Potret Timpang Dunia dalam Penguasaan Vaksin
Pandemi hanya akan terpulihkan jika semua negara tanpa terkecuali terpulihkan dari Covid-19.
Potret dunia yang timpang tampaknya belum juga berubah. Bahkan ironisnya, dalam masa sulit Pandemi Covid-19 yang memerlukan solidaritas ini pun sisi senjang terkuak. Saat ini, negara-negara kaya mengusai lebih banyak vaksin dan sebaliknya negara miskin tidak berdaya.
Sebenarnya, saat ini secara global kabar baik mulai tampak sejalan dengan adanya tren penurunan kasus maupun kematian akibat Covid-19. Dalam catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sepanjang pandemi sudah terjadi sekitar 166,34 juta kasus yang memakan korban hingga 3,4 juta jiwa. Hanya saja, belakangan terjadi penurunan.
Tambahan kasus mingguan, misalnya, kini tercatat sebanyak 4,8 juta. Dibandingkan sebulan lalu (April 2021), tercatat 5,7 juta kasus dalam seminggu. Begitu pula, jika sebelumnya terjadi tambahan korban kematian hingga 94.000 seminggu, kini menjadi 84.000 kematian. Jika kondisi penurunan konsisten terpertahankan, pandemi menyurut.
Namun, sayangnya, kabar baik semacam ini tidak merata dirasakan. Hanya pada negara-negara tertentu yang berhasil menekan peningkatan kasus. Paling tinggi penurunannya terjadi pada negara-negara di belahan benua Eropa. Sebulan terakhir, misalnya, angka kematian mingguan menurun hingga 15 persen.
Di Inggris, dalam seminggu terakhir sebanyak 41 jiwa tak terselamatkan. Padahal di masa puncak dampak pandemi sebelumnya, Inggris pernah mengalami kematian mencapai 8.700 jiwa dalam kurun waktu seminggu.
Begitu pula negara kawasan Amerika, merosot hingga 6,5 persen. Amerika Serikat, negara dengan jumlah kasus terbesar (32,7 juta kasus sepanjang pandemi), seminggu terakhir mencatatkan 4.032 kematian. Pada masa sebelumnya, dalam seminggu pernah mencapai 23.464 kematian.
Bagi negara-negara di Eropa dan Amerika, pandemi mulai terkendali. Hanya saja, kondisi yang sama belum tampak terasakan pada kawasan dunia lainnya. Negara-negara di Afrika, sejak Maret 2021 lalu, cenderung tetap tinggi. Tidak terjadi lonjakan kasus memang, namun saat yang sama belum tampak pula penurunan yang signifikan.
Paling problematik, tampaknya pada negara-negara kawasan Asia. Khusus negara-negara di kawasan Asia Selatan, Timur, dan Tenggara, justru kabar buruk yang dihadapi. Faktanya, tren angka kematian mingguan masih meningkat. Minggu terakhir ini, justru bertambah sekitar 6,5 persen.
Di antara banyak negara di Asia, India menjadi gambaran negara yang paling menderita belakangan ini. Seminggu terakhir terjadi 1,8 juta tambahan kasus dengan kematian hingga 29.000. Artinya, sepanjang pandemi ini, dari 26,5 juta kasus yang terjadi di India sudah hampir 300.000 kematian tercatatkan.
Potret dunia dengan beragam kondisi ini menyiratkan masa depan pandemi yang belum terprediksikan kesudahannya. Bagi negara-negara kawasan Eropa, Amerika, dan beberapa kawasan lainnya, saat ini bisa jadi sudah menjadi titik balik dalam merajut masa depan yang sempat tercederai Covid-19.
Apalagi, pada negara-negara yang rata-rata secara ekonomi tergolong makmur tersebut, sejauh ini telah melengkapi pencegahan perluasan pandemi dengan kebijakan vaksinasi yang masif. Dengan demikian, lorong terang terwujudnya herd immunity pada penduduk di negara-negara tersebut menjadi semakin konkret.
Sementara sebaliknya, bagi negara-negara di luar kawasan yang ekonominya dalam kondisi belum makmur. Akhir pandemi masih samar tergambarkan. Harapan imunitas penduduk di negara-negara yang juga menanggung beban besar jumlah penduduknya itu, tampaknya masih jauh terjadi. Pasalnya, justru pada negara-negara kawasan ini yang tergolong masih kecil penguasaan vaksinnya.
Kajian terhadap produksi dan distribusi vaksin Covid-19 di 175 negara membuktikan relasi yang timpang di antara negara-negara di dunia ini. Sebagai gambaran, menurut pencatatan WHO, hingga saat ini sudah sekitar 1,448 miliar dosis vaksin Covid-19 yang teregister.
Dengan jumlah produksi vaksin sebesar itu, dalam catatan WHO, setidaknya sudah sebanyak 676,6 juta orang sudah tervaksinasi, minimal dengan satu dosis vaksin. Jumlah tersebut menunjukkan, masih kurang dari sepersepuluh penduduk dunia saja yang tersentuh vaksinasi. Secara global, vaksin masih terbilang langka.
Sayangnya, dalam keterbatasan tersebut, negara-negara yang terbilang kaya justru menikmati distribusi vaksin lebih besar. Sebaliknya, negara-negara yang tergolong belum makmur, tidak banyak berkutik. Dengan memilah setiap negara berdasarkan besar kecilnya derajat kemakmuran rata-rata setiap penduduk dan mengaitkannya dengan penguasaan negara tersebut terhadap vaksin, maka ketimpangan nyata tergambarkan (Tabel).
Pada tabel di atas, dari 175 negara yang dapat teranalisis, sebanyak 55 negara terkelompokkan menjadi negara kategori ”High Income”. Negara-negara tersebut tergolong makmur, dengan berpendapatan di atas 12.535 dollar AS per kapita. Pada negara-negara yang penduduknya mencapai 17,3 persen dari penduduk dunia tersebut, justru kini telah menguasai hingga 44,1 persen vaksin yang terproduksi.
Sebaliknya, pada 70 negara berkategori ”Lower-Middle Income” dan ”Low Income” (pendapatan per kapita di bawah 4.045 dollar AS), yang proporsi penduduknya mencapai 44,9 persen dari penduduk dunia itu, justru hanya mampu menguasai 17,1 persen vaksin.
Peta ketimpangan semacam ini jelas semakin mengukuhkan relasi senjang yang kini terbentuk di antara negara-negara di dunia. Apa yang terjadi, secara signifikan tergambarkan pula korelasi antara kemakmuran dan penguasaan vaksin. Semakin kaya suatu negara maka semakin tinggi pula penguasaan distribusi vaksin Covid-19. Sebaliknya, kecenderungan semakin miskin suatu negara maka semakin sedikit pula vaksin yang terkuasai.
Pada data catatan lainnya, fakta ketimpangan semakin jelas tergambarkan. Dengan mencermati peta kondisi vaksinasi per 100 penduduk pada setiap negara, lagi-lagi negara makmur berkuasa. Di Inggris, angka vaksinasi pada setiap 100 penduduk, kini sudah tercatat 84. Amerika Serikat, sekitar 80 dari 100. Pada kedua negara kaya tersebut, program vaksinasi sudah dimulai sejak pertengahan Desember 2020 lalu.
Gambaran semakin kontras jika melihat negara-negara di Afrika yang baru sejak Maret dan April 2021 lalu memulai vaksinasi. Di Ethiopia yang berpenduduk sekitar 112 juta penduduk, baru 1,4 dari 100 penduduk tervaksinasi. Bahkan, di negara Republik Demokratik Congo yang berpenduduk sekitar 86,8 juta jiwa tersebut, baru 17 dari setiap 1.000 penduduk tervaksinasi.
Jika ditelusuri lebih jauh lagi, faktor kesejahteraan penduduk suatu negara memang berkait dengan keberhasilan vaksinasi. Kajian terhadap 175 negara juga menunjukkan, tidak hanya persoalan kemakmuran ekonomi yang termanifestasikan dalam kategorisasi pendapatan per kapita masyarakat saja, namun juga paralel dengan kualitas kesejahteraan setiap individu (Indeks Pembangunan Manusia) di negara-negara tersebut.
Apa yang tergambarkan saat ini, terjadi kecenderungan jika pada negara-negara sejahtera yang tergambarkan dari tingginya kualitas Indeks Pembangunan Manusianya (IPM), baik dari sisi kesehatan, pendidikan, maupun pengeluaran, maka pada negara tersebut semakin tinggi pula kecenderungan capaian vaksinasi per 100 penduduk.
Apa yang dapat ditafsirkan dari semua fakta kajian yang terhimpun? Tampaknya, negara-negara yang kualitas penduduknya tinggi, dengan penguasaan vaksin ataupun vaksinasi yang dilakukan, tengah berupaya semakin melanggengkan keselamatan jiwa penduduknya.
Sebaliknya, saat ini masih menjadi problem besar bagi negara-negara dengan kualitas pembangunan manusianya masih relatif rendah. Sejalan dengan penguasaan vaksin dan program vaksinasi yang masih menyentuh sedikit kalangan, potensi ancaman Covid-19 masih menghantui keseharian mereka.
Di saat penduduk negara-negara maju mulai merancang kehidupan masa depan yang sempat terkoyak, penduduk di negara-negara yang belum maju masih saja bergulat antara kehidupan dan kematian. Inilah potret ketidakadilan dunia sesungguhnya.
Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Apakah di negeri ini turut menjadi korban dari ketimpangan dunia tersebut?
Problem pandemi dan upaya gencar dalam pencegahan melalui vaksinasi masih menjadi pergulatan panjang negeri ini. Tentu saja, jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Afrika yang berpendapatan lebih rendah, Indonesia masih relatif lebih baik.
Sebagai negara berpenduduk sekitar 270 juta dan berpendapatan 4.321 dollar AS, yang baru setahun terakhir ini ”naik kelas” masuk dalam kelompok negara ”Upper-Middle Income”, di negeri ini telah menguasai hingga 23,2 juta dosis vaksin. Dengan jumlah tersebut, sejak pertama kali vaksinasi dilakukan di minggu kedua Januari 2021 lalu, sudah tercatat pula 8,5 dari 100 penduduk tervaksinasi.
Baca juga: Pentingnya Pemerataan Vaksin
Capaian itu memang tergolong relatif kecil. Namun, itulah fakta kekinian, yakni produksi dan distribusi vaksin masih menjadi kendala. Sepanjang ketergantungan pada vaksin yang diproduksi negara lain terjadi, sepanjang itu pula ketidakberdayaan berlangsung.
Menjadi masuk akal jika Presiden Jokowi, begitu pula Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, berkali-kali secara kritis menyikapi kesenjangan vaksin di era pandemi ini. Terakhir, minggu lalu (21/5/2021) dalam KTT Kesehatan Global, misalnya, Presiden Jokowi mengingatkan jika pandemi hanya akan terpulihkan jika semua negara tanpa terkecualikan terpulihkan dari Covid-19. ”No one is safe, until everyone is,” kata Jokowi. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Meretas Akselerasi Vaksinasi Covid-19 Global