Australia dan China bersitegang soal bantuan vaksin Covid-19 untuk Papua New Guinea. Keduanya saling tuduh dan sangkal tentang agenda politik di balik masing-masing bantuan vaksin.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
PORT MORESBY, SELASA — Australia dan China bersitegang soal bantuan vaksin Covid-19 untuk Papua New Guinea. Keduanya saling tuduh dan sangkal tentang agenda politik di balik masing-masing bantuan vaksin. Sementara Papua New Guinea menghadapi masalah minimnya tes dan pelacakan serta rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam vaksinasi Covid-19.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin, melalui harian Global Times, Senin (5/7/2021), menuduh Australia melakukan kampanye hitam soal vaksin dari China yang dikirim ke PNG. ”Kami sudah lelah dituduh memiliki agenda politik tersembunyi setiap kali mengirim vaksin ke negara lain. Situasi pandemi yang memiliki prioritas kemanusiaan jangan dipolitisasi,” tuturnya.
Menanggapi tuduhan China itu, Menteri Pembangunan Internasional Australia Zed Seselj, dalam kunjungan kerja ke Port Moresby, Selasa (6/7/2021), menyangkalnya. Ia menegaskan bahwa Australia tidak menurunkan konsultan kesehatan ke lembaga swadaya masyarakat PNG untuk menakut-nakuti warga soal vaksin buatan China.
”Justru semakin bagus kalau ada semakin banyak negara yang saling membantu. Kita butuh vaksin dalam jumlah besar. Negara yang kuota vaksinnya berlebih sepatutnya menyumbang ke negara yang membutuhkan,” ujar Seselja.
China mengirim 200.000 dosis vaksin Covid-19 merek Sinopharm ke PNG di akhir Juni lalu. Namun, sampai saat ini otoritas setempat belum memberikan izin penggunaannya. Sambil menunggu, vaksin dipakai untuk menyuntik warga negara China yang bekerja atau berdomisili di PNG.
Sementara Australia berjanji mengirim 15 juta dosis vaksin Covid-19 berbagai merek untuk disebar ke Timor Leste dan negara-negara di Kepulauan Pasifik. Kepada PNG, mereka mengirim 30.000 dosis AstraZeneca pada Maret. Sebelumnya, PNG sudah menerima 132.000 dosis AstraZeneca dari program Covax yang dikelola Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Hubungan China dengan Australia memburuk sejak 2020. Ini berawal dari kecurigaan pemerintah Australia tentang China yang sengaja menyebarluaskan virus SARS-CoV-2. Oleh sebab itu, Australia meminta diadakan penyelidikan terbuka. Pemerintah China tersinggung dengan pernyataan tersebut. Sebagai respons, China menaikkan pajak impor komoditas dari Australia sebesar 107-212,1 persen per November 2020.
Perdana Menteri PNG James Marape mengatakan, pihaknya tidak mempermasalahkan negara mana penyumbang vaksin Covid-19. Terpenting adalah upaya penanganan Covid-19 bisa dilakukan cepat karena PNG tengah menghadapi masalah yang serius.
Di atas kertas, akumulasi kasus positif negara tersebut relatif rendah, yakni 17.000 kasus dan 175 kematian. Akan tetapi, fakta di lapangan bisa jadi jauh lebih banyak dari data tersebut. Sebab, PNG tidak memiliki alat dan sumber daya manusia yang memadai untuk melakukan tes dan pelacakan.
PNG memiliki penduduk 9 juta jiwa yang mayoritas tersebar di wilayah pedesaan. Per Mei 2021, pemerintahnya hanya mampu melakukan 93.000 tes Covid-19. Sementara pelacakan masih jauh di bawah standar. Dengan demikian, terbuka kemungkinan banyak warga yang terkena Covid-19, tetapi tidak terdata.
Persoalan lain adalah rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam vaksinasi Covid-19. Pada Mei, harian The National menerbitkan hasil survei yang mengungkapkan 77 persen rakyat PNG tidak mau divaksinasi dengan alasan takut efek samping. Ada juga karena alasan keagamaan.
Universitas PNG dan Sekolah Kebijakan Publik Crawford pada Juni menerbitkan hasil survei tentang vaksinasi. Kali ini, pertanyaannya lebih spesifik, yaitu apakah masyarakat mau divaksinasi dengan vaksin AstraZeneca. Pilihan yang tersedia meliputi, ”ya”, ”tidak”, dan ”ragu-ragu”. Hasilnya, seperti dilansir harian Post Courier, 48 persen responden menjawab tidak mau. Sisanya mengatakan ragu-ragu. Hanya sebagian kecil responden yang bersedia untuk divaksinasi.
Oleh sebab itu, Persatuan Gereja Baptis PNG meminta kepada pemerintah agar menggencarkan sosialisasi program imunisasi Covid-19 kepada rakyat. Gereja Baptis PNG menawarkan diri sebagai mitra karena para pemuka agamanya memiliki jangkauan terhadap masyarakat, termasuk di daerah terpencil.
”Memahami risiko Covid-19 belum tentu diikuti dengan pemahaman terhadap vaksin Covid-19 dan imunisasinya. Pemerintah belum melihat perbedaan ini sehingga strategi komunikasi publik harus diubah,” kata Ketua Persatuan Gereja Baptis PNG Jeffery Moduwa.
Ia meminta pemerintah menyediakan keterangan lengkap tentang semua jenis vaksin yang tersedia beserta manfaat dan efek sampingnya. Cara itu akan membuat rakyat mengerti dan memutuskan dengan jernih. (AP/AFP/DNE)