Penahanan Wartawan Memperumit Hubungan Jepang-Myanmar
Penahanan wartawan Jepang, Yuki Kitazumi, oleh junta militer Myanmar menambah rumit hubungan kedua negara itu setelah Tokyo beberapa waktu lalu mengecam kudeta dan rentetan pembunuhan warga sipil di Myanmar.
Oleh
Pascal S Bin Saju
·4 menit baca
TOKYO, SENIN — Pemerintah Jepang, Senin (19/4/2021) di Tokyo, mendesak rezim junta militer Myanmar untuk membebaskan Yuki Kitazumi (45), wartawan Jepang, dari tahanan junta. Penahanan Kitazumi menambah rumit hubungan kedua negara itu setelah Tokyo beberapa waktu lalu mengecam kudeta dan rentetan pembunuhan warga sipil prodemokrasi Myanmar oleh aparat junta.
Kitazumi dijemput aparat junta, Minggu (18/4/2021) malam, dari rumahnya di Yangon, dan dijebloskan ke penjara Insein, Yangon, yang dikhususkan untuk para tahanan politik. ”Dia diminta mengangkat dua tangannya, lalu dibawa pergi dengan mobil,” kata seorang saksi mata, seperti diberitakan BBC.
Menurut AFP, Kitazumi termasuk salah satu dari 65 wartawan yang ditangkap sejak junta militer mulai menekan kekebasan pers, beberapa hari setelah kudeta militer pada 1 Februari lalu. Namun, hingga sejauh ini tersisa 34 jurnalis dan fotografer yang masih meringkuk dalam tahanan junta seperti dilaporkan kelompok independen, Reporting ASEAN.
Aparat junta militer meningkatkan tindakan kerasnya untuk memberangus perbedaan pendapat menyusul aksi demonstrasi menentang perampasan kepemimpinan sipil Aung San Suu Kyi.
Selain membunuh sedikitnya 737 warga sipil, rezim junta juga memberangus kebebasan pers dengan memperketat kontrol atas arus informasi, membatasi akses internet, dan mencabut izin terbit lima harian lokal yang mendukung perjuangan prodemokrasi.
”Kami meminta Myanmar membebaskan orang itu (Kitazumi) lebih awal,” kata juru bicara Kedutaan Besar Jepang di Myanmar, Katsunobu Kato, dalam konferensi pers.
Belum dikabulkan
Kato menyebutkan, setelah ditangkap pada Minggu malam, Kitazumi dipindahkan dari pos jaga polisi ke penjara Insein. Diplomat Jepang telah meminta izin untuk mengunjungi Kitazumi di penjara tetapi permintaan itu belum dikabulkan.
”Kami diberi tahu oleh polisi bahwa dia (Kitazumi) ditangkap karena diduga merilis berita palsu,” kata Kato.
Menurut Kato, Kitazumi belum dituntut secara hukum dan para diplomat Jepang di Myanmar telah meminta izin untuk mengunjunginya di penjara. Sementara itu, sedang dihimpun keterangan terinci mengenai alasan utama aparat junta menangkap mantan wartawan Nikkei yang berbasis di Tokyo itu.
Pihak berwenang Myanmar mengatakan kepada kedutaan bahwa Kitazumi tidak terluka selama penangkapan dan dalam keadaan sehat di tahanan. ”Kami akan melakukan yang terbaik untuk melindungi warga negara Jepang itu,” kata Kato.
Kitazumi meninggalkan Nikkei pada pada 2012 setelah bekerja sebagai reporter sejak 2001. Selepas itu ia menjadi wartawan lepas yang secara rutin mengirim berita bagi salah satu media utama Jepang.
Kini dia bekerja di sebuah perusahaan produksi media, Yangon Media Professionals. Perusahaan ini memproduksi konten video, dari berita hingga film trailer, dan pelatihan terhadap para jurnalis dengan penekanan pada kebebasan berbicara.
Sahabat karib Kitazumi, Linn Nyan Htun, seorang warga Myanmar, beberapa waktu lalu mengatakan kepada Reuters bahwa rekannya itu menulis berita politik dan bisnis untuk sebuah media besar di Jepang. Dia salah satu wartawan yang memperjuangkan nilai-nilai demokrasi dan aktif di media sosial.
Penangkapan Kitazumi kali ini merupakan yang kedua kalinya setelah akhir Februari lalu. Saat itu ia menjadi wartawan asing pertama dan orang asing kedua yang ditangkap sejak kudeta, tetapi kemudian dilepas.
Orang asing pertama yang ditahan ialah akademisi Australia, Sean Turnell, penasihat ekonomu Suu Kyi, yang ditangkap pada 6 Februari atau lima hari setelah kudeta militer.
Pada tahun 2007, jurnalis Jepang lainnya yang meliput aksi protes massal di Myanmar, Kenji Nagai, ditembak mati dari jarak dekat. Saat itu aparat junta Myanmar sedang menembak para pengunjuk rasa dalam aksi protes Revolusi Saffron yang dipimpin para biksu Buddha.
Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) menyebutkan, selain Kitazumi, aparat junta juga telah menahan tiga wartawan media lokal di Negara Bagian Kachin. Mereka ditahan disebuah pusat interogasi di Myitkyina.
”Di pusat interogasi ini, para tahanan dipaksa menandatangani dan mengaku di bawah tekanan atau mengalami penyiksaan yang kejam,” kata AAPP, Senin.
Donor utama
Jepang adalah salah satu negara donor utama bagi Myanmar dan sempat menjatuhkan sanksi kepada rezim junta dan sejumlah petinggi junta. Namun, The Japan Times belum lama ini menyebutkan, Tokyo telah menghentikan pengiriman bantuan baru ke Myanmar sebagai respons terhadap kudeta militer di sana, kata Menteri Luar Negeri Toshimitsu Motegi.
Tokyo sempat kurang mendukung sanksi yang dijatuhkan oleh beberapa negara kepada komandan militer dan polisi Myanmar.
Motegi mengatakan, Jepang sebagai negara donor utama untuk Myanmar, ingin menekankan bahwa penangguhan bantuan itu sebagai pesan yang ”jelas” bagi rezim junta militer karena tindakan keras terhadap aksi para pengunjuk rasa damai.
”Untuk Myanmar, Jepang adalah penyedia bantuan ekonomi terbesar,” katanya pekan lalu.
Menurut Motegi, menahan bantuan resmi Jepang (official development assistance/ODA) akan lebih menekan rezim junta militer daripada dengan sanksi. Dia mengatakan, ”Jika Anda mempertimbangkan mana yang lebih efektif, saya pikir itu cukup jelas.”
Jepang diketahui telah memberikan ODA dengan nilai total mencapai 1,8 miliar dollar AS pada 2019. Pada tahun 2020, Jepang mengucurkan sekitar 2,7 miliar dollar AS lagi untuk mendanai dua proyek besar di Myanmar sebagaimana dilaporkan oleh situs internal Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA).
Menurut Kementerian Luar Negeri Jepang, bantuan ini yang terbesar di antara 30 negara anggota Komite Bantuan Pembangunan Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan. Pada tahun ini, bantuan baru ODA ditangguhkan akibat kudeta militer. (AFP/AP/Reuters)