Produksi dan distribusi vaksin Covid-19 menjadi kendala dunia mencapai level kekebalan populasi global yang dikehendaki melalui vaksinasi Covid-19.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·5 menit baca
Kampanye vaksinasi terbesar sepanjang sejarah sedang berjalan. Berdasarkan data yang dihimpun Bloomberg, Selasa (2/3/2021), lebih dari 245 juta dosis vaksin Covid-19 telah diberikan di 107 negara atau rata-rata 6,7 juta dosis sehari. Dengan kecepatan itu, diperkirakan butuh waktu 4,5 tahun untuk mencakup 75 persen populasi dunia dengan pemberian vaksin dua dosis.
Berdasarkan jumlah dosis yang disuntikkan, Amerika Serikat, disusul China, Uni Eropa, Inggris, dan India adalah lima urutan teratas dalam kampanye vaksinasi saat ini. Akan tetapi, jika dihitung jumlah dosis per 100 penduduk, Israel, Seychelles, Uni Emirat Arab, Inggris, dan Maladewa adalah lima negara teratas.
Meski sudah banyak negara yang menggelar vaksinasi Covid-19, jumlah negara yang belum atau bahkan sama sekali belum mengamankan kebutuhan vaksinnya masih jauh lebih banyak. Ada sekitar 130 negara yang belum mendapatkan satu pun dosis vaksin Covid-19.
Covax—sebagai mekanisme pengadaan vaksin Covid-19 global yang digawangi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), aliansi vaksin Gavi, dan Koalisi untuk Inovasi Kesiapsiagaan Epidemi (CEPI)—baru mengirimkan vaksin Covid-19 ke negara-negara Afrika sepekan terakhir. Dimulai dari Ghana dan Pantai Gading, lalu menyusul sejumlah negara lain dalam beberapa hari terakhir, seperti Kenya, Gambia, Nigeria, Republik Demokratik Kongo, Angola, serta Kamboja di Asia Tenggara. Untuk kawasan Amerika Latin, Covax telah mengirimkan vaksin ke Kolombia.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menghendaki vaksinasi Covid-19 bisa berjalan di semua negara dalam 100 hari pertama pada 2021. Artinya, dalam waktu kurang dari 40 hari lagi, vaksin Covid-19 harus terdistribusi ke semua negara di dunia.
Januari lalu, Kepala Ilmuwan WHO Soumya Swaminathan mengatakan, ”Sekalipun vaksin Covid-19 sudah diberikan di banyak negara dan mulai memberikan perlindungan kepada kelompok yang paling rentan, kita tidak akan mencapai level kekebalan populasi tahun 2021.” Protokol kesehatan mulai dari memakai masker, mencuci tangan pakai sabun, dan menjaga jarak harus tetap dijalankan dengan disiplin.
Untuk mencapai kekebalan populasi butuh waktu. ”Butuh waktu untuk meningkatkan skala produksi vaksin, bukan dalam jutaan dosis, melainkan miliaran dosis,” kata Swaminathan.
Terlepas dari berita gembira bahwa sekarang sebaran vaksin Covid-19 semakin luas seiring dengan distribusi Covax, tantangan program vaksinasi Covid-19 tetap besar. Keterbatasan produksi, seperti yang disampaikan Swaminathan, hanyalah salah satunya. Munculnya strain baru virus SARS-CoV-2 di berbagai negara, nasionalisme vaksin, dan keraguan akan vaksin adalah persoalan lain dalam program vaksinasi Covid-19 yang tidak mudah diselesaikan.
Dalam tulisan ilmiahnya di majalah Science, Juan Camilo Castillo dari University of Pennsylvania dkk, mengatakan bahwa meski manfaat vaksin sangat jelas, langkah banyak negara belum mendukung untuk peningkatan produksi vaksinasi. Banyak negara tidak akan mencapai cakupan vaksinasi hingga akhir 2022.
Kapasitas produksi
Castillo menyarankan, ketika memesan vaksin kepada produsen farmasi, negara-negara sebaiknya tidak hanya memesan sesuai kebutuhan, tetapi juga memberikan insentif kepada produsen untuk meningkatkan kapasitas produksinya. Selain itu, negara juga diharapkan berinvestasi dalam rantai pasok produksi vaksin untuk mengantisipasi permintaan yang melonjak akan produk yang dibutuhkan dalam produksi vaksin, seperti vial kaca untuk kemasan vaksin, partikel lipid, dan bioreaktor.
Hal lain yang bisa dilakukan adalah mengoptimalkan penggunaan vaksin dengan efikasi yang lebih rendah, tetapi masih di atas standar efikasi yang ditetapkan oleh otoritas kesehatan, yaitu minimal 50 persen. Dengan kata lain, negara-negara diharapkan memiliki opsi vaksin yang beragam, tidak hanya mengandalkan pada vaksin tertentu dengan efikasi yang paling tinggi.
Wakil CEO CEPI Frederik Kristensen menyadari bahwa kapasitas produksi vaksin Covid-19 global menjadi hambatan dalam program vaksinasi Covid-19 global. Untuk meningkatkan kapasitas produksi, fasilitas produksi vaksin Covid-19 yang selama ini terkonsentrasi di beberapa negara perlu ditambah.
”Produksi di minimal dua negara untuk setiap vaksin adalah bagian dari rencana,” ujar Kristensen seperti dikutip Deutsche Welle, 27 November 2020. ”Jadi, ini adalah usaha untuk meningkatkan kapasitas produksi sekaligus mempercepat dan mendekatkan distribusi.”
Apabila mayoritas negara di dunia mengandalkan kemampuan pengadaan vaksin Covid-19 melalui Covax, kebutuhan vaksin setiap negara yang bisa dipenuhi terlalu rendah untuk mencapai target kekebalan populasi. Dengan kata lain, pandemi akan berlarut-larut.
Pendekatan baru
Media Politico edisi 3 Maret 2021 melaporkan, India dan Afrika Selatan telah mengajukan pendekatan baru untuk menyelesaikan masalah kapasitas produksi vaksin Covid-19, yaitu mengesampingkan hak atas kekayaan intelektual pengembangan vaksin Covid-19 sehingga dua negara ini bisa memobilisasi industri farmasinya untuk turut memproduksi vaksin Covid-19. Usulan ini sudah diajukan kedua negara ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Pendekatan ini masuk akal. Seperti diketahui, industri farmasi India sangat kuat. Bahkan, sekitar 60 persen produksi vaksin global berasal dari India. Serum Institute of India mampu memproduksi 70-80 juta dosis vaksin Covid-19 AstraZeneca-Oxford dalam sebulan.
Akan tetapi, negara-negara kaya, dipimpin oleh AS dan Uni Eropa di mana vaksin Covid-19 dibuat menolak inisiatif ini. Mereka ingin melindungi industri farmasinya dari kompetisi negara lain, termasuk India, China, dan Afrika Selatan.
Argumen negara-negara kaya juga masuk akal. Sebab, jika industri farmasinya dipaksa menyerahkan hak atas kekayaan intelektualnya secara gratis, tidak ada lagi insentif untuk melanjutkan kembali riset pengembangan vaksin Covid-19 untuk melawan varian baru virus SARS-CoV-2.
Di balik kedua argumen itu, disadari atau tidak, tersimpan juga pertimbangan geopolitik dari kedua pihak dalam melancarkan diplomasi vaksin.
Yang jelas terjadi dalam sekarang adalah pengaruh Barat yang kian tergerus dalam tata kelola kesehatan global. Menyadari ini, Presiden Perancis Emmanuel Macron menyerukan donasi 3-5 persen vaksin Covid-19 Eropa dan AS kepada negara-negara berkembang.
Ketua Komisi Eropa Ursula von der Leyen pun lalu mengumumkan bahwa UE akan melipatgandakan kontribusinya kepada Covax dari 500 juta euro menjadi 1 miliar euro dan menjanjikan tambahan 100 juta euro untuk bantuan kemanusiaan program vaksinasi Covid-19 di Afrika.
Meningkatkan kontribusi pada skema Covax dan menghentikan nasionalisme vaksin sepertinya menjadi jalan terbaik untuk memastikan peningkatan produksi dan pemerataan distribusi vaksin Covid-19 untuk mencapai level kekebalan populasi global tertentu. Bagaimana ini akan berjalan di lapangan, waktu akan menjawabnya.