Lahirnya Kultur Politik Baru di Israel
Wajah politik di Israel mulai berubah. Kini parlemen Israel yang dikenal dengan Knesset dikuasai koalisi ”gado-gado” yang didominasi oleh politisi muda. Meskipun diragukan, mereka mampu menahan laju Benjamin Netanyahu.
Berita besar dan mengejutkan datang dari Israel pada Rabu (2/6/2021) malam lalu. Pada Rabu malam itu, Ketua Partai Yesh Atid, Yair Lapid, menelepon Presiden Israel Reuven Rivlin, menyampaikan tentang keberhasilannya membentuk koalisi baru.
Koalisi baru tersebut, yang terdiri dari delapan partai, mengontrol 62 kursi Knesset (parlemen), yakni telah memenuhi syarat minimal 61 kursi untuk membentuk pemerintahan baru di Israel. Kini koalisi baru itu menunggu sidang Knesset untuk mendapat pengesahan sebagai pemerintah baru di Israel.
Delapan partai yang tergabung dalam koalisi baru itu adalah partai tengah Yesh Atid 17 kursi, partai kanan Yisrael Beiteinu 7 kursi, partai kanan New Hope 6 kursi, partai kanan Yamina 7 kursi, partai tengah Kahol Lavan (Biru-Putih) 8 kursi, partai kiri Buruh 7 kursi, partai kiri Meretz 6 kursi, dan partai Arab United List (Ra’am) 4 kursi.
Dari komposisi delapan partai itu, secara ideologi sudah jelas merupakan koalisi gado-gado, yakni gabungan dari ideologi kanan, tengah, kiri dan bahkan partai Arab Israel yang di media Israel terkenal dengan sebutan ultrakiri atau anti-Zionis.
Sorotan utama atas koalisi baru itu adalah bergabungnya secara resmi partai Arab United List atau Ra’am (4 kursi di Knesset) pimpinan Mansour Abbas ke dalam koalisi tersebut.
Inilah yang disebut oleh banyak media Israel sebagai tsunami politik yang baru lahir sejak berdirinya negara Israel pada 14 Mei 1948. Sebagian media Israel menyebut, ini kultur politik baru di Israel yang mengubur ketabuan politik selama 73 tahun, yakni sejak berdirinya negara Israel pada 14 Mei 1948.
Tradisi atau kultur politik di Israel selama 73 tahun terakhir ini, selalu melihat dengan sebelah mata partai-partai Arab di Israel yang bahkan dianggap mengancam keamanan nasional negara Israel, karena berpijak pada ideologi anti-Zionis. Maka, partai-partai politik di Israel selalu menghindar berkoalisi dengan partai-partai Arab Israel, karena hal itu merupakan tabu politik dan bisa menodai citra partai-partai politik di Israel itu.
Namun, terbentuknya koalisi baru yang di dalamnya terdapat partai Arab United List atau Ra’am mengubur kultur lama dan sekaligus lahir kultur baru dalam politik Israel. Kultur politik baru atau tsunami politik di Israel tersebut adalah koalisi partai-partai politik Zionis dan partai anti-Zionis untuk upaya membentuk pemerintahan baru di negara itu.
Partai-partai politik Zionis adalah partai-partai politik di Israel, baik aliran kanan, tengah, maupun kiri, yang lahir dari kandungan gerakan Zionis yang melahirkan negara Israel. Adapun partai anti-Zionis adalah partai Arab United List atau Ra’am yang didirikan pada tahun 1996. Partai Ra’am adalah gerakan islamis yang anti-Zionis dan mendukung solusi dua negara Israel dan Palestina.
Bahkan Ra’am secara ideologi lebih dekat ke ideologi Ikhwanul Muslimin (IM) di dunia Arab. Situs televisi Alarabiya yang berbasis di Dubai dan harian Asharq Al Awsat menyebut, IM di ambang pintu ikut berkuasa di Israel.
Ini juga bisa disebut tsunami politik karena IM di banyak negara Arab ditetapkan sebagai organisasi teroris, tetapi di Israel justru akan ikut berkuasa.
Ketua partai kanan Yamina, Naftali Bennett, kepada stasiun televisi Israel channel 12 Kamis malam lalu menyebut, ketua partai Ra’am, Mansour Abbas, sebagai pemimpin yang berani. Bennett lalu meminta maaf kepada Mansour Abbas karena pernah menyebutnya sebagai pendukung teroris. Ia juga mengatakan, koalisi baru merupakan peluang besar membuka lembaran baru hubungan antara warga Yahudi dan warga Arab di Israel.
Generasi baru
Lahirnya kultur politik baru di Israel bisa jadi tidak terlepas dari lahirnya generasi baru elite politik di negara itu rata-rata usia 40-50 tahun yang lebih berwawasan futuristik dan lebih bebas dari belenggu sejarah masa lalu.
Usia ketua-ketua partai yang tergabung dalam koalisi baru itu adalah ketua partai Yesh Atid, Yair Lapid, berusia 57 tahun, kelahiran 5 November 1963 di Tel Aviv. Ketua partai kanan Yamina, Naftali Bennett, berusia 49 tahun, kelahiran 25 Maret 1972 di kota Haifa. Ketua partai Arab United List atau Ra’am, Mansour Abbas, berusia 47 tahun, kelahiran 22 April 1974 di Maghar-Israel. Ketua partai kanan New Hope, Gideon Sa’ar, berusia 54 tahun, kelahiran 9 Desember 1966 di Tel Aviv. Ketua partai Buruh, Merav Michaeli, berusia 54 tahun, kelahiran 24 November 1966 di Petah Tikva-Israel. Ketua partai Biru-Putih, Benny Gantz, berusia 61 tahun, kelahiran 9 Juni 1959 di Kfar Ahim-Israel.
Bandingkan dengan Benjamin Netanyahu yang sudah berusia 71 tahun. Para ketua partai yang tergabung dalam koalisi baru itu, dalam karier politik bisa disebut yuniornya PM Benjamin Netanyahu.
Elite politik baru yang berusia 40-50 tahun itu bersikeras ingin ada perubahan di Israel, khususnya regenerasi kepemimpinan di negara itu. Bagi mereka, tidak ada pilihan lain, kecuali mengakhiri kepemimpinan Benjamin Netanyahu di Israel.
Elite politik generasi baru di Israel memandang masa kepemimpinan Benjamin Netanyahu sudah cukup. Selain mendapat stigma terlibat korupsi dan sejak lama diduga menyalahgunakan kekuasaan, Netanyahu juga dianggap terlalu lama berada di puncak kekuasaan.
Baca juga: Masa Depan Negara Israel
Baca juga: Safari Diplomasi Modal Israel Tingkatkan Ketegangan
Baca juga: Calon Pengganti Netanyahu Mulai Dapat Pelayanan Setara Perdana Menteri
Baca juga: Oposisi Raih Posisi Kuat Lengserkan Netanyahu dari Kepemimpinan Israel
Netanyahu mengukir sejarah sebagai PM Israel yang terlama menduduki jabatannya, sejak Israel berdiri sebagai negara pada 1948. Netanyahu mengalahkan pendiri dan deklarator negara Israel, David Ben Gurion, dalam hal masa jabatan di puncak kekuasaan.
Ben Gurion menjabat selama 13 tahun sebagai perdana menteri (PM) Israel dalam dua masa jabatan, yaitu 1948-1953 dan 1955-1963. Adapun Netanyahu menjabat sebagai PM Israel selama 15 tahun dalam dua masa jabatan, yaitu 1996-1999 dan 2009-2021.
Motif ingin ada perubahan di Israel itulah yang menyatukan barisan elite politik generasi baru yang datang dari berbagai latar belakang ideologi, bahkan datang dari ideologi anti-Zionis. Mereka disatukan dengan semangat asal bukan Netanyahu.
Para elite politik generasi baru tersebut melupakan semua perbedaan latar belakang ideologi demi mencapai tujuan politik utama mereka, yakni menumbangkan rezim Netanyahu untuk terwujudnya perubahan di Israel.
Diragukan
Memang banyak pengamat Israel skeptis tentang kemampuan mereka bertahan dalam koalisi baru itu, lantaran perbedaan latar belakang ideologi yang sangat tajam. Bahkan tidak sedikit dari pengamat Israel yang meramalkan, jika koalisi baru itu berhasil mendapat pengesahan Knesset dan mereka membentuk pemerintahan, pemerintahan baru itu akan seumur jagung.
Apalagi, setelah ”tumbang”, Netanyahu pun kini mulai melakukan berbagai manuver untuk menggagalkan upaya koalisi baru mendapat pengesahan Knesset. Netanyahu juga membangun opini bahwa koalisi baru adalah koalisi kiri yang membahayakan keamanan nasional negara Israel.
Netanyahu dan loyalisnya mulai melobi anggota Knesset dari partai kanan Yamina dan New Hope agar membatalkan dukungannya atas koalisi baru dan memberi suara menolak koalisi baru dalam sidang Knesset nanti.
Namun, terlepas ramalan dari para pengamat Israel dan manuver Netanyahu tersebut, para elite generasi baru itu tampaknya ingin memberi dua pesan politik. Pertama, mereka mampu membangun koalisi untuk menumbangkan PM Netanyahu yang selama ini dikenal sebagai politikus licin yang selalu berhasil menggagalkan berbagai upaya menumbangkan kekuasaannya.
Kedua, membangun kultur politik baru yang mengawinkan kekuatan politik Zionis dan anti-Zionis demi kepentingan nasional negara Israel.
Adapun tantangan khusus bagi partai Arab Ra’am yang tergabung dalam koalisi itu adalah mampu memperbaiki nasib warga Arab di Israel yang berjumlah sekitar 20 persen atau hampir 2 juta jiwa dari keseluruhan penduduk Israel yang sekitar 9 juta jiwa.
Tentu, dalam konteks Israel-Palestina, hadirnya koalisi baru ini juga bisa berandil atas terwujudnya solusi dua negara. Keberadaan dua negara Israel dan Palestina itu sesuai dengan ideologi yang tertulis dalam piagam partai Ra’am. Jika Partai Ra’am gagal mewujudkan itu semua, akan sia-sia pula kehadirannya dalam pemerintahan baru Israel.