Perlu ada revitalisasi hubungan Indonesia-Pakistan, khususnya di kalangan generasi muda. Dalam hubungan ekonomi, peluangnya ada pada pebisnis muda: bagaimana Indonesia mau menengok Pakistan, Pakistan menengok Indonesia.
Oleh
MH SAMSUL HADI
·3 menit baca
Dari segi usia, hubungan Indonesia dan Pakistan secara resmi sudah setua negara masing-masing. Indonesia merdeka tahun 1945, Pakistan dua tahun kemudian. Ini artinya, hubungan tersebut sudah terpatri lebih dari 70 tahun. Namun, hubungan yang lama itu plus kesamaan sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim—Indonesia dan Pakistan secara berurutan negara berpenduduk Muslim terbesar pertama dan kedua di dunia—belum tergambar pada kerja sama bidang ekonomi atau perdagangan.
Hal itu merupakan salah satu refleksi yang muncul pada perbincangan secara virtual dengan Konsul Jenderal RI (KJRI) di Karachi June Kuncoro Hadiningrat, Kamis (22/7/2021). ”Kami ingin mengapitalisasi hubungan istimewa antara Indonesia dan Pakistan. Dari pengamatan kami, generasi tua (Pakistan) sangat tahu tentang Indonesia, tetapi generasi muda dan anak-anaknya tidak,” ujar June.
Di kalangan generasi tua di Pakistan, Indonesia dikenal sebagai negara sahabat dekat. Pada era perang kemerdekaan RI (1945-1948), Bapak Pendiri Pakistan Muhammad Ali Jinnah mengirim sekitar 600 tentara ke Bandung, Bukittinggi, dan Medan. Mereka ikut berjuang membela pasukan RI melawan agresi Belanda. Sebanyak 500 personel gugur, kata June, sedangkan 100 orang lainnya kembali ke Pakistan.
Generasi tua Pakistan juga selalu ingat peran Presiden pertama RI Soekarno membantu Pakistan dalam konflik dengan India saat akan merdeka tahun 1947. Soekarno, bersama Shah Iran, diingat warga Pakistan sebagai pemimpin yang pertama berkunjung ke negara itu.
Ada kedekatan sejarah dan agama. Ini modal utama dalam hubungan Indonesia-Pakistan.
Namun, kata June, kedekatan ini belum banyak disadari generasi muda Pakistan. Itu sebabnya, banyak dari mereka kerap bertandang ke Malaysia, Singapura, atau Thailand, tetapi melewatkan Indonesia. Juga, banyak pengusaha mereka menjalin relasi bisnis dengan Inggris, Amerika Serikat, dan lain-lain, tetapi Indonesia ”dilupakan”.
Perlu ada revitalisasi hubungan, khususnya di kalangan generasi muda. Salah satu langkah yang diluncurkan June dalam lingkup tugasnya sebagai Konsul Jenderal RI di Karachi adalah mendirikan Indonesia-Pakistan Young Association dan Indonesia-Pakistan Children Friendship.
Posisi Karachi, ibu kota Provinsi Sindh—ibu kota negara pertama Pakistan sebelum dipindahkan ke Islamabad tahun 1959—sangat sentral dan strategis bagi Pakistan. Kota di tepi Laut Arab itu menyumbang sekitar 60 persen sumber pajak dan sekitar 15 persen produk domestik bruto (PDB) Pakistan.
Karachi juga menjadi kota pusat bisnis dan keuangan. Banyak perusahaan utama dan perwakilan dagang, termasuk Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Pakistan, berkantor pusat di kota itu. Dengan dua pelabuhan, yakni Pelabuhan Karachi dan Pelabuhan Qasim, posisi Karachi semakin strategis dalam perdagangan antarnegara.
Mengenai hubungan perdagangan dengan Pakistan, June memaparkan, Indonesia menikmati surplus. Tahun 2019, Indonesia surplus 1,56 miliar dollar AS, sedangkan tahun 2020 surplus 2,19 miliar dollar AS. Minyak sawit dan batubara merupakan komoditas penopang surplus perdagangan itu.
Karena itu, lanjut June, pihaknya bersama Kedutaan Besar RI Islamabad berupaya mendiversifikasi komoditas perdagangan, seperti suku cadang kendaraan, rempah, kopi, serta produk makanan. ”Dan, yang tak terduga, mereka mengimpor sapu lidi dari Medan,” ujarnya.
Kecil-kecil, tetapi banyak. Itu paradigma diversifikasi komoditas yang coba dikembangkan. Sebuah perusahaan penghasil mi instan asal Indonesia juga tengah menjajaki pembangunan pabrik di wilayah Punjab, sekitar 1.000 kilometer timur laut Karachi.
Menurut June, ada sejumlah kendala, seperti tiadanya jalur penerbangan langsung Jakarta-Karachi, lamanya waktu tempuh pelayaran, masalah koneksi sistem perbankan, serta soal persepsi setiap pihak terkait potensi relasi bisnis.
Terkait persepsi itu, katanya, ”Bagaimana menghilangkan persepsi negatif dan tidak komplet tentang negara lain oleh setiap negara, lalu meneteskannya ke kalangan generasi muda.” Peluang terbesar untuk merevitalisasi hubungan itu ada pada pebisnis generasi muda: bagaimana pebisnis Indonesia mau menengok Pakistan, juga pebisnis Pakistan mau menengok Indonesia.