Pawai Bendera Tentukan Kelanjutan Pemerintah Baru Israel
Baru berusia dua hari, pemerintahan baru Israel pimpinan Perdana Menteri Naftali Bennett mendapat ujian berat. Kemampuan mereka menangani pawai bendera di Jerusalem akan menentukan keberlanjutan pemerintah baru tersebut.
Oleh
Musthafa Abd. Rahman, dari Kairo, Mesir
·4 menit baca
KAIRO, KOMPAS — Masa depan pemerintah baru Israel pimpinan PM Naftali Bennett bak telur di ujung tanduk. Nasib pemerintah yang mendapat pengesahan Knesset (parlemen) pada Minggu malam lalu itu akan ditentukan oleh cara mereka menghadapi pawai bendera hari Selasa (15/6/2021) ini.
Pawai bendera yang akan digelar kaum ekstremis Yahudi itu menjadi batu ujian pertama keutuhan pemerintah PM Bennett.
Pemerintah PM Bennett yang berhasil mengakhiri hegemoni kekuasaan PM Netanyahu—terlama, yaitu 12 tahun— dinilai sangat rentan. Selain karena ”gado-gado”, gabungan dari kubu kanan, tengah, dan kiri, koalisi itu hanya mendapat dukungan sangat tipis di Knesset, yakni 60 berbanding 59.
Terkait pawai bendera, aparat keamanan Israel akhirnya memberi izin kepada kaum ekstremis Yahudi menggelar pawai yang kontroversial itu pada Selasa ini setelah dua kali tertunda. Pawai bendera adalah peringatan tahunan oleh kaum ekstremis Yahudi atas jatuhnya kota Jerusalem Timur ke tangan Israel pada perang Arab-Israel tahun 1967 atau penyatuan kota Jerusalem Barat dan Jerusalem Timur.
Pawai bendera tahun ini sesuai dengan kalender Ibrani (Hebrew) jatuh pada 10 Mei lalu. Namun, lantaran pecah Perang Gaza, pawai ditunda ke 10 Juni lalu, dan ditunda lagi ke hari Selasa ini.
Pawai bendera oleh media dan sejumlah pengamat Israel dianggap bagian dari manuver mantan PM Netanyahu untuk menumbangkan pemerintah baru Israel. Isu pawai bendera adalah isu paling panas di Israel pasca-Perang Gaza.
Situasi kota Jerusalem Timur kembali tegang menjelang digelarnya pawai bendera itu. Aparat keamanan Israel mengumumkan siaga di Jerusalem Timur untuk mencegah meletupnya bentrokan meluas antara kelompok ekstrem Yahudi dan warga Palestina.
Ketua partai Arab United List atau Ra’am, Mansour Abbas, seperti dikutip The Jerusalem Post, menegaskan, partai Ra’am bukan partai Zionis dan tidak akan ragu-ragu menyampaikan sikapnya terkait isu pawai bendera.
Partai Ra’am, yang memiliki empat kursi di Knesset, adalah salah satu dari delapan partai politik di Israel yang tergabung dalam koalisi pemerintah baru PM Bennett.
Sejauh ini, Mansour Abbas belum menegaskan secara terang-terangan sikapnya atas pawai itu. Abbas tampak masih menunggu perkembangan terbaru, apa yang terjadi pada hari Selasa ini untuk menyampaikan sikap politiknya.
Namun, jika Abbas memilih mundur dari koalisi pemerintah PM Bennett, pemerintah tersebut langsung ambruk. Adapun Hamas dan faksi-faksi Palestina lainnya menyerukan digelarnya hari kemarahan Palestina untuk menghadapi pawai bendera hari Selasa ini.
”Hari Selasa depan adalah hari mobilisasi untuk bergerak menuju Masjid Al Aqsa dan hari kemarahan untuk menentang penjajahan,” kata faksi Hamas dalam keterangan pers pada Minggu lalu.
Hamas dan faksi-faksi Palestina menyatakan siaga penuh untuk mengantisipasi kemungkinan meletus konflik baru dengan Israel pada saat digelar pawai bendera.
Potensi konflik
Bahkan, Hamas telah menyampaikan kepada pihak dinas intelijen Mesir bahwa pawai bendera membuka peluang meletusnya kembali konflik terbuka dengan Israel. Mesir adalah mediator gencatan senjata antara Israel dan Hamas dalam perang Gaza bulan Mei lalu.
Menteri Luar Negeri Palestina Riyadh al-Maliki, seperti dikutip kantor berita Turki, Anadolu, juga mengatakan, pawai bendera hari Selasa ini adalah uji coba pertama sikap politik pemerintah baru PM Bennett.
Menlu Al-Maliki menegaskan, sikap Palestina terhadap pemerintah baru Israel akan ditentukan sejauh mana sikap pemerintah baru Israel tersebut atas isu hak rakyat Palestina menentukan nasibnya sendiri, isu permukiman Yahudi, kota Jerusalem Timur, dan isu solusi dua negara.
Namun, Menlu Palestina itu menyatakan pesimistis melihat pemerintah baru Israel dan bahkan bisa lebih buruk dari pemerintahan Israel pada era Benjamin Netanyahu.
PM Palestina Mohammad Shtayyeh pada Senin kemarin menyatakan, pemerintah baru Israel tidak bisa disebut kurang buruk dari pemerintahan Netanyahu. Ia berjanji akan terus melawan upaya pemerintah baru Israel melanggar hak-hak rakyat Palestina, seperti perluasan pembangunan permukiman Yahudi.
Juru bicara Hamas, Fawzi Barhoum, menegaskan, terbentuknya pemerintah baru Israel tidak mengubah komitmen Hamas untuk terus berjuang melawan pendudukan Israel dan hak untuk terus melakukan beragam perlawanan, termasuk perlawanan bersenjata.
Negara-negara Arab sejauh ini belum memberi reaksi atas terbentuknya pemerintah baru Israel.
Dalam komposisi pemerintah baru Israel, terdapat tokoh-tokoh politik garis keras Israel, seperti PM Bennett dari partai kanan Yamina dan Menteri Keuangan Avigdor Lieberman dari partai kanan Yisrael Beiteinu.
Perbedaan pendapat Netanyahu dan Lieberman yang terjadi sejak tahun 2018 disebabkan protes Lieberman atas sikap Netanyahu yang dianggap terlalu lunak dalam menghadapi Hamas.
Adapun PM Bennett selama ini dikenal sebagai pendukung kuat gerakan pembangunan permukiman Yahudi di Tepi Barat, Jerusalem Timur, dan Dataran Tinggi Golan. PM Bennett pernah memimpin partai kanan ortodoks Jews Home pada tahun 2012 sebelum membentuk partai kanan Yamina pada 2019.