Serangan udara militer Israel menyebabkan banyak warga sipil tewas, termasuk anak-anak. Jika serangan tak segera dihentikan, anak-anak tak hanya akan tewas tetapi juga akan mengalami trauma berkepanjangan.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Sudah dua hari, Suzy Ishkontana (7), tak mau makan, minum, apalagi bicara. Sejak diselamatkan dari bawah reruntuhan rumahnya di Jalur Gaza, Suzy masih terlihat shock. Bagaimana tidak. Rumah keluarga Suzy hancur lebur setelah dihantam rudal dari serangan udara militer Israel yang konon menyasar terowongan jaringan kelompok Hamas, Minggu lalu. Akibatnya, seluruh anggota keluarga Ishkontana terjebak di bawah reruntuhan.
Ayah Suzy, Riad Ishkontana (42), terjebak di bawah reruntuhan selama lima jam dan tidak bisa bergerak karena badannya terimpit beton. Ia tak bisa menggapai istri dan kelima anaknya yang berjarak tak jauh darinya tetapi tak terlihat. Ia hanya bisa mendengar suara mereka. "Saya dengar suara dua anak saya diantara puing-puing. Mereka panggil-panggil saya terus. Tetapi lama-lama suaranya melemah dan saya sadar mereka sudah tidak ada," ujarnya.
Kepastian kabar keluarganya itu baru didapat Riad setelah ia di rumah sakit. Hanya Suzy, satu-satunya anggota keluarganya yang selamat. Istri dan dua anak perempuan serta dua anak laki-lakinya tewas. Suzy terjebak di bawah reruntuhan rumahnya selama tujuh jam. Meski luka-luka di badannya relatif ringan, Suzy mengalami shock berat dan trauma. "Rumah sakit belum bisa memberi bantuan psikologis karena masih terjadi serangan. Suzy sangat depresi," kata dokter anak, Zuhair Al-Jaro.
Suzy baru mau makan sedikit, Selasa (18/5/2021), setelah diperbolehkan jalan-jalan sebentar keluar rumah sakit dan bertemu saudara-saudara sepupunya. Saat Riad berbicara dengan kantor berita AP, Suzy duduk terdiam di sebelahnya dan tidak mau melihat siapa-siapa. Sebelum serangan itu, Riad menceritakan Suzy anak yang ceria, pandai, dan suka mengeksplorasi banyak hal di internet. Namun, itu semua berubah setelah dia berjam-jam terjebak di bawah reruntuhan serta melihat ibu dan saudara-saudaranya tewas.
Dalam konflik atau peperangan dimana pun di dunia ini, anak-anak selalu menjadi korban yang paling parah terdampak. Apalagi anak-anak di Jalur Gaza yang mengalami trauma berkepanjangan. Ini sudah keempat kalinya dalam kurun 12 tahun, yakni tahun 2009, 2012, dan 2014, Israel dan kelompok Hamas terlibat konflik bersenjata.
Dalam setiap konflik, Israel selalu menyerang lewat udara membombardir pemukiman padat di Jalur Gaza. Sejak konflik Hamas-Israel terjadi pada 10 Mei lalu tercatat sedikitnya 63 anak-anak tewas dari total 217 warga Palestina yang tewas. Di sisi Israel, ada 12 orang yang tewas akibat roket Hamas, salah satunya anak berusia lima tahun.
Cegah korban sipil
Militer Israel beberapa kali berjanji akan berusaha semaksimal mungkin mencegah jatuhnya korban dari warga sipil. Sebelum melancarkan serangan, Israel mengaku sudah mengeluarkan peringatan agar warga bisa meninggalkan bangunan yang hendak diserang. Namun, keluarga Suzy tidak menerima peringatan apapun.
Militer Israel menyerang ratusan titik di Gaza, bahkan ke daerah pemukiman padat penduduk. Sementara Hamas menyerang wilayah Israel dengan ratusan roket tetapi mayoritas berhasil dicegat Iron Dome, sistem pertahanan anti-rudal Israel. Militer Israel mengklaim serangan pada Minggu pagi itu hanya menyasar jaringan terowongan Hamas yang diduga berada di bawah Gaza City. Pesawat tempur Israel menghajar Jalan al-Wahda, salah satu daerah komersial paling ramai di kota itu.
Akibat serangan udara Israel itu, tiga bangunan ambruk dan sedikitnya 42 orang tewas, termasuk 10 anak-anak dan 16 perempuan. Juru bicara militer Israel, Jonathan Conricus, menjelaskan serangan yang menyebabkan jatuhnya korban sipil itu "abnormal". Serangan udara Israel menyebabkan terowongan dan rumah-rumah di sekitarnya ambruk hingga banyak warga sipil yang tewas. "Sasaran kami terowongan itu, bukan rumah warga. Kami sedang mengkaji apa yang terjadi agar tak terulang kembali," ujarnya.
Conricus menyatakan, lain kali pihaknya akan mencoba menyerang terowongan yang ada di bawah jalanan saja dan bukan yang ada di bawah rumah-rumah warga.
Dewan Pengungsi Norwegia menyebutkan, dari semua anak yang tewas dalam serangan Israel, 11 anak diantaranya sedang menjalani program pendampingan psikososial untuk membantu anak menghadapi trauma. Di antara 11 anak itu ada Dana (8), kakak Suzy. "Ini sudah keempat kalinya anak-anak harus mengalami trauma akibat pengeboman di sekitar rumah mereka," kata Manager Lapangan Dewan Pengungsi Norwegia, Hozayfa Yazji.
Para orangtua di Gaza selama ini berusaha membantu anak-anaknya yang trauma. Jika ada bom atau roket yang terlihat di langit, para orangtua biasanya menenangkan anaknya dengan mengatakan itu hanya kembang api. Gejolak kekerasan ini, kata Yazji, jelas memengaruhi psikologis anak-anak. "Jika perang ini terus berlanjut, anak-anak butuh lebih banyak bantuan," ujarnya.
Dewan Pengungsi Norwegia membantu 75.000 anak di 118 sekolah di Gaza dengan Program Belajar Lebih Baik. Program itu melatih para guru untuk bisa membantu anak-anak yang trauma dengan membuat kegiatan yang menyenangkan sebagai pelepas stress. Para guru juga mengunjungi anak-anak yang membutuhkan bantuan di rumah. "Hentikan perang ini secepatnya. Tolong hentikan semuanya. Demi keselamatan anak-anak dan keluarganya," kata Sekretaris Jenderal Dewan Pengungsi Norwegia, Jan Egeland. (AP)