Jalan Terjal Jurnalis
Jurnalis, si pengirim pesan, sebagai bagian dari pilar sebuah negara yang demokratis, mendapat tekanan, tidak hanya fisik, tetapi juga psikis, melalui berbagai teror hingga ancaman kematian.
Setelah ditahan sejak 18 April, Yuki Kitazumi (45), jurnalis lepas asal Jepang yang tinggal di Myanmar, didakwa oleh junta militer Myanmar menyebar berita palsu. Kitazumi adalah jurnalis internasional pertama yang didakwa oleh junta yang mengudeta pemerintahan sipil Myanmar pada 1 Februari.
Ini bukan penangkapan pertama Kitazumi oleh aparat militer junta. Tidak lama setelah junta melakukan kudeta, dia pernah ditangkap dan dipukuli petugas keamanan saat meliput gerakan pembangkangan warga sipil (civil disobedient movement atau CDM). Sempat ditahan, dia dibebaskan tidak berapa lama kemudian.
Keluarnya dakwaan terhadap Kitazumi bertepatan dengan peringatan Hari Kebebasan Pers Dunia (World Press Freedom Day 2021). Upaya pemerintah Jepang, salah satu negara donor besar bagi Myanmar, tak menggoyahkan niat junta mendakwa Kitazumi.
Baca juga: Penahanan Wartawan Memperumit Hubungan Jepang-Myanmar
Selain Kitazumi, terdapat pula 50 jurnalis yang ditahan oleh junta karena dianggap ”menyebarkan berita palsu”. Berita-berita itu dianggap membuat perlawanan rakyat dan kelompok etnis terhadap junta militer yang dipimpin Jenderal Senior Min Aung Hlaing mengeras.
Tidak puas memenjarakan puluhan jurnalis, junta militer juga mengeluarkan banyak selebaran yang berisi foto dan daftar nama para jurnalis yang menjadi target. Junta juga mencabut izin operasi sejumlah media di negara itu yang memberitakan gerakan pembangkangan warga sipil dan situasi pascakudeta, perlawanan kelompok etnis terhadap junta, hingga perlakuan buruk aparat keamanan terhadap petugas medis yang tengah merawat warga sipil yang terluka atau bahkan tewas karena terjangan aparat.
Sebaliknya, junta membiarkan media-media ”yang sejalan” dengannya untuk tetap eksis, menyuarakan kebijakan-kebijakannya.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres menyatakan, peran media di tengah pandemi seperti sekarang ini dan juga di dalam krisis lain, termasuk krisis iklim, membantu mereka para pengambil kebijakan untuk menavigasi lanskap informasi yang berubah cepat dan tidak jarang berlebihan. Jurnalis dan kerja-kerja jurnalistiknya, dengan standar verifikasi dan etik yang ketat, membantu mereka mengatasi ketidakakuratan dan disinformasi.
Guterrres mengatakan, informasi yang akurat dan terverifikasi adalah barang publik yang akan membantu terciptanya pemerintahan yang bersih dan masyarakat yang tangguh, khususnya di masa pandemi ini. Informasi dan berita yang benar, berdasar sumber yang bisa dipercaya, menurut Guterres, bisa menyelamatkan nyawa dan hidup manusia.
Baca juga: Peran Media sebagai Pengawas Semakin Penting di Masa Pandemi
Guterres mengakui, risiko bekerja sebagai jurnalis dan pekerja media sangat besar. Tidak hanya soal kekerasan fisik yang mengancam, tetapi juga berbagai macam pembatasan, penyensoran, pelecehan, dan bahkan kematian karena melakukan kerja jurnalistiknya sangat besar. Dan, situasi terus memburuk.
Tokoh pergerakan sipil di Afrika Selatan yang akhirnya menjadi presiden, Nelson Mandela, mengatakan, pers yang kritis, independen, dan investigatif adalah tulang punggung masyarakat yang demokratis. Sementara Hannah Arendt, ilmuwan politik Amerika Serikat kelahiran Jerman, berpendapat, apabila masyarakat atau bangsa tak lagi memiliki pers yang bebas, sesuatu yang buruk bisa terjadi terhadap masyarakat.
Federasi Jurnalis Internasional (IFJ), dalam laporannya yang terbit pada Maret 2021, mencatat, sebanyak 65 jurnalis terbunuh sepanjang satu tahun terakhir. Mereka tewas karena pemberitaan atau karya jurnalistik yang mereka buat. Menurut penelusuran IFJ, para jurnalis ini tewas karena memang menjadi target pembunuhan, baik menggunakan senjata api maupun bom. Meksiko, Afghanistan, Somalia, India, dan Filipina adalah beberapa negara yang memiliki situasi kerja buruk bagi para jurnalis.
Baca juga: Afghanistan, Wilayah Berbahaya bagi Jurnalis
Ancaman bukan hanya soal pembunuhan atau kekerasan fisik. Tekanan yang berasal dari berbagai pihak, baik pemerintah, kelompok kriminal, maupun masyarakat, banyak terjadi pada jurnalis. Di tengah pandemi Covid-19, menurut Sekretaris Jenderal Reporters Without Borders (RSF) Christophe Deloire, proses pembuatan berita, mulai dari pengumpulan fakta di lapangan hingga proses verifikasi, sering kali dihadang oleh tantangan politik, ekonomi, teknologi, atau bahkan budaya.
Tekanan tidak hanya dirasakan oleh jurnalis yang berasal dari negara-negara dunia ketiga, tapi juga dirasakan oleh jurnalis yang tinggal di negara maju. Amerika Serikat, misalnya. Saat dipimpin Donald Trump, serangan terhadap jurnalis meningkat, terutama ketika gerakan Black Lives Matter menggelora setelah terbunuhnya George Floyd, warga kulit hitam, oleh seorang polisi di Minnesotta, Derek Chauvin. Tidak hanya berhadapan dengan para pendukung Trump, jurnalis juga berhadapan dengan polisi yang sering kali dengan sengaja menghalangi mereka saat menjalankan kerja jurnalistiknya.
Di Indonesia sendiri banyak kasus kekerasan yang menimpa para jurnalis. Saat meliput UU Cipta Kerja tahun lalu, di beberapa kota para jurnalis mendapat perlakuan kasar dari aparat keamanan. Tidak hanya itu, sejumlah jurnalis juga mendapatkan teror dan intimidasi, tidak hanya dari aparat keamanan, tetapi juga dari warga, mulai dari mendapat kiriman kotoran binatang di tempat tinggal, perusakan kendaraan, hingga ancaman pembunuhan.
Baca juga: Terima Suap Puluhan Miliar Rupiah, Eks Pejabat Pajak Ditahan KPK
Kasus terakhir adalah kasus kekerasan yang menimpa Nurhadi, jurnalis Tempo, yang hendak meminta konfirmasi mengenai kasus dugaan suap petinggi Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan RI. Nurhadi disekap oleh polisi dan mendapatkan ancaman. Belakangan, individu yang hendak dimintai konfirmasi ditetapkan sebagai tersangka kasus pajak oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kekerasan digital terhadap jurnalis juga makin marak sepanjang setahun terakhir. Di Indonesia, meski kerja jurnalistik dilindungi Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, tetap saja ancaman pasal defamasi dan ujaran kebencian dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menjadi landasan untuk memerkarakan karya jurnalistik.
Joseph Stiglitz, analis kebijakan publik sekaligus penerima penghargaan Nobel Memorial Prize dalam bidang ekonomi, dikutip dari akun RSF, menyebut, jurnalis saat ini seperti bekerja dalam rimba belantara. Meski ada aturan hukum yang melindungi, hukum rimba menjadi acuan banyak pihak dan dipilih untuk digunakan.
Sementara Gun Gun Herianto, dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta, dikutip dari opininya di harian Kompas, 19 Februari 2021, menyebut kondisi ini sebagai retrogresi demokrasi. Maksudnya adalah kemunduran kualitas demokrasi yang diakibatkan oleh hilangnya kepekaan dan komitmen untuk menghormati hukum dan keadaban. Di Indonesia terdapat paradoks kebebasan. Di satu sisi, pemerintah ingin mendapat kawalan dari masyarakat sipil. Sementara di sisi lain, pemerintah, dalam hal ini polisi, mengganjar para pengkritik dengan hukuman bui (Kompas, 19 Februari 2021).
Baca juga : Jurnalisme Berkualitas, ”Oksigen” Demokrasi
”Bukan sebuah demokrasi namanya jika mereka memenjarakan para pembawa pesan,” kata Sekjen IFJ Anthony Bellanger, mengacu pada sebutan lain jurnalis.
Contoh paling nyata soal ini adalah Hong Kong. Saat berada di bawah kekuasaan Inggris, jurnalis dan media memiliki kebebasan yang besar untuk memberitakan sesuatu, termasuk mengkritik Pemerintah Hong Kong dan bahkan China. Namun, seusai penyerahan kembali wilayah ini kepada Partai Komunis China dan penerapan UU Keamanan Nasional sejak 2020, secara bertahap ruang kebebasan menjadi tertutup. Para pemilik media, jurnalis dan aktivis prodemokrasi yang menentang penerapan UU Keamanan Nasional satu per satu diseret ke dalam bui.
Michelle Bachelet, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, mengatakan, pers yang bebas, tanpa sensor, dan independen adalah instrumen penting landasan masyarakat demokratis. Pers yang bebas bisa menyampaikan informasi yang menyelamatkan jiwa, meningkatkan partisipasi publik, dan memperkuat akuntabilitas dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. (Reuters)