Koalisi 83 Negara Bahas Upaya Perangi NIIS di Masa Depan
Sisa-sisa NIIS masih menjadi ancaman besar bagi Irak dan Suriah. Bahkan, kelompok ekstremis itu semakin menguat di beberapa wilayah Afrika. Negara-negara berkoalisi membahas langkah untuk mencegahnya.
Oleh
Pascal S Bin Saju
·4 menit baca
ROMA, SENIN — Saat Amerika Serikat menarik mundur pasukannya dari Afghanistan, Koalisi Global yang memerangi Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) bertemu di Roma, Senin (28/6/2021). Koalisi 83 negara itu membahas langkah-langkah di masa depan untuk melawan kelompok ekstremis tersebut.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dan Menlu Italia Luigi Di Maio memimpin pertemuan para pejabat senior dari blok berusia tujuh tahun itu. Pertemuan Koalisi Global itu berlangsung sehari setelah AS menyerang milisi yang didukung Iran di dekat perbatasan Irak-Suriah.
Para peserta pertemuan Koalisi Global itu mempertimbangkan semua upaya terbaik mereka saat ini untuk memastikan kekalahan total NIIS di masa depan. Sebab, sisa-sisa NIIS masih menjadi ancaman besar bagi Irak dan Suriah dan bahkan semakin menguat di beberapa wilayah di Afrika.
Memang ada prioritas internasional lainnya yang signifikan, termasuk menjinakkan pandemi virus korona baru penyebab Covid-19 dan meningkatkan perang melawan perubahan iklim. Namun, Koalisi Global berharap bisa menstabilkan kembali wilayah yang hancur akibat NIIS, memulangkan dan meminta pertanggungjawaban pejuang asing atas tindakan mereka, serta memerangi sisa-sisa kelompok ekstremis.
Kelompok ekstremis NIIS secara umum telah dikalahkan setelah kelompok ini menghancurkan sebagian besar wilayah di Irak dan Suriah. Blinken dan Di Maio mendesak perwakilan dari 77 negara lain dan lima organisasi yang membentuk koalisi untuk tidak lengah atas kemungkinan kebangkitan NIIS.
”Daesh (NIIS) masih bisa menjadi ancaman dan menarik dukungan,” kata Di Maio, merujuk NIIS dengan akronim bahasa Arab.
Di Maio meminta perhatian khusus untuk diberikan kepada Afrika, terutama di wilayah Sahel. Di sana, NIIS mendapatkan daya tarik. Dia menyerukan koalisi untuk menciptakan mekanisme khusus guna menghadapi ancaman itu.
Blinken mencatat bahwa meskipun kalah, elemen NIIS di Irak dan Suriah masih bercita-cita untuk melakukan serangan skala besar. ”Bersama-sama, kita harus tetap berkomitmen pada tujuan stabilisasi kita seperti yang kita lakukan pada kampanye militer kita, yang menghasilkan kemenangan di medan perang,” katanya.
Blinken mengumumkan kontribusi baru AS sebesar 436 juta dollar AS untuk membantu orang-orang telantar di Suriah dan negara-negara sekitarnya. Dia juga menyerukan upaya baru untuk memulangkan dan merehabilitasi atau menuntut sekitar 10.000 pejuang NIIS yang dipenjara oleh Pasukan Pertahanan Suriah.
”Situasi ini tidak bisa dipertahankan,” kata Blinken. ”Itu tidak bisa bertahan tanpa ada batas (waktu).”
Selain itu, Blinken juga mengumumkan sanksi terhadap Ousmane Illiassou Djibo, penduduk asli Niger, yang merupakan pemimpin kunci afiliasi NIIS di Sahara Raya. Djibo ditetapkan sebagai teroris global, yang berarti bahwa aset apa pun yang mungkin dia miliki di AS dibekukan. Warga Amerika juga dilarang melakukan transaksi apa pun dengan Djibo.
Pertemuan Senin ini adalah pertemuan pertama tingkat senior koalisi yang diadakan secara langsung sejak pandemi Covid-19 dimulai pada Desember 2019.
Selain pertemuan tentang NIIS, para menteri luar negeri koalisi yang peduli dengan konflik lebih luas di Suriah juga berada di Roma menjelang pemungutan suara kritis di PBB tentang apakah akan mempertahankan koridor bantuan kemanusiaan dari Turki. Rusia telah menolak otorisasi ulang saluran tersebut di tengah pembicaraan damai yang terhenti antara Suriah dan pemberontak.
Pekan lalu, Utusan Khusus PBB untuk Suriah Geir Pederson mengatakan, ada tanda-tanda mengkhawatirkan bahwa NIIS mungkin semakin kuat di Suriah. Dia menyerukan peningkatan kerja sama untuk melawannya. Pederson juga bergabung dengan seruan untuk pembicaraan internasional baru guna mengakhiri perang saudara Suriah.
Sejak konflik Suriah meletus pada Maret 2011, banyak pertemuan tingkat tinggi yang bertujuan untuk mengakhiri pertempuran dan membimbing negara itu ke transisi politik gagal memberikan dampak yang bertahan lama.
PBB, AS, Rusia, dan banyak negara lain mendukung resolusi Dewan Keamanan pada Desember 2015. Resolusi itu mendukung peta jalan menuju perdamaian di Suriah yang menyerukan konstitusi baru diikuti oleh pemilihan umum yang diawasi PBB.
Serangan roket
Kelompok NIIS, Senin (28/6/2021), mengaku bertanggung jawab atas serangan roket terhadap pembangkit listrik di Irak. Kementerian Pembangkit Listrik Irak mengatakan di akun Facebook, PLN Salah al-Din di kota Samarra rusak parah akibat serangan roket Katyusha.
Di belahan lain, di Nigeria, kelompok ekstremis Boko Haram berjanji setia kepada saingan Negara Islam Provinsi Afrika Barat (ISWAP) beberapa minggu setelah mantan pemimpin kelompok itu tewas. Hal itu terungkap dalam video yang diperoleh Reuters, Senin ini.
Video itu memicu kekhawatiran bahwa ISWAP sedang mengonsolidasikan kendali atas pemberontakan di Nigeria timur laut setelah kematian pemimpin Boko Haram. Abubakar Shekau, bulan lalu.
Namun, tidak semua pengamat yakin video itu adalah bukti bahwa semua pejuang Boko Haram siap bergabung dengan ISWAP. Keduanya terlibat dalam persaingan kekerasan selama bertahun-tahun. Jika ISWAP berkoalisi dengan Boko Haram, mereka dapat menjadi lawan tangguh militer Nigeria.