Dalam setahun terakhir, misalnya, sejumlah peristiwa besar melanda kawasan Timur Tengah dan semuanya tak lepas dari peran Mossad.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·4 menit baca
Sejumlah peristiwa besar di Timur Tengah akhir-akhir ini tak dapat dilepaskan dari peran besar operasi senyap dinas intelijen luar negeri Israel, Mossad. Kiprah dinas intelijen yang didirikan pada 13 Desember 1949 itu dalam lima tahun terakhir dikendalikan direkturnya, Yossi Cohen.
Mulai 1 Juni lalu, Cohen digantikan direktur Mossad yang baru, David Barnea. Selama di bawah Cohen, Mossad diakui mencatat pencapaian cemerlang bagi kepentingan Israel. Dalam setahun terakhir, misalnya, sejumlah peristiwa besar melanda kawasan Timur Tengah dan semuanya tak lepas dari peran Mossad.
Peristiwa-peristiwa besar itu antara lain Abraham Accord (pembukaan hubungan resmi Israel dengan sejumlah negara Arab, yakni Uni Emirat Arab/UEA, Bahrain, Sudan, dan Maroko), pertemuan rahasia Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) di kota Neom pada November 2020, dan tewasnya ilmuwan nuklir terkemuka Iran, Mohsen Fakhrizadeh, di dekat kota Teheran pada 27 Desember 2020.
Berkat perannya di balik peristiwa-peristiwa besar itu, nama Yossi Cohen kerap muncul di media-media besar di Timur Tengah dan internasional. Cohen dan Mossad pun menjelma bak bintang di mata publik Israel. Hal ini tak terlepas dari kepercayaan penuh yang diberikan Netanyahu kepada Cohen dalam berbagai operasi khusus. Bahkan disebut-sebut ada kedekatan pribadi antara Netanyahu dan Cohen.
Dengan kepercayaan penuh Netanyahu kepada Cohen, sering terjadi Mossad menggeser atau mengambil alih peran Kementerian Luar Negeri Israel dalam diplomasi. Cohen kerap mondar-mandir ke UEA dan Bahrain untuk mengegolkan kesepakatan normalisasi—dengan mediasi AS—antara dua negara Arab itu dan Israel. Ia juga diberitakan mendampingi Netanyahu dalam pertemuan dengan MBS.
Nama pria berusia 59 tahun itu juga dikaitkan dengan pembunuhan Fakhrizadeh sekalipun Israel tak mengeluarkan komentar terkait insiden tersebut.
Suksesi
Pada 31 Mei lalu, terjadi suksesi kekuasaan di tubuh Mossad. Jabatan direktur Mossad diserahkan dari Cohen kepada Barnea dengan disaksikan PM Netanyahu. Pergantian itu telah diumumkan sepekan sebelumnya.
Suksesi jabatan direktur di Mossad itu memunculkan pertanyaan publik dan pengamat di Israel, apakah Mossad di bawah Barnea masih bisa sehebat pada era Cohen?
Pertanyaan itu kian mengemuka setelah pada Rabu (2/6/2021) di Israel terbentuk koalisi baru delapan partai politik. Jika tidak ada aral melintang, Knesset (parlemen Israel) akan menggelar sidang pemungutan suara, Minggu lusa, untuk mengesahkan koalisi baru itu sebagai pemerintahan baru di Israel menggantikan pemerintahan Netanyahu yang sudah berkuasa sejak 2009.
Bila koalisi baru itu disetujui Knesset, Barnea sebagai direktur baru Mossad akan bekerja sama dengan PM Israel baru. Dalam tradisi atau sistem politik di Israel, direktur Mossad adalah kepanjangan tangan PM Israel. Jabatan PM dalam pemerintahan baru akan dijabat secara bergantian oleh ketua partai kanan Yamina, Naftali Bennett, dan ketua partai tengah Yesh Atid, Yair Lapid. Bennett disepakati mendapat giliran pertama menjabat PM.
Maka, Barnea akan bekerja di bawah kepemimpinan kandidat PM Bennett. Apakah duet Bennett-Barnea bisa mengulang duet maut Netanyahu-Cohen? Pertanyaan ini wajar muncul. Mossad, dengan kekuatan sekitar 7.000 pegawai—40 persen dari jumlah tersebut adalah perempuan—adalah tumpuan harapan publik dan Pemerintah Israel selama ini.
Hal itu tentu tantangan besar bagi Barnea. Apalagi Israel masih menganggap misi Abraham Accord belum selesai dan harus diperluas dengan membuka hubungan resmi dengan banyak negara Arab lain atau negara berpenduduk mayoritas Muslim, termasuk Indonesia. Selain itu, Israel kini sedang menghadapi perundingan nuklir Iran di Vienna dan kemungkinan dimulai lagi perundingan damai Palestina-Israel pasca-perang Gaza.
Mossad dengan segala capaiannya saat ini masih dinilai kecolongan. Mereka dianggap gagal mendapat informasi intelijen tentang kekuatan militer Hamas yang hakiki. Saat perang Gaza meletus, 10-20 Mei lalu, Hamas membuat kejutan karena ternyata masih memiliki ribuan stok roket dan mampu menghantam kota Tel Aviv.
Barnea (56) sebelumnya menjabat Deputi Direktur Mossad. Ia bergabung dengan Mossad tahun 1996 sebagai perwira bagian kasus. Sejak 2013 hingga 2019, saat ia dipercaya menjadi ”orang nomor dua” di Mossad, Barnea memimpin Divisi Tzomet. Divisi ini, menurut media Israel, bertugas merekrut dan mengelola para agen.
Koran Haaretz menyebut, sebagai Komandan Tzomet, Barnea bertugas mendaftar para operator untuk mengeksekusi target prioritas utama, seperti Iran dan Hezbollah. (AFP/REUTERS/SAM)