut
”Ini adalah kasus preseden yang penting dan dapat memengaruhi kebijakan tentang bagaimana hak-hak masyarakat adat dihormati di kawasan lindung di seluruh Asia. Orang asli Karen yang mendiami taman nasional terus diusir secara paksa dan rumah mereka dibakar,” kata kantor Komisaris HAM PBB, Jumat pekan lalu.
Dimasukkannya Taman Nasional Kaeng Krachan membuat Pongsak Tonnamphet, aktivis dan penduduk asli kawasan tersebut, kecewa.
”Keputusan itu tidak dibuat berdasarkan prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia. Kelompok minoritas tidak memiliki kesempatan untuk berbicara,” katanya.
Komite Warisan Dunia tidak mencantumkan taman tersebut pada tahun 2016 dan 2019 karena masalah hak asasi manusia. Otoritas menyatakan, kegiatan pertanian yang dilakukan oleh penduduk asli yang mendiami kawasan dinilai merusak lingkungan. Sementara dalam pandangan para aktivis, metode pertanian tradisional tidak merusak lingkungan. Dampaknya, pihak berwenang mengusir warga dari daerah tersebut dan tidak diizinkan mengolah tanah.
Salah satu hal yang menguatkan adanya dugaan kekerasan dan penghilangan paksa adalah penemuan jasad tubuh seorang pemimpin etnis Karen di dalam taman nasional tahun 2019, lima tahun setelah dia dilaporkan menghilang. Namun, kurangnya bukti dugaan pembunuhan dan penghilangan paksa membuat penyelidikan kasus itu dihentikan pada awal 2020.
Menurut kantor Komisi HAM PBB, lebih dari 80 warga etnis Karen telah ditangkap tahun ini, 28 orang di antaranya didakwa secara pidana karena ”perambahan” di tanah mereka di taman, termasuk seorang anak. (AFP/Reuters)