Jadi Buron karena Kabarkan Fakta, Wartawan Myanmar Cari Suaka di Spanyol
Akibat menjalankan tugasnya sebagai wartawan, Mratt Kyaw Thu (30) menjadi buron pemerintah junta militer. Demi keselamatan jiwa, ia terpaksa lari ke Thailand untuk mencari suaka ke Spanyol pada awal Juni.
Begitu duduk di dalam pesawat yang akan menerbangkannya dari Thailand ke Eropa, Mratt Kyaw Thu (30), baru bisa menarik napas lega serta merasa tenang dan betul-betul aman. Sejak kudeta militer pecah di Myanmar per 1 Februari, Thu hidup waswas dan tak merasa aman karena namanya masuk ke dalam daftar buron junta gara-gara memberitakan kekerasan aparat militer terhadap para pengunjuk rasa anti-kudeta.
”Saya baru merasa bisa hidup sedikit bebas ketika berada di pesawat dan melewati imigrasi di Thailand,” kata Thu saat tiba di Madrid, Spanyol, 1 Juni lalu. Sekarang, ia sedang proses mengajukan permohonan suaka.
Baca juga: Jalan Terjal Jurnalis
Selama empat bulan terakhir sejak pecah kudeta, kondisi di Myanmar semakin kacau. Hampir setiap hari ada saja unjuk rasa di sejumlah daerah. Aparat keamanan menanganinya dengan cara-cara yang brutal. Sampai hari ini, lebih dari 800 orang tewas akibat kekerasan aparat militer.
Sejak awal kudeta, wartawan telah gencar menyebarkan informasi situasi terkini Myanmar. Namun, arus informasi kemudian terhambat karena aparat keamanan menangkapi wartawan, serta menutup enam penerbitan media dan empat media digital.
Wartawan berkebangsaan Jepang, Yuki Kitazumi, digiring polisi ke kantor polisi di Sanchaung, Yangon, Myanmar, Jumat (26/05/2021). Banyak wartawan ditangkap, termasuk wartawan koresponden media asing yang kemudian dibebaskan. Namun, banyak pula wartawan yang ”tiarap” bersembunyi sambil tetap melaporkan informasi terkini melalui jalur-jalur bawah tanah.
Tak sedikit pula wartawan yang terpaksa melarikan diri keluar Myanmar, seperti Thu yang kerap menulis isu konflik etnis dan agama di Myanmar, salah satunya seputar kelompok etnis Rohingya. Atas dedikasinya, ia pernah meraih penghargaan Kate Webb kantor berita AFP pada 2017.
Baca juga: Wartawan Jepang Terancam Meringkuk 3 Tahun di Penjara Myanmar
Sebenarnya, sebelum kudeta militer, kebebasan pers di Myanmar juga tak sebebas negara lain yang demokratis. Tetap saja ada pembatasan. Namun, sejak kudeta, kerja wartawan semakin terkekang.
Thu menceritakan, pada pekan pertama pasca-kudeta, aparat militer menangkapi tokoh-tokoh wartawan dan aktivis. ”Mereka pikir dengan menangkapi tokoh wartawan dan aktivis, unjuk rasa akan berhenti. Mereka salah perhitungan,” kata Thu.
Mereka pikir dengan menangkapi tokoh wartawan dan aktivis, unjuk rasa akan berhenti. Mereka salah perhitungan.
Akibat takut diciduk aparat militer seperti teman-temannya, Thu memilih meninggalkan apartemennya pada 12 Februari. Ia lalu tinggal dengan teman-temannya dan tidak pernah kembali ke apartemennya. ”Banyak wartawan yang begitu juga,” ujarnya.
Selama krisis politik-keamanan di Myanmar, posisi wartawan sebenarnya serba salah. Di satu sisi, wartawan mendapat tekanan kuat dari junta militer. Di sisi lain, wartawan juga menjadi kurang dipercaya masyarakat kareana berkembangnya kecurigaan soal kabar bohong. Salah satu penyebabnya gara-gara ada penyuplai informasi pro-militer yang berpura-pura atau menyamar menjadi wartawan.
Wartawan juga harus sering berganti nomor telepon seluler hanya supaya tidak bisa dilacak oleh junta militer. Posisi serba salah dan di bawah ancaman kiri-kanan ini menyebabkan banyak wartawan akhirnya melarikan diri ke daerah-daerah perdesaan atau bahkan ke luar negeri.
Menurut kelompok pemantau, Reporting ASEAN, sampai 3 Juni, terdapat 87 wartawan yang ditahan. Sebanyak 51 orang di antaranya masih berada dalam tahanan, termasuk wartawan media Myanmar, Nathan Maung, dan wartawan asal Amerika Serikat, Danny Fenster, yang bekerja untuk Frontier Myanmar, media tempat Thu juga bekerja. Fenster ditangkap aparat militer pada 24 Mei lalu. Sampai sekarang tidak jelas nasib dan keberadaan mereka berdua.
Baca juga: Jurnalis Ditangkap, PBB Ingatkan Junta Militer Soal Kekerasan
Data Asosisasi Bantuan untuk Tahanan Politik Myanmar bahkan menunjukkan, masih ada setidaknya 90 wartawan yang ditahan dan 33 wartawan masih bersembunyi entah di mana. Media massa daring dan penyiaran independen, Suara Demokratik untuk Burma (DVB), menyebutkan, setidaknya dua wartawan DVB sudah dipidana penjara. DVB termasuk salah satu media online yang dihentikan dan dicabut izin operasionalnya, Maret lalu. Meski diberangus, DVB tetap beroperasi seperti biasa.
Sampai saat ini, tiga wartawan dikabarkan didakwa bersalah karena dianggap menyebarkan ketakutan dan kabar bohong. Ancaman hukumannya bisa sampai tiga tahun penjara.
Myanmar memang bukan tempat yang aman bagi wartawan. Ini bisa dilihat dalam Indeks Kebebasan Pers dari Reporters Without Borders tahun 2021. Di dalam indeks itu, Myanmar berada di peringkat ke-140 dari 180 negara.
Situasi tidak aman ini juga dirasakan warga Myanmar karena sewaktu-waktu aparat militer bisa datang ke rumah warga dan menciduk mereka saat itu juga. ”Rasanya tidak enak, deg-degan, dan cemas terus. Tidak bisa tenang. Setiap kali dengar ada langkah kaki di tangga, sudah takut kalau itu tentara yang datang. Bahkan, ketika hujan deras pun takut karena kadang-kadang suaranya seperti suara tembakan,” kata Thu.
Thu masih belum bisa melupakan kejadian saat ada aktivis dari partai Aung San Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi, yang dibunuh dengan cara kejam di dalam tahanan. ”Ia ditangkap dan dibunuh saat di dalam tahanan. Ia tewas setelah tenggorokannya dicekoki air panas lalu dimutilasi,” kata Thu.
Baca juga: Pascakudeta 1 Februari, Seperempat Juta Warga Myanmar Mengungsi
Sebelum kejadian itu, warga masih belum takut atau khawatir manakala aparat militer menangkap mereka. Namun, sejak kabar pembunuhan di dalam tahanan dengan cara sadis itu tersiar, warga betul-betul ketakutan.
Sejak itu pula Thu bertekad dan berusaha keras agar jangan sampai tertangkap. Ia semakin cemas ketika diberi tahu temannya bahwa ada tentara-tentara dari unit khusus yang dikenal brutal menangani warga Rohingya sedang mencari orang-orang tertentu di dekat apartemennya.
”Saya mendapat kiriman foto dari teman. Ia juga mengirim pesan meminta saya segera meninggalkan Yangon,” kata Thu.
Thu lalu bergegas berkemas. Meski aparat militer menjaga hampir semua pintu perbatasan, Thu berhasil lolos sampai di kawasan permukiman di dekat perbatasan dengan Thailand. Ia mendapat bantuan dari teman-teman, organisasi nonpemerintah, dan kelompok bersenjata etnis. Ia bahkan juga mendapatkan bantuan dari beberapa tentara Myanmar. ”Banyak orang membantu saya. Saya tidak akan berhasil tanpa bantuan mereka,” kata Thu.
Bahkan, setelah akhirnya berhasil menyeberangi perbatasan dan masuk ke wilayah Thailand, Thu masih belum benar-benar merasa aman karena khawatir Pemerintah Thailand akan mendeportasinya ke Myanmar.
Kekhawatiran ini beralasan karena ada tiga wartawan DVB dan dua aktivis Myanmar yang ditangkap 9 Mei lalu di Provinsi Chiang Mai di Thailand. Mereka dinyatakan bersalah karena masuk ke Thailand secara ilegal. Masing-masing kemudian dijatuhi hukuman denda 128 dollar AS dan tujuh bulan penjara per 28 Mei.
Semula mereka hendak dikembalikan ke Myanmar, tetapi kemudian batal karena kelompok-kelompok hak asasi manusia dan asosiasi wartawan mendesak otoritas Thailand agar tidak melakukannya. Sebab, jika mereka dikembalikan ke Myanmar, nyawa mereka terancam. Kelima orang itu kini telah dikirim ke negara ketiga yang lebih aman. Otoritas Thailand hanya menyebutkan, kali ini mereka mau membantu demi alasan kemanusiaan.
Dua pekan setelah meninggalkan Myanmar, Thu akhirnya mendapat visa untuk ke Eropa dan memesan tiket ke Madrid, Spanyol, berkat bantuan kantor berita Spanyol, EFE. Tidak mudah juga untuk mendapatkan visa itu. Ia harus menunggu hampir selama enam pekan di Frankfurt, Jerman. Kini, ia bisa hidup sedikit lebih tenang. Meski jauh terpisah dari kampung halamannya, Thu tetap akan berusaha menyebarkan informasi situasi Myanmar terkini.
Ia tetap percaya dan meyakini gerakan para pengunjuk rasa pro-demokrasi di Myanmar akan berhasil. Revolusi akan tetap berkobar dan berlanjut hingga 1-2 tahun mendatang. ”Teman-teman saya bersama dokter dan guru ikut menjadi tentara pertahanan rakyat untuk melawan militer. Sementara saya di sini. Saya merasa sedikit bersalah karena tak bisa ikut bergabung,” kata Thu.
Akan tetapi, ia mencoba menghibur dirinya sendiri. ”Kalau semua wartawan ikut menjadi tentara melawan militer, lalu siapa yang akan melaporkan dan menyiarkan informasinya,” ujarnya. (AFP/AP/LUK)