Terjadi insiden antara kapal perang milik China dan kapal militer Amerika Serikat di Laut China Selatan, Senin (12/7/2021). AS mengklaim berlayar di perairan internasional. China menuduh AS masuk ke wilayahnya.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
MANILA, SENIN — Insiden di Laut China Selatan kembali terjadi. Kali ini, pesawat tempur dan kapal perang milik Tentara Pembebasan Rakyat China mengusir kapal militer Amerika Serikat, USS Benson, dari perairan Laut China Selatan. Lokasinya di perairan sekitar Kepulauan Paracel, Senin (12/7/2021).
Menurut Beijing, USS Benson telah memasuki perairan milik China. Sementara Angkatan Laut AS melalui keterangan pers resmi mengatakan, mereka tidak melanggar batas maritim apa pun. USS Benson berlayar di perairan yang merujuk pada keputusan per 12 Juli 2016 oleh Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda, merupakan perairan internasional dan boleh dilewati oleh kapal dari mana saja.
China selama ini tidak mematuhi isi keputusan tersebut. Mereka bersikeras memakai sistem sendiri yang disebut sembilan garis batas. Merujuk pada sistem ini, China mengklaim 80 persen Laut China Selatan sebagai wilayahnya. Klaim ini berbenturan dengan Filipina, Vietnam, Jepang, dan India.
Selama lima tahun terakhir, benturan paling keras terjadi antara China dan Filipina. Presiden Filipina Rodrigo Duterte telah berkali-kali menegur China dan melayangkan komplain baik kepada Mahkamah Internasional maupun Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sementara China bergeming.
Filipina yang selama ini dikenal dekat dengan AS meminta bantuan dari negara adidaya tersebut. Selanjutnya, AS mengirim sejumlah kapal militernya untuk berpatroli di Laut China Selatan, termasuk di wilayah yang oleh Filipina dinamakan Laut Filipina Utara yang di dalamnya mencakup Kepulauan Spratly.
”Filipina dan AS menandatangani perjanjian pada tahun 1951. Isinya adalah apabila salah satu negara diserang atau menghadapi ancaman keamanan, negara lain akan membantu. Saat ini, Filipina diancam kedaulatannya oleh China. Oleh sebab itu, kami peringatkan Beijing untuk tidak mengeskalasi keadaan apabila tidak mau menyesal di kemudian hari,” kata Menteri Pertahanan AS Antony Blinken.
Menanggapi pernyataan Blinken, China melalui Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Zhao Lijian bersikukuh wilayah tersebut adalah bagian wilayah perairan China. Klaim ini didasarkan pada fakta sejarah China sebagai bangsa yang peradabannya telah berusia 5.000 tahun dan bukti-bukti legal lainnya.
Sementara itu, di Filipina, masyarakat memprotes sikap Presiden Duterte yang dianggap terlalu lunak menghadapi China. Hal yang dilakukan sebatas mengirimkan komplain dan peringatan. Namun, tindakan tegas lebih dari itu tidak ada. Dengan demikian, Filipina tampak seperti macan ompong di mata dunia. Berangkat dari ini, unjuk rasa di jalanan Manila dilakukan, antara lain, oleh Partai Komunis Filipina (PKF).
”Hari ini tepat lima tahun keputusan Mahkamah Internasional disahkan. Filipina memiliki semua alasan lengkap untuk menegaskan kedaulatan di Laut Filipina Utara. Tetapi, pemerintah tidak mau (bersikap), bahkan mereka sujud kepada China,” tutur Direktur Media PKF Marco Valbuena kepada media ABS-CBN News.
Kritik kepada Duterte juga muncul dari dalam partai politiknya sendiri, yaitu PDP-Laban. Ketua umum partai tersebut yang juga atlet tinju profesional, Manny Pacquiao, telah lama menyuarakan pandangannya terhadap lemahnya sikap Filipina dalam menangani masalah Laut China Selatan. Akibatnya, hubungan Duterte dan Pacquiao yang dulu akrab kini berubah menjadi saling bertentangan.
Selain melanggar kedaulatan wilayah negara, Filipina juga menuduh keberadaan kapal-kapal China merusak lingkungan. Berdasarkan analisis dari perusahaan citra satelit Simularity Inc yang dikutip oleh ABS-CBN News, pada 8-17 Juni, 236 kapal China membuang jangkar di Atol Pagkakaisa, atol terbesar di Kepulauan Spratly.
Kapal-kapal ini kemudian menumpahkan isi tangki septik dan air kotor bekas cucian ke laut. Menurut para ahli lingkungan di Filipina, pembuangan air kotor dalam jumlah banyak dan terus-terusan ini mengakibatkan lonjakan jumlah alga di Kepulauan Spratly. Alga membunuh terumbu karang yang akhirnya membuat populasi ikan berkurang. Ada pula tuduhan bahwa kapal-kapal China menangkap ikan dengan memakai dinamit. (AP)