Masih ada 433 desa di Indonesia yang belum berlistrik. Dengan pola permukiman warga yang terpencar, elektrifikasi dengan tabung listrik menjadi pilihan utama ketimbang dengan model mikrogrid.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tabung listrik menjadi pilihan pemerintah untuk menerangi wilayah terpencil yang belum teraliri listrik. Tabung listrik adalah seperangkat alat yang dapat menyimpan daya listrik dan berfungsi seperti bank daya atau power bank. Sumber daya tabung listrik ini dari sumber energi terbarukan.
Pemerintah mencatat, masih ada 433 desa yang sama sekali belum teraliri listrik. Ratusan desa itu sebagian besar berada di wilayah terpencil, yaitu di Provinsi Papua dan Papua Barat. Tahun ini, pemerintah berambisi agar seluruh desa tersebut teraliri listrik. Hingga triwulan I-2020, rasio desa berlistrik di Indonesia mencapai 99,48 persen.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Rida Mulyana, Senin (24/8/2020), mengatakan, pemanfaatan sumber energi terbarukan tetap menjadi pilihan utama untuk melistriki ratusan desa tersebut. Namun, mayoritas desa yang belum berlistrik akan memperoleh pembagian tabung listrik (talis). Lantaran ada pandemi Covid-19, pendistribusian talis yang direncanakan tahun ini diundur menjadi tahun depan.
”Kenapa dibagikan talis? Sebab, dengan kondisi demografi yang ada tidak memungkinkan untuk dibangun mikrogrid. Sistem grid cocok untuk komunal (masyarakat yang bermukim secara berkelompok), sementara saudara-saudara kita yang menjadi target pembagian talis pola bermukimnya terpencar,” kata Rida saat dihubungi di Jakarta.
Kenapa dibagikan talis? Sebab, dengan kondisi demografi yang ada tidak memungkinkan untuk dibangun mikrogrid.
Rida menambahkan, penganggaran talis diusulkan Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM. Adapun untuk pengisian daya talis dilakukan melalui stasiun pengisian daya listrik (charging station) yang dibangun dan dikelola PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
Selain mampu menyimpan daya listrik, talis mudah untuk dibawa atau dipindahkan (portable). Ada tiga macam kapasitas talis, yaitu 300 watt jam (Wh), 500 Wh, dan 1.000 Wh, yang bisa untuk menyalakan beberapa bohlam dan televisi, serta mengisi daya telepon seluler. Daya listrik dari talis diperoleh dari pembangkit listrik tenaga surya atau dari stasiun pengisian energi listrik.
Sementara itu, sistem smart microgrid terdiri dari intelligent inventer yang dapat mengonversi sumber energi DC yang berasal dari surya, air, angin, dan biogas untuk pemakaian listrik AC. Kelebihan sistem ini adalah jika pasokan berlebih, maka akan disimpan di dalam baterai dan akan digunakan pada saat beban puncak. Kementerian ESDM berencana mengembangkan sistem itu untuk pulau-pulau terpecil.
”Pembangkit listrik ini akan dimanfaatkan menjadi penggerak aktivitas perekonomian masyarakat setempat berbasis kemaritiman. Dengan begitu, daerah terpencil bisa mengandalkan sumber-sumber yang ada di daerah untuk bisa mengembangan industri,” kata Menteri EDSDM Arifin Tasrif melalui siaran pers.
Sebelumnya, Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Saril menyatakan, PLN komitmen melistriki seluruh wilayah Nusantara. Tak hanya meningkatkan rasio elektrifikasi, PLN juga akan meningkatkan kepuasan pelanggan.
”Usaha untuk menaikkan rasio elektrifikasi nasional meningkat pesat sejak 2014 yang sebesar 84,35 persen menjadi 99,09 persen sejak triwulan I-2020. Jadi, ada kenaikan lebih dari 14 persen,” ujarnya.
Pemanfaatan sumber energi terbarukan setempat menjadi andalan untuk melistriki wilayah-wilayah terpencil di Indonesia. Namun, potensi energi terbarukan yang melimpah belum seluruhnya berhasil dioptimalkan. Data Kementerian ESDM menunjukkan, potensi sumber energi terbarukan di Indonesia sebesar 417.800 megawatt, pemanfaatannya masih sekitar 10.400 megawatt.
Salah satu sebab pengembangan energi terbarukan di Indonesia belum optimal terletak pada terbatasnya anggaran pemerintah. Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Kementerian Keuangan Adi Budiarso menyatakan, Indonesia membutuhkan pendanaan sampai Rp 3.461 triliun mulai 2018 untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca 29 persen pada 2030.
Kebutuhan pendanaan tersebut dirancang sejak 2018. Kemampuan pendanaan dari APBN sejauh ini rata-rata Rp 90 triliun sehingga ada kekurangan hampir Rp 170 triliun per tahun (Kompas, 15/8/2020).
Pemerintah menargetkan investasi di sektor energi terbarukan sebesar 2,3 miliar dollar AS tahun ini. Pada 2019, realisasi investasi di sektor ini mencapai 1,5 miliar dollar AS. Pandemi Covid-19 yang turut melanda Indonesia sejak awal Maret lalu diperkirakan bakal membuat pengembangan energi terbarukan lesu dan tak sesuai target.