Ketat di Luar, Longgar di Dalam: Berkaca dari Lonjakan Kasus Covid-19 Taiwan dan Singapura
Kelengahan menjadi salah satu pintu masuk penularan virus penyebab Covid-19. Kewaspadaan dan disiplin pada protokol kesehatan tetap menjadi kunci untuk menahan munculnya penularan baru.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Taiwan dan Singapura selama pandemi Covid-19 berlangsung selalu digadang-gadang menjadi dua negara dengan penanganan terbaik di dunia. Akan tetapi, selama dua pekan ini masyarakat global dikejutkan terjadinya lonjakan kasus lokal di Singapura dan Taiwan sehingga pemerintah setempat memutuskan melakukan karantina wilayah. Setelah ditelusuri, kecolongan itu ternyata berasal dari minimnya pembatasan pada skala lokal.
Pada tahun 2020 ketika seluruh dunia berjibaku melawan Covid-19, Taiwan berhasil menjalani 253 hari tanpa kasus penularan domestik. Mereka hanya memiliki kasus impor yang berasal dari orang-orang yang baru tiba dari luar negeri, itu pun dalam jumlah belasan.
Pada Kamis (20/5/2021), Pusat Pengendalian Wabah Taiwan (Central Epidemic Command Center/CECC) melaporkan jumlah kasus keseluruhan sejak tahun 2020 adalah 2.825 kasus. Akan tetapi, sebanyak 1.512 kasus merupakan penularan lokal yang terjadi sejak 15 Mei 2021. Artinya, dua pertiga kasus terjadi hanya dalam sepekan. Dunia pun bertanya-tanya mengapa negara yang selama ini tampak mumpuni mengendalikan pandemi dengan melakukan pengetesan, pelacakan kontak, dan isolasi mandiri bisa kecolongan.
”Pengetesan berkurang jauh dibandingkan dengan tahun 2020. Sekarang, hanya pasien yang akan dirawat inap yang diberi tes PCR (reaksi berantai polimerase). Pasien rawat jalan tidak dites. Akibatnya, ada fenomena gunung es terhadap orang tanpa gejala,” kata Huang Limin, Kepala Kedokteran Anak Rumah Sakit Universitas Nasional Taiwan, ketika diwawancara oleh surat kabar China Times.
Huang menjelaskan, Pemerintah Taiwan terlalu fokus melakukan pembatasan pada penerbangan internasional, terutama dari China dan India. Mereka lupa bahwa virus tidak mengenal batasan geografis dan galur-galur baru dari India, Afrika Selatan, Inggris, dan Brasil belum tentu datang langsung dari negara-negara itu.
Di dalam negeri, kegiatan masyarakat berlangsung seperti biasa. Kumpul-kumpul untuk kegiatan sosial, acara keagamaan, sampai makan-makan bersama diizinkan. Ada semacam keterlenaan bahwa Taiwan berhasil melalui pandemi Covid-19 dari galur asli Wuhan, tetapi tidak mempersiapkan diri menghadapi varian baru yang lebih agresif penularannya.
Salah satu kluster yang dianggap sebagai biang kerok lonjakan kasus di Taiwan adalah kluster Novotel di Bandara Taoyuan. Hotel ini menjadikan salah satu menaranya sebagai tempat karantina bagi para pilot maupun awak kapal yang baru datang dari luar negeri. Harian Taipei Times mengungkapkan, ternyata ada satu menara lain yang tetap difungsikan sebagai hotel reguler. Bahkan, di menara ini dilakukan promosi untuk menarik wisatawan domestik menginap di sana.
Ketika sejumlah pilot dan awak pesawat China Airlines tiba di Taoyuan pertengahan April dan wajib menjalani karantina, pihak hotel menempatkan mereka di menara reguler, bukan menara isolasi. Akhirnya pada 20 April terungkap dua kasus positif Covid-19 dan per 7 Mei bertambah menjadi 29 kasus. Hotel ini didenda 1,27 juta dollar Taiwan atau lebih kurang Rp 635 juta oleh pemerintah.
Sistem karantina untuk para pilot China Airlines pun dikritik keras oleh masyarakat. Pemerintah Taiwan menetapkan setiap orang yang baru pulang dari luar negeri wajib menjalani 14 hari karantina di hotel yang telah ditentukan. Maskapai China Airlines termasuk perusahaan penerbangan yang bertambah sibuk selama pandemi karena mereka mengubah pengangkutan penumpang menjadi pengangkutan kargo.
Direktur Eksekutif Pusat Perdagangan Asia (Asian Trade Centre) Deborah Elms ketika menjadi narasumber pada diskusi daring oleh ISEAS Yusof Ishak Institute di Singapura menerangkan, ekspor semikonduktor dan barang-barang elektronik Taiwan meningkat 10,1 persen selama pandemi. Pengiriman ke luar negeri dilakukan oleh maskapai China Airlines.
”Sibuknya maskapai membuat mereka memendekkan masa karantina dari 14 hari menjadi tujuh hari, kemudian lima hari, dan terakhir ini hanya tiga hari,” ujarnya.
Kantor berita Central News Agency menulis, para pilot ini sesungguhnya orang-orang tanpa gejala yang belum melewati masa inkubasi. Karena telah diizinkan keluar dari karantina, mereka menjalani kehidupan sosial seperti biasa dan menularkan Covid-19 ke keluarga dan orang sekitar.
Singapura juga mengalami kecolongan walaupun telah melakukan pembatasan penerbangan internasional. Surat kabar The Strait Times bulan April menerbitkan artikel yang mengungkapkan Bandara Changi masih ramai. Pendatang dari luar negeri memang berkurang drastis, tetapi bandara yang terkenal paling kosmopolitan sedunia itu disesaki warga lokal yang sibuk berbelanja dan makan-makan.
Dalam wawancara dengan BBC, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Nasional Singapura Teo Yik Ying mengungkapkan kluster Bandara Changi menjadi sumber penularan terbesar. Apalagi, masuknya varian B1617 dari India mengakibatkan penularan lebih cepat dan menjangkiti anak-anak. Terbukti dari adanya 18 penularan yang terjadi di sejumlah sekolah.
”Ini pelajaran bagi kita semua agar tidak lengah. Kita berhasil mengatasi galur lama, tetapi ada galur baru yang mengancam. Semestinya risiko ini juga menjadi pertimbangan bagi semua negara yang hendak melakukan pelonggaran protokol kesehatan,” ucapnya. (AFP/REUTERS)