Safari Diplomasi Modal Israel Tingkatkan Ketegangan
Eskalasi ketegangan antara Israel dan Palestina ini menjadi yang terburuk selama setengah dekade terakhir. Dukungan AS terhadap Israel menjadi faktor yang turut memengaruhi dinamika hubungan Palestina-Israel.
Di pengujung Ramadhan, konflik Israel-Palestina justru memanas. Ketegangan yang berawal dari gesekan di Masjid Al Aqhsa, Jerusalem timur, berubah menjadi baku tembak roket antara pasukan Hamas dan Israel.
Hingga tulisan ini dibuat, Rabu (19/5/2021), serangan udara yang dilancarkan Israel telah menewaskan setidaknya 217 jiwa warga Palestina, termasuk di antaranya 63 anak-anak, dan 1500 korban luka. Sementara itu, konflik polisi Israel dan warga Palestina di kawasan Tepi Barat telah menewaskan sedikitnya 13 warga Palestina.
Eskalasi ketegangan antara Israel dan Palestina ini menjadi yang terburuk selama setengah dekade terakhir. Sebelumnya, hubungan keduanya sempat memanas pada akhir tahun 2018.
Saling serang antara Hamas dan militer Israel menewaskan puluhan warga sipil dari kedua wilayah. Eskalasi yang berakhir dengan genjatan senjata ini bahkan mengguncang politik domestik Israel yang berujung pada pengunduran diri Menteri Pertahanan Avigdor Lieberman.
Baca juga : Solidaritas Warga Dunia untuk Rakyat Palestina
Lantas, mengapa tiba-tiba eskalasi dengan sangat cepat bisa kembali terjadi di Jalur Gaza? Selain karena insiden pemantik di kawasan Masjid Al Aqsha dan Sheikh Jarrah di Jerusalem timur, peningkatan ketegangan bisa terjadi karena di sisi lain Israel telah menyiapkan arsenal diplomasinya sejak setahun ke belakang.
Selama tahun 2020, Israel melakukan rangkaian safari diplomasi untuk meningkatkan kekuatan politik luar negerinya. Hantaman krisis kesehatan akibat pandemi Covid-19 tak menyurutkan upaya Israel untuk meningkatkan posisi politiknya di kancah global.
Hasilnya, Israel berhasil menormalisasi hubungan dengan beberapa negara di wilayah Timur Tengah yang otomatis meningkatkan posisi tawarnya di kancah global.
Salah satu negara Arab yang berhasil dinormalisasi oleh Israel adalah Uni Emirat Arab (UEA). Negara di pinggir Teluk Persia ini turut menandatangani perjanjian bertajuk Abraham Accords pada September 2020.
Perjanjian yang diperantarai oleh Jared Kushner, menantu mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, ini menjadi landasan hubungan diplomatik formal UEA dan Israel. Dengan menempatkan diplomatnya di Tel Aviv pada Maret tahun ini, secara resmi UEA pun mengakui Israel sebagai negara yang berdaulat.
Selain UEA, Bahrain juga menjadi pihak yang bersedia untuk menormalisasi hubungan dengan Tel Aviv. Selaras dengan Dubai, Bahrain juga menandatangani Abraham Accords pada September 2020 dan segera membuka hubungan diplomatik formal dengan Israel. Hampir bersamaan dengan UEA, Bahrain menunjuk Khaled Yousif al-Jalahama sebagai duta besarnya untuk Israel bulan Maret lalu.
Eskalasi ketegangan antara Israel dan Palestina ini menjadi yang terburuk selama setengah dekade terakhir
Tak lama berselang, Israel juga berhasil duduk bersama dengan pemerintahan transisional Sudan. Pada kesempatan tersebut, kedua pemerintahan bersepakat untuk melakukan normalisasi hubungan.
Meski kedua negara belum membentuk hubungan diplomatik secara formal, perjanjian pada Oktober silam tersebut menjadikan Sudan menjadi salah satu pemerintahan yang memberikan pengakuan kedaulatan terhadap Israel.
Lompatan sejarah
Secara geopolitik, normalisasi ini merupakan lompatan penting sejarah dalam hal konflik Israel-Palestina. Pertama, UEA menjadi negara pertama di kawasan timur tengah yang mengakui kedaulatan Israel semenjak lebih dari dua dekade terakhir.
Sebelumnya, hanya Turki pada 1949, Mesir pada 1979, dan Jordania pada 1994 yang mengakui negara Israel. Meski pengaruhnya tak sebesar Dubai, pengakuan kedaulatan dari Bahrain sebagai salah satu anggota Liga Arab juga dapat dilihat sebagai kemenangan diplomatik yang signifikan bagi Israel.
Kedua, UEA memiliki kekuatan cukup besar di Timur Tengah dan Afrika Utara. Dengan produk domestik bruto (PDB) sebesar 421 miliar dollar AS, UEA menjadi negara terkaya ketiga di kawasan tersebut setelah Arab Saudi dan Iran.
Tak hanya itu, postur ekonomi negara ini bisa dibilang lebih baik dibandingkan dengan Arab Saudi karena berhasil mendiversifikasi sumber ekonominya sehingga 71 persen pendapatan negaranya tak lagi bersumber dari industri minyak.
Sementara Arab Saudi masih menggantungkan sekitar 40 persen pendapatan negaranya dari industri minyak sehingga lebih rentan mengalami tekanan di tengah fluktuasi harga minyak selama dua dekade terakhir.
Secara militer, UEA pun menjadi salah satu yang terkuat di kawasannya. Berdasarkan laporan Global Fire Power, kekuatan militer negara ini menduduki posisi ke-39 se-dunia dan ke-7 di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara.
Tak hanya itu, perjanjian Abraham Accords juga hampir dapat dipastikan memberikan jatah lebih bagi UEA untuk mengimpor persenjataan dari AS dalam waktu dekat.
Dukungan AS
Safari diplomasi Israel di pengujung pemerintahan Trump kian menunjukkan seberapa dalam cengkeraman AS dalam memengaruhi geopolitik di Timur Tengah.
Di satu sisi, tiap perjanjian yang dibuat dengan campur tangan AS selalu memberikan sebuah negara keuntungan yang menggiurkan, mulai dari akses ke persenjataan hingga perjanjian ekonomi. Di sisi lain, perjanjian-perjanjian tersebut pun akan memborgol para pimpinan negara yang menyetujuinya untuk tunduk pada kepentingan AS.
Tak ayal, eskalasi ketegangan yang terjadi antara Israel dan Palestina pun tak dapat dilepaskan dari konteks hubungan AS dengan negara-negara timur tengah. Hal ini karena AS merupakan pendukung terbesar Israel dalam aspek politik internasional ataupun ekonomi. Bahkan, AS rajin menyumbang sekitar 4 miliar dollar ke Israel tiap tahunnya.
Segala bentuk sokongan ekonomi ini pun membantu Israel untuk tumbuh menjadi kaya hingga memiliki pendapatan terbesar ke empat di kawasannya dengan PDB sebesar 394 miliar dollar AS pada 2019.
Dukungan AS kepada Israel pun tampak jelas dalam soal politik. Selain membantu Tel Aviv untuk melobi sejumlah negara di dunia untuk memberikan pengakuan kedaulatan, AS juga selalu menjadi pembela setia Israel di meja Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB).
Salah satu contohnya ialah penggunaan hak veto AS di sidang DK PBB pada Juni 2018 yang membahas penggunaan kekerasan berlebihan di perbatasan Israel-Palestina yang menewaskan lebih dari 120 warga Palestina. Resolusi DK PBB yang mengecam tindakan Israel ini diveto oleh AS sehingga dewan tersebut gagal mengeluarkan keputusan apa pun.
Artinya, hampir mustahil untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina selama AS masih memberi dukungan kepada Israel. Apalagi, apabila penyelesaian konflik ditempuh melalui mekanisme atau kerangka kerja yang dimiliki oleh organisasi internasional.
Jangankan PBB, di mana jelas-jelas AS memiliki kekuatan dengan hak vetonya, Liga Arab pun tak akan mampu berbuat banyak dengan enam negara anggotanya yang telah ”dibeli” oleh AS.
Maka, jangan heran apabila tekanan global terhadap Israel dalam kasus eskalasi konflik yang terjadi akan berakhir melemah. Bagaimanapun juga, negara-negara di dunia akan ”berhitung” sejauh mana mereka akan mengorbankan kepentingannya dengan AS untuk mengambil sikap tegas terhadap Israel.
Sampai AS berhenti melindungi Israel di ketiaknya, Israel ”hanya” akan mendapat kecaman yang sayangnya selama ini selalu berakhir sebagai retorika semata. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Benang Kusut Konflik Israel Vs Palestina