Wartawan Jepang Terancam Meringkuk 3 Tahun di Penjara Myanmar
Yuki Kitazumi (45) terancam meringkuk di penjara di Myanmar selama 3 tahun atas dakwaan menyebarkan kebohongan. Wartawan asal Jepang itu ditangkap junta militer karena meliput unjuk rasa warga yang menentang junta.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
YANGON, SELASA — Junta militer Myanmar menjatuhkan dakwaan penyebaran kebohongan terhadap wartawan berkebangsaan Jepang, Yuki Kitazumi (45), Selasa (4/5/2021). Ancaman hukumannya bisa sampai 3 tahun penjara.
Dakwaan itu didasarkan atas Hukum Pidana Myanmar Pasal 505A. Menurut Asosiasi Wartawan Jepang dan media arus utama independen Myanmar, pasal itu baru ditambahkan oleh junta semenjak mereka melakukan kudeta per 1 Februari 2021 guna membunuh kebebasan berbicara, baik di kalangan media maupun rakyat.
Kitazumi termasuk 50 wartawan lokal dan internasional yang ditahan oleh junta militer negara karena meliput unjuk rasa masyarakat sipil menolak pemerintahan otoriter yang mengudeta pemimpin terpilih, Aung San Suu Kyi. Gelombang unjuk rasa berlangsung sejak Februari 2021.
Portal berita Myanmar, Mizzima, menyebutkan, vonis atas penyebaran kebohongan atau hoaks ini memiliki ancaman hukuman penjara selama 3 tahun. Kitazumi ditahan di Penjara Insein di kota Yangon, tempat para tahanan politik dipenjara. Proses sidang terkait dakwaan ini belum berjalan.
Kitazumi sebelumnya bekerja di perusahaan media Jepang, Nikkei. Ia kemudian pindah ke Myanmar pada 2014 untuk bekerja sebagai wartawan lepas. Ia juga memiliki usaha penyuntingan konten media. Ketika kudeta terjadi 1 Februari 2021, wartawan asing dilarang memasuki Myanmar. Keberadaan Kitazumi menjadi jendela bagi media Jepang karena ia bertindak sebagai koresponden untuk berbagai media arus utama di Jepang. Selain itu, ia juga rutin mengunggah peristiwa yang terjadi di Myanmar pada laman media sosialnya.
Pada 18 April, Kitazumi ditangkap aparat penegak hukum yang bekerja di bawah junta militer. Ia dibawa dari rumahnya di Yangon langsung ke Penjara Insein. Tuduhan yang diberikan kepadanya adalah menyebar kebohongan dan menghasut publik.
Ini adalah penangkapan kedua Kitazumi. Sebelumnya, 26 Februari, ia juga ditahan aparat ketika tengah meliput aksi unjuk rasa warga. Penangkapan itu hanya berlangsung beberapa jam. Kitazumi dibebaskan pada hari yang sama.
”Mereka menginterogasi saya selama 8 jam dan memeriksa semua dokumen. Petugas bilang tidak menemukan apa pun yang mengindikasikan saya sebagai wartawan sehingga saya dibebaskan. Namun, kartu memori kamera saya disita,” kata Kitazumi ketika diwawancara oleh The Diplomat, portal berita yang berbasis di Washington, Amerika Serikat, pascapenangkapan per 26 Februari.
Duta Besar Jepang untuk Myanmar Ichiro Maruyama sempat berbicara melalui telepon dengan Kitazumi pada 23 April atau sepekan setelah ditangkap. Dalam keterangan pers kepada media Jepang, Mainichi, Maruyama mengungkapkan bahwa Kitazumi mengaku diperlakukan dengan baik di Penjara Insein.
Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga telah meminta Pemerintah Myanmar segera membebaskan Kitazumi. Asosiasi Wartawan Jepang yang Meliputi Daerah di Daerah Berbahaya juga turut mengeluarkan pernyataan agar tidak ada persekusi terhadap awak media yang tengah menjalankan tugas sesuai kode etik jurnalistik.
”Penangkapan Kitazumi adalah bukti pemberangusan media oleh junta. Hendaknya Kitazumi dan wartawan serta juru foto lain yang saat ini ditahan oleh junta segera dibebaskan,” kata asosiasi itu dalam sebuah pernyataannya.
Jepang merupakan salah satu negara donor terbesar di Myanmar dalam berbagai program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Asosiasi Wartawan Jepang mencatat, sepanjang 2011 hingga 2020, Jepang telah menggelontorkan dana sebesar 140 miliar yen atau sekitar Rp 18,48 triliun yang antara lain dipakai untuk membeli perlengkapan serta kendaraan kepolisian Myanmar. Terdapat 400 perusahaan Jepang yang berbisnis di Myanmar.
Junta militer telah memberedel sejumlah media arus utama di Myanmar. Pekan lalu, mereka menutup Mytkina Journal di Negara Bagian Kachin. Aparat juga menyuruh warga memutus sambungan televisi kabel dan parabola agar mereka tidak bisa menonton berita mengenai Myanmar, terutama dari media arus utama luar negeri.
Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) melaporkan, 766 warga sipil kehilangan nyawa di tangan aparat sampai dengan awal Mei 2021. Ini mencakup orang dewasa hingga anak-anak.
Kudeta terjadi karena junta menolak menerima hasil pemilu November 2020 yang menyatakan Aung San Suu Kyi menang secara mutlak. Mereka menuduh ada kecurangan dalam pemilu dan memasukkan Suu Kyi ke tahanan rumah serta merebut kekuasaan.
Hingga saat ini, Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang dipimpin oleh Brunei Darussalam belum memilih utusan khusus yang akan dikirim menjadi penengah dalam dialog damai antara junta dan rakyat. Padahal, utusan khusus dan dialog adalah kesepakatan yang dicapai dalam konsensus Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN pada 24 April 2021. (AFP)