Kompak Meredam Suara Palestina
Akun dan unggahan media sosial mendukung Palestina dihapus. Sebaliknya, akun dan unggahan mendukung Israel tersebar. Termasuk video dari mantan mata-mata Israel, Mosab Hassan Yousef.
Dunia akan lebih sedikit tahu tentang apa yang terjadi di Gaza setelah kejadian ini. Demikian pernyataan Associated Press, media yang berpusat di New York, setelah Gedung Al Jala di Gaza yang menjadi kantor AP bersama sejumlah pihak lain dibom Israel pada 15 Mei 2021.
Sampai 18 Mei 2021, Israel belum kunjung menunjukkan bukti bahwa Gedung Al Jala dimanfaatkan Hamas. Selain AP dan Al Jazeera, Israel juga menghancurkan kantor 21 media di Gaza selama serbuan beberapa hari terakhir.
Sementara serangan Israel pada Rabu (18/5/2021) pagi menewaskan antara lain Yusef Abu Hussein, seperti dilaporkan laman middleeasteye.net. Laman ini, berikut akun Twitternya, sempat tidak bisa diakses, tetapi telah kembali normal. Hussein, reporter Palestinian Radio, menjadi salah satu dari empat warga Palestina yang tewas oleh serangan Israel atas sebuah rumah di kawasan Gaza pada Rabu.
Baca juga Desakan Gencatan Senjata Palestina-Israel Meningkat
Hussein dan banyak jurnalis lain hadir di berbagai penjuru Palestina, termasuk Gaza, karena informasi seputar Palestina selalu menarik perhatian. Pada awal pekan kedua Mei 2021, warganet Indonesia disibukkan antara lain oleh peredaran video Mosab Hassan Yousef.
Ada pula warganet Indonesia yang mengaku mendadak menjadi pengikut akun-akun media sosial pemerintah Israel tanpa pernah menekan tombol mengikuti. Sebaliknya, sejumlah pihak di Palestina memprotes karena akun media sosial mereka mendadak dihapus atau tidak bisa diakses seperti dialami Mariam Barghouti.
Penggalan video Mosab, mantan mata-mata Israel yang disusupkan ke Hamas, beredar di tengah gempuran Israel ke Gaza pada awal Mei 2021. Mosab merupakan anak Hassan Yousef, salah satu pendiri Hamas. Hassan ditangkap Israel antara lain atas informasi Mosab, yang belakangan lari ke Amerika Serikat.
Di AS, Mosab antara lain membuat video yang direkam UN Watch soal kehidupan pemimpin Palestina. UN Watch rutin mengkritik Perserikatan Bangsa-bangsa yang dinilai selalu membuat keputusan yang merugikan Israel. Video yang sudah lama direkam itu kembali beredar di Indonesia melalui sejumlah pelantar media sosial, termasuk Facebook yang memiliki Instagram dan Whatsapp.
Di Facebook ada Dewan Pengawas yang dibentuk untuk menentukan unggahan mengandung materi yang melanggar atau tidak. Anggota dewan itu antara lain Emi Palmor yang menghabiskan 24 tahun sebagai PNS di Israel. Sebagai pejabat Israel, Palmor antara lain pernah menangani pencitraan Israel di media sosial.
Di masa tugas Palmor sejak pertengahan 2020, Facebook dan anak usahanya berkali-kali menghapus tagar dan unggahan terkait protes Palestina. Hal itu menjadi pemicu protes oleh 7amleh, Access Now, dan sejumlah lembaga pemantau kebebasan berpendapat.
Baca juga Hipokrisi AS, Cerita yang Diputar Ulang oleh Biden dalam Konflik Palestina-Israel
7amleh menerima 200 pengaduan atas penghapusan akun dan unggahan terkait penggusuran terhadap warga Palestina di Sheikh Jarrah pada April-Mei 2021. Penghapusan terjadi di Twitter, Instagram, dan Facebook. Para pengelola media sosial itu berkilah, ada kesalahan teknis di tengah pembaruan sistem.
Jurnalis Palestina, Khind Khoudary, termasuk salah satu yang mengalami penghapusan unggahan terkait Sheikh Jarrah. Bahkan, ia kesulitan mengakses media sosial selama beberapa waktu meski tidak ada masalah dengan jaringan internet.
Sementara akun twitter Barghouti mendadak ditangguhkan setelah opininya soal praktik Apartheid Israel ditayangkan Al Jazeera dan Washington Post pada 9 Mei dan 11 Mei 2021. Belakangan, setelah kritik dari banyak pihak, akunnya dipulihkan.
Pada kasus Khoudary dan Barghouti, perusahaan media sosial mengajukan ada alasan teknis. 7amleh dan berbagai pihak menuntut penjelasan lebih lanjut. Sebab, penghapusan itu sudah terjadi berkali-kali. “Jangan sampai ada diskriminasi dan ketidakadilan,” kata Marwa Fatafta dari Access Now.
Penghapusan Di AS
Bukan hanya di Palestina, pemberangusan juga terjadi di Amerika Serikat. Pusat Kajian Diaspora dan Etnis Muslim dan Arab (AMED) pada San Francisco State University tidak bisa menyelenggarakan diskusi virtual pada September 2020 dan April 2021. Sebab, ruang diskusi virtual dihapus oleh Zoom, Facebook, dan Youtube.
Zoom beralasan, AMED mengundang Leila Khaled yang terafiliasi dengan partai komunis Palestina, PFLP. Menurut hukum AS dan sejumlah negara, PFLP adalah kelompok teroris.
Baca juga Perang Udara yang Menguras Biaya
Kehadiran Khaled, salah satu perempuan yang lama dianggap sebagai lambang perlawanan terhadap pendudukan Israel, dianggap bentuk dukungan pada terorisme. Tidak hanya menghapus ruang diskusi virtual untuk AMED, Zoom juga mengancam menghapus akun SFSU jika kembali menyelenggarakan kegiatan sejenis.
Ancaman Zoom mengingatkan pada pernyataan mantan guru besar Columbia University Edward Said pada 1984. Kala itu, Edward menyebut bahwa orang Palestina tidak boleh menyampaikan narasi sendiri.
Penelitian dosen kajian Timur Tengah di Arizona University, Maha Nassar, pada 2020 memperkuat pernyataan Said. Dari 2.490 opini soal Palestina di The New York Times pada 1970-2020, hanya 46 opini yang ditulis orang Palestina. Sementara dari 3.249 opini tentang Palestina di Washington Post, hanya 32 opini yang ditulis orang Palestina.
Nassar juga menemukan, The New York Times hanya 4 kali menerbitkan artikel Said soal Palestina. Koran itu hanya sekali memuat artikel Said yang mengkritisi Perjanjian Oslo. Said konsisten, seperti dituangkan dalam artikel di media berbagai negara, menilai perjanjian itu tidak akan mewujudkan negara Palestina.
Baca juga China Desak AS Lebih Adil Soal Palestina
Penanda tangan perjanjian dari sisi Israel, Yitzhak Rabin, secara terbuka menyatakan kepada parlemen Israel bahwa Palestina tidak akan pernah menjadi negara dengan wilayah sebelum perang 1967.
Rabin memastikan Israel akan tetap menguasai seluruh Jerusalem dan wilayah Tepi Barat yang diduduki sejak perang 1967. Sikap yang bertentangan dengan kesepakatan internasional bahwa Jerusalem harus dibagi dan negara Palestina-Israel berdiri berdampingan sesuai perbatasan sebelum 1967. (AP/REUTERS)