Pembasmi Pandemi Menjadi Alat Diplomasi
Vaksin Covid-19 menjadi salah satu benda paling banyak dicari saat ini. Di luar fungsi kesehatan, vaksin Covid-19 juga mempunyai fungsi politis. Vaksin itu juga dipakai memperluas pengaruh negara di kancah internasional.
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan banyak pihak memperingatkan, sejumlah negara tak akan mendapat vaksin Covid-19 sampai tahun 2023. Euforia penemuan vaksin Covid-19 telah diikuti kemunculan nasionalisme vaksin dan strategi sejumlah negara menjadikan vaksin itu sebagai alat diplomasi.
Tak semua negara seberuntung Indonesia, Singapura, Amerika Serikat, atau Israel yang sudah memulai vaksinasi bagi warganya. Sampai Sabtu (27/2/2021), hampir 2,5 juta WNI dari sedikitnya 230 juta penduduk dunia yang sudah sama-sama divaksin Covid-19. Adapun penduduk di sedikitnya 100 negara belum tahu kapan vaksinasi akan dimulai.
Vaksin Covid-19 memang menjadi salah satu benda paling banyak dicari saat ini. Vaksin merupakan salah satu senjata andalan untuk mengatasi pandemi yang telah menghentikan hampir seluruh aktivitas di bumi setahun terakhir.
”Alih-alih mengirim tentara (untuk membantu) pengamanan negara lain, Anda bisa mengamankan negara itu dengan menyelamatkan nyawa, ekonomi, membantu vaksinasi,” kata Dania Thafer, Direktur Eksekutif Gulf International Forum, lembaga wadah pemikir di Washington, seperti dikutip The New York Times, 11 Februari 2021.
Baca juga: Edisi Khusus Satu Tahun Pandemi Covid-19
Dalam jajak pendapat oleh ISEAS Yusof Ishak Institute yang dipublikasikan pada Februari 2021, terungkap Asia Tenggara lebih peduli pada penanggulangan pandemi dibandingkan persaingan kekuatan besar di kawasan. Karena itu, warga ASEAN berharap mitra-mitranya memberikan bantuan terkait vaksin atau obat Covid-19.
Selain memiliki fungsi kesehatan, vaksin Covid-19 juga mempunyai fungsi politis. Israel menggunakan vaksin Covid-19 untuk berunding dengan Hamas dan Suriah. Israel setuju membeli vaksin buatan Rusia yang akan dikirim ke Suriah. Sebagai imbalan, Damaskus melepaskan warga Israel yang ditahan Suriah sejak beberapa waktu lalu.
Baca juga: Israel Barter Pembebasan Warganya dengan Beli Vaksin untuk Suriah
Di Gaza, sejumlah pejabat Israel mengakui, ada alasan politis di balik perintah menahan pasokan vaksin dari Tepi Barat ke Gaza yang dikuasai Hamas sejak 2007. Para pendukung politisi sayap kanan Israel meminta pemerintahnya memanfaatkan kebutuhan vaksin Covid-19 di Gaza sebagai alat tawar-menawar dengan Hamas.
Baca juga: Israel Menawarkan Vaksin ke Gaza, Hamas Menanggapi Dingin
Uni Emirat Arab (UEA) juga menggunakan vaksin untuk mendekati Hamas. Selain itu, UEA juga memberikan vaksin Covid-19 Sinopharm kepada negara-negara strategis untuk kepentingan bisnis, termasuk masing-masing 50.000 dosis ke Seychelles dan Mesir, meski sejumlah dokter di Mesir meragukan data uji klinis vaksin Sinopharm. Sebagian memang menolak, seperti Malaysia yang memilih membeli vaksin Pfizer-BioNTech dan Sinovac daripada menerima vaksin Sinopharm dari UEA.
Negara asal Sinovac dan Sinopharm, China, tak ketinggalan menawarkan vaksin kepada negara lain. Sebagian merupakan sumbangan, sebagian lagi terkait transaksi bisnis. Beberapa bulan selepas China merintis langkah yang disebut dengan diplomasi vaksin itu, Rusia mengikutinya.
Belakangan, India melakukan langkah serupa. Nepal, Bangladesh, Sri Lanka, dan Myanmar menerima vaksin dari negara produsen vaksin terbesar di bumi itu. Di Sri Lanka dan Nepal, China-India baku cepat menawarkan vaksin.
Hubungan China-India beberapa bulan terakhir memanas akibat sengketa perbatasan di kaki Himalaya. Keduanya juga berebut pengaruh di Asia Selatan dan kawasan sekitarnya. ”Bertindak di Timur. Bertindak cepat,” tulis S Jaishankar, Menteri Luar Negeri India, di Twitter ketika mengumumkan kedatangan 1,5 juta dosis vaksin di Myanmar.
Dengan tekanan pandemi yang hebat terhadap sistem kesehatan dan keterbatasan produksi serta akses terhadap vaksin Covid-19, sulit rasanya bagi negara miskin dan berkembang menolak bantuan vaksin Covid-19 dari negara lain. Ketika negara-negara kaya, seperti Amerika Serikat dan sejumlah negara Barat lainnya, menimbun vaksin Covid-19 untuk kebutuhan dalam negeri, beberapa negara memanfaatkan vaksin sebagai ”alat tukar” baru dalam diplomasi. Mereka memiliki kemampuan pengembangan dan produksi vaksin yang maju, seperti China, India, dan Rusia.
”Nasionalisme vaksin negara-negara Barat memberikan ruang bagi negara lain untuk menerapkan diplomasi vaksin,” ujar Yanzhong Huang, peneliti kesehatan global di Council on Foreign Relations, yang dikutip The Guardian edisi 19 Februari 2021. ”Diplomasi vaksin menjadi tambahan upaya mereka (China-Rusia) untuk memperkuat posisi di pentas global,” kata Agathe Demarais, direktur prakiraan global pada Economist Intelligence Unit (EIU).
Menghadang China
Dari sekitar 10 vaksin Covid-19 yang sudah dipakai di sejumlah negara dengan skema penggunaan darurat, China memiliki empat vaksin, yakni CoronaVac (Sinovac), Convidencia (CanSinoBIO), dan dua vaksin dari Sinopharm yang dikembangkan di Beijing serta Wuhan. Adapun India memproduksi vaksin Covaxin (Bharat Biotech-Indian Council of Medical Research-National Institute of Virology Pune) dan Covishield (vaksin AstraZeneca-Oxford) di Serum Institute of India. Rusia memiliki Sputnik V, EpiVacCorona (BEKTOP), dan vaksin yang dikembangkan Chumakov Center di Russian Academy of Science.
China telah menjanjikan vaksin Covid-19 kepada negara berkembang tahun lalu saat uji klinis vaksin masih berjalan dan produksi massal belum dimulai. Februari lalu, China, misalnya, berencana mendonasikan 300.000 dosis vaksin ke Mesir.
Baca juga: Vaksin Pertama China Menembus Uni Eropa
Menurut laporan The Guardian, dalam beberapa minggu terakhir, China telah memberikan vaksin Covid-19 kepada 13 negara dan berencana memasok ke 38 negara lainnya. Pada awal Februari lalu, 500.000 dosis vaksin Covid-19 dari China tiba di Pakistan, Kamboja, Nepal, Sierra Leone, dan Zimbabwe.
Di tengah menyebarnya vaksin Covid-19 dari China, India melihat peluang untuk membentuk citranya sendiri sambil menangkal pengaruh China yang kian meluas. Serum Institute of India (SII), produsen vaksin terbesar di dunia, memproduksi vaksin Covid-19 AstraZeneca-Oxford dengan kapasitas produksi harian sekitar 2,5 juta dosis.
Kapasitas produksi ini membuat India bisa mendonasikan vaksin gratis kepada tetangganya. Pesawat yang membawa vaksin dari India pun mendarat di Nepal, Bangladesh, Myanmar, Maladewa, Sri Lanka, Seychelles, dan Afghanistan. India juga mencoba membantu Brasil dan Maroko.
Bagi India, diplomasi vaksin menjadi langkah untuk menandingi pengaruh China yang kian besar di kawasan. Donasi vaksin India terbesar diberikan kepada Nepal yang telah jatuh ke dalam pengaruh China dan hubungannya dengan India menempati titik terendah dalam sejarah. Nepal menjadi negara strategis baik bagi India maupun China.
”Lingkungan sekitar India lebih riuh, lebih kompetitif,” kata Constantino Xavier, yang mempelajari hubungan India dan negara tetangganya, di Centre for Social and Economic Progress, organisasi pemikir di New Delhi. ”Vaksin mendorong kredibilitas India sebagai penanggung jawab yang bisa diandalkan dan penyedia solusi bagi negara-negara tetangganya.”
Baca juga: Tiga Srikandi Dunia Pengadaan Vaksin
Strategi China dan India tersebut memiliki risiko mengingat populasi kedua negara besar sehingga membutuhkan vaksin yang juga banyak. ”Orang India menderita. Orang India masih terinfeksi penyakit ini,” ujar Manoj Joshi, peneliti pada The Observer Research Foundation, organisasi pemikir di New Delhi.
”Saya bisa mengerti kalau kebutuhan kita sudah terpenuhi, lalu kita memberikan kepada orang lain. Namun, saya rasa ada superioritas moral palsu yang coba dipertunjukkan ketika orang mengatakan, ’Kami memberikan ketika kami belum memakainya di dalam negeri’.”
Untuk sekarang, Pemerintah India memiliki ruang untuk donasi vaksin karena laju produksi SII masih lebih cepat dibandingkan program vaksinasi India. Selain itu, sejumlah penduduk India tak terburu-buru mendapatkan vaksin karena skeptis atas vaksin dalam negeri mereka sendiri, yaitu Covaxin. Adapun Covishield, yang merupakan vaksin AstraZeneca-Oxford, lebih bisa diterima penduduk India.
Diplomasi vaksin juga merambah Eropa di tengah kelambatan Uni Eropa mengamankan kebutuhan vaksin. Serbia, misalnya, menerima bantuan vaksin Covid-19 dari Sinopharm, China, dan menambah pasokan vaksinnya dengan Sputnik V. Negara Balkan ini juga menandatangani kesepakatan pembangunan pabrik pengemasan vaksin dengan Rusia. Rusia juga mengirimkan Sputnik V ke Hongaria.
Egoisme Barat
Selain mengalirkan bantuan vaksin ke negara tetangganya, India melalui SII juga menjanjikan 200 juta dosis vaksin bagi negara miskin dan berkembang di dunia melalui mekanisme Covax. Adapun China berjanji mendonasikan vaksin ke Covax sebanyak 10 juta dosis. Covax digalang bersama oleh WHO, kelompok GAVI, dan Koalisi Inovasi Kesiapsiagaan untuk Epidemi (CEPI) guna memastikan ketersediaan vaksin Covid-19 bagi negara-negara yang tak mampu membeli atau mendapatkannya.
Keligatan China menawarkan vaksin ke sejumlah negara ditanggapi miring oleh banyak pihak, terutama di Eropa dan Amerika utara. ”Tidak ada keraguan, China melakukan diplomasi vaksin,” kata Yanzhong.
Presiden China Xi Jinping juga mewacanakan vaksin Covid-19 sebagai barang umum. Dengan demikian, siapa pun bisa memproduksi dan mendapatkannya dengan harga sangat terjangkau. Tawaran Xi mirip dengan keinginan Indonesia dan banyak negara lain.
Dalam berbagai kesempatan, Indonesia terus mendesak akses setara terhadap vaksin Covid-19. Desakan disampaikan di tengah kecenderungan sejumlah negara menimbun vaksin.
Baca juga: Memburu Vaksin, Menegakkan Diplomasi Perlindungan
Memang, ada iuran internasional untuk pembelian dan pengiriman vaksin. Eropa dan Amerika utara ikut dalam mekanisme yang dikenal sebagai Covax itu. Masalahnya, Eropa dan Amerika Utara gagal menghapus kesan egois soal vaksin. Mereka mengecam diplomasi vaksin China dan Rusia sembari sibuk memprioritaskan pengadaan vaksin untuk kebutuhan domestik masing-masing.
Kanada telah memesan vaksin melebihi yang dibutuhkan untuk menyuntik seluruh warga dan penduduknya. Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa malah menghambat ekspor vaksin sebelum kebutuhan domestik terpenuhi. Bahkan, di era pemerintahan Presiden Donald Trump, AS memutuskan keluar dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) kala dunia bergulat dengan Covid-19.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus kecewa karena sejumlah negara memprioritaskan kontrak bilateral mereka dengan produsen vaksin, sementara Covax tidak terlalu diurus. ”Beberapa negara dan perusahaan terus memprioritaskan kontrak bilateral, mengabaikan Covax, meningkatkan harga, dan mencoba menyerobot antrean (pembelian vaksin). Ini salah,” ujarnya.
Baca juga: Singapura Bahas Pengakuan Sertifikasi Vaksin Covid-19
Di Eropa barat, hanya Inggris yang berjanji menyumbang sisa vaksin ke negara lain. Sumbangan akan diberikan setelah semua orang dewasa Inggris divaksinasi. Hal itu, sebagaimana taksiran The Economist, berarti sumbangan paling cepat diberikan pada akhir 2021. Sebab, vaksinasi di Inggris ditaksir bisa menjangkau hingga 70 persen kelompok sasaran paling cepat pada September 2021.
Motif ekonomi
Selain alasan politis, tentu ada motif ekonomi di balik gencarnya tawaran vaksin oleh China, UEA, India, hingga Rusia. China ditaksir mendapat 2,8 miliar dollar AS jika bisa memenuhi 15 persen dari kebutuhan vaksin di 92 negara berpendapatan menengah dan negara miskin. Taksiran itu disampaikan perusahaan jasa penghubung pasar di Hong Kong, Essence Securities.
Perusahaan itu juga menyebut Prakarsa Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative) yang digagas China bisa diadaptasi agar bisa membangun sarana distribusi vaksin. Para pakar soal China menyebutkan bahwa bantuan vaksin dari China digunakan untuk menopang implementasi kerangka kerja inisiatif sabuk dan jalan.
Tahun lalu, Washington masih mengedepankan pendekatan ”America First” dalam merespons pandemi. Adapun Beijing telah menjalin kesepakatan uji klinis, produksi, dan penjualan vaksin Covid-19 di Amerika Latin yang selama ini berada di bawah pengaruh AS.
Terkait hal itu, Alibaba, perusahaan perdagangan daring asal China, telah membangun gudang distribusi vaksin di Etiopia dan UEA. China menawarkan pula pinjaman 1 miliar dollar AS kepada Amerika Latin dan Karibia untuk pembelian vaksin.
Gudang Alibaba adalah salah satu upaya UEA menjadi pusat distribusi vaksin global. UEA berambisi menjadi pusat pengiriman untuk 2 miliar dosis vaksin.
Lihat juga: Vaksinasi Global untuk Melawan Covid-19 Terus Meluas
UEA juga sudah menandatangani kontrak dengan China untuk memproduksi vaksin. Emirates, maskapai UEA, mengalihkan sumber daya dari pengangkutan orang untuk fokus ke kargo vaksin. Maskapai yang dikenal dengan pesawat-pesawat mewah itu bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan lain di Timur Tengah dan kawasan lain untuk menyukseskan target tersebut.
UEA bersiap pula menyediakan wisata vaksin. Istilah ini dipakai untuk menyebut warga asing yang datang ke suatu negara untuk disuntik vaksin Covid-19. Perusahaan Inggris, Knightsbridge Circle, menawarkan biaya tahunan 25.000 poundsterling dengan imbalan konsumennya divaksin di UEA.
Walhasil, vaksin Covid-19 sekarang ini menjadi barang yang banyak dicari oleh negara-negara di dunia untuk menghentikan pandemi dan menopang pemulihan ekonomi. Namun, dalam dinamika politik global, vaksin telah menjadi alat diplomasi yang dipakai untuk sejumlah kepentingan. (AP/AFP/REUTERS)