Irak mengalami krisis listrik di tengah suhu udara yang mencapai lebih dari 40 derajat celsius. Listrik yang sudah sepekan tidak menyala mendorong warga berunjuk rasa di jalan-jalan di Baghdad.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
BAGHDAD, JUMAT — Ratusan warga Irak turun ke jalan-jalan untuk berunjuk rasa akibat mati listrik secara masif yang sudah terjadi selama hampir satu pekan hari terakhir. Di tengah krisis tersebut, menteri kelistrikan negara tersebut mengajukan pengunduran diri akibat tidak tahan terhadap tekanan politik.
”Mati listrik berkali-kali, minimal 10 jam sehari. Namun, sekarang sudah berhari-hari kami tidak punya listrik,” keluh Haider Hussein (32), seorang buruh yang turut berunjuk rasa. Protes ini dimulai seusai ibadah shalat Jumat (2/7/2021).
Hampir sepekan terakhir, Baghdad dan provinsi-provinsi di selatan, seperti Maysan, Samawah, Dhi Qar, dan Basra, mengalami mati listrik berkepanjangan. Padahal, cuaca sedang terik-teriknya. Suhu di Baghdad mencapai 48 derajat celsius, bahkan di sejumlah kota ada yang mencapai 50 derajat celsius.
Namun, warga tidak bisa menikmati semilir kipas angin, apalagi penyejuk udara, karena tidak ada listrik. Di kompleks perumahan orang-orang kalangan mampu, tampak asap hitam membubung. Para penghuni kompleks menyalakan generator berbahan bakar solar untuk menciptakan listrik di rumah masing-masing.
Sebaliknya, warga dari kalangan tidak mampu hanya bisa pasrah. Salah satu contohnya Abu Yasar (63). Ia membasahi pakaiannya dan merebahkan diri di lantai rumahnya yang terbuat dari semen demi mendinginkan suhu tubuh. ”Saya punya penyakit asma. Rasanya menderita sekali di tengah hawa panas begini,” ujarnya.
Protes terjadi di berbagai kota, terutama di wilayah selatan Irak, sejak 29 Juni. Media The New Arab melaporkan, di kota Aziziyah, empat pengunjuk rasa terluka akibat bentrok dengan aparat penegak hukum yang diduga menembakkan peluru tajam kepada para pengunjuk rasa.
Para pengamat politik negara tersebut mewanti-wanti Perdana Menteri Mustafa al-Kadhimi agar segera mencari jalan keluar. Rakyat tidak hanya kepanasan, tetapi ekonomi juga berhenti karena produksi tidak bisa berjalan tanpa listrik. Biasanya pembangkit listrik di Irak bisa menghasilkan 12.000-17.000 megawatt per hari. Akan tetapi, pada Jumat, daya yang dihasilkan hanya 4.000 megawatt. Tengah hari meningkat menjadi 8.000 megawatt.
Di tengah krisis energi ini, Menteri Kelistrikan Irak Majed Hantoush malah mengundurkan diri. Akibatnya, Kadhimi berjanji akan segera membentuk satuan tugas darurat untuk mengurus masalah energi. Kementerian Kelistrikan mengungkapkan, mayoritas masalah listrik ialah karena kabel-kabel sering dirusak oleh kelompok tidak dikenal. Misalnya, pada Kamis (1/7/2021), kabel berkapasitas 400 kilovolt di Kirkuk-Qayara dan kabel 132 kilovolt di Salahhadin dirusak.
Selain itu, yang membuat rakyat semakin berang ialah Irak bergantung pada impor listrik dari Iran yang tengah mengalami masalah sendiri. Apalagi, para pengunjuk rasa menuduh Pemerintah Irak belum membayar atau melunasi biaya pembelian listrik dari Iran.
Unjuk rasa besar mengenai kedaulatan energi Irak juga terjadi pada tahun 2019 di seluruh penjuru negeri. Rakyat memprotes ketimpangan akses terhadap air dan listrik. Pemerintahan yang korup dinilai memperparah kondisi pascaperang. Pada protes ini tercatat 250 orang tewas dan 8.000 orang terluka karena aparat penegak hukum melemparkan granat dan gas air mata ke mereka. (AP/REUTERS)