Militer Dikerahkan Lagi Melawan Taliban dan NIIS, Perdamaian Pun Buram
Militer Afghanistan kembali beroperasi melawan kelompok bersenjata seperti Taliban. Semula militer hanya dalam posisi melawan untuk membela diri karena proses perundingan perdamaian yang tengah berjalan.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
KABUL, RABU — Proses perdamaian Afghanistan yang dibangun dengan susah payah terancam buyar. Militer kembali dikerahkan untuk melawan teroris Negara Islam di Irak dan Suriah serta pejuang Taliban setelah penyerangan di rumah sakit bersalin di Kabul dan acara pemakaman di Nangarhar.
Sedikitnya 14 orang tewas, termasuk bayi dan perawat, ketika sekelompok orang bersenjata menyerang rumah sakit bersalin, Barchi National, di Kabul, Afghanistan, Selasa. Tiga penyerang di rumah sakit itu tewas dalam baku tembak dengan aparat keamanan.
Belum ada kelompok yang mengklaim menyerang rumah sakit bersalin di Kabul. Presiden Afghanistan Ashraf Ghani menuding kelompok Taliban dan teroris Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) mendalangi dua serangan itu.
Rumah sakit itu berada di wilayah masyarakat minoritas Syiah Hazara, kelompok yang sering diserang oleh kelompok garis keras NIIS. Rumah sakit itu didukung organisasi kemanusiaan Dokter Tanpa Batas. Namun, kelompok belum berkomentar terkait serangan di rumah sakit.
Juru bicara Kementerian Dalam Negeri Afghanistan, Tareq Arian, mengatakan, korban tewas termasuk bayi, perawat, dan juga para ibu yang melahirkan. Sekitar 15 orang terluka dan lebih dari 100 orang, termasuk di antaranya tiga warga asing, berhasil diselamatkan.
Salah satu korban, Jamila, mengatakan, ia sedang berada di rumah sakit itu karena harus membawa cucu-cucunya untuk vaksinasi. ”Kami sedang di luar waktu itu. Saya mau masuk, tetapi mereka menembaki saya. Salah satu cucu saya meninggal,” ujarnya.
Sekitar satu jam setelah serangan di rumah sakit, ledakan bom bunuh diri terjadi di pemakaman di Nangarhar dan menewaskan 24 orang. Terkait serangan ini, kelompok NIIS mengklaim bertanggung jawab, tetapi tidak berkomentar atas serangan di rumah sakit bersalin di Kabul.
Kerahkan militer
Kelompok Taliban membantah terlibat dalam insiden di pemakaman, tetapi belum berkomentar terkait serangan di Kabul. Menyikapi insiden terbaru itu, Presiden Ghani memerintahkan militer untuk kembali mengaktifkan operasi militer terhadap kelompok bersenjata.
Semula militer hanya dalam posisi melawan untuk membela diri karena perundingan perdamaian yang tengah berjalan. Namun, rupanya Taliban semakin gencar menyerang setelah menandatangani kesepakatan damai dengan Amerika Serikat di Doha, Qatar, pada akhir Februari 2020.
Dua serangan yang terjadi beruntun itu kemudian memicu pertanyaan nasib proses perdamaian yang tertatih-tatih akibat krisis pandemi Covid-19. Seharusnya setelah kesepakatan damai diteken bersama dengan AS pada 29 Februari lalu, kelompok Taliban tidak boleh lagi melakukan serangan di kota-kota Afghanistan.
Kesepakatan itu diharapkan membuka dialog damai intra-Afghanistan, terutama antara Taliban dan pemerintah. Dalam kesepakatan itu disebutkan, seluruh pasukan asing dan AS harus keluar dari Afghanistan tahun depan. Ribuan tentara AS sudah ditarik.
Namun, sejak awal Maret 2020, kelompok Taliban mulai menyerang pos-pos militer Aghanistan di sejumlah tempat. Militer Amerika Serikat pun melancarkan serangan udara terhadap Taliban di Provinsi Helmand, pada 4 Maret 2020, empat hari setelah kesepakatan damai AS-Taliban diteken.
Situasi itu menambah kondisi ketidakpastian di Afghanistan. Beberapa saat sebelum serangan udara AS tersebut, Taliban menyerang tentara Afghanistan sehingga menewaskan 20 tentara.
Tangkap pelaku
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo meminta kelompok Taliban dan pemerintah untuk bekerja sama menangkap dan mengadili siapa pun pelakunya. Dia juga meminta keduanya membawa para korban serangan untuk dirawat.
Juru Bicara Kementerian Pertahanan AS Letnan Kolonel Thomas Campbell mengatakan, sesuai dengan kesepakatan, militer AS akan menyerang Taliban jika Taliban menyerang pemerintah.
Direktur Program Kelompok Krisis Internasional Laurel Miller masih berharap perdamaian tetap berjalan meski prosesnya tidak akan mudah. (REUTERS/AFP)