Gejolak kekerasan di Myanmar membangkitkan perlawanan kelompok-kelompok etnis, seperti Kachin dan Karen. Jika tak segera ada solusi atas krisis ini, Myanmar akan terjerumus dalam perang saudara.
Oleh
LUKI AULIA
·4 menit baca
NAYPYIDAW, SELASA — Kekhawatiran akan meluasnya gejolak kekerasan di Myanmar hingga memicu kembali konflik-konflik lama kini terbukti. Setelah kudeta militer Myanmar, konflik-konflik antara militer dan kelompok etnis di sejumlah daerah kembali memanas. Bahkan, kali ini, kelompok perlawanan etnis di Myanmar, Tentara Kemerdekaan Kachin, mengklaim menembak jatuh helikopter milik militer Myanmar di sebuah desa dekat kota Moemauk, Provinsi Kachin.
”Militer melancarkan serangan udara di daerah itu dengan pesawat jet dan helikopter sejak pukul delapan atau sembilan pagi. Jadi, kami serang balik mereka,” kata juru bicara Tentara Kemerdekaan Kachin, Naw Bu, Senin (3/5/2021).
Namun, Naw Bu tidak menyebutkan senjata apa yang digunakan untuk menembak helikopter itu. Portal berita MizzimaDaily dan Kachinwaves membenarkan klaim kelompok perlawanan itu dengan memuat foto helikopter yang jatuh. Militer spesifik menyerang kelompok perlawanan di daerah itu setelah kelompok perlawanan Kachin merebut markas militer yang berada di kaki Gunung Alaw Bum, 25 Maret lalu.
”Kabar baik! Doa kami akhirnya terjawab. Helikopter teroris (militer) berhasil ditembak jatuh,” kata Hkanhpa Sadan yang menangani urusan luar negeri Tentara Kemerdekaan Kachin, yang berafiliasi pada Organisasi Nasional Kachin itu.
Kantor berita Reuters, yang melaporkan berita tersebut, menyatakan tidak bisa memverifikasi laporan itu secara independen. Juru bicara militer Myanmar tidak menjawab panggilan telepon untuk mengonfirmasi klaim Tentara Kemerdekaan Kachin.
Kelompok etnis Kachin hanya satu dari beberapa kelompok etnis minoritas di Myanmar yang ikut dalam gerakan protes menentang kudeta militer, 1 Februari lalu. Unjuk rasa antikudeta militer itu memicu kebangkitan kelompok-kelompok etnis yang selama puluhan tahun ini melawan pemerintah untuk memperjuangkan otonomi yang lebih luas.
Selain menyerang kelompok perlawanan etnis Kachin, militer juga menggempur kelompok etnis Karen. Akibat konflik di Negara Bagian Kachin dan Karen, sedikitnya 45.000 orang terpaksa mengungsi.
Gejolak kekerasan di Myanmar tak kunjung mereda. Bahkan, setelah pertemuan KTT ASEAN pun, situasinya tetap sama. Padahal, sudah ada konsensus agar militer menahan diri dan menghentikan kekerasan. Kelompok advokasi Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) menyebutkan, sampai sejauh ini sudah 766 warga sipil yang tewas di tangan militer sejak kudeta.
Situasi keamanan di Myanmar juga kian tidak aman. Dilaporkan ada seorang kepala kantor pemerintahan Distrik Tharketa, Yangon, tewas ditusuk di kantornya. Selain itu, ada juga ledakan bom dari kiriman parsel di wilayah Bago Barat hingga menewaskan lima orang. Peristiwa ledakan-ledakan bom seperti ini juga kerap terjadi di kawasan permukiman warga dan terkadang kantor pemerintah atau militer.
Ledakan bom parsel di Bago Barat itu menewaskan seorang anggota parlemen regional dari Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi. Selain itu, tiga polisi yang ikut bergabung dalam gerakan pembangkangan sipil juga menjadi korban.
Junta militer Myanmar mengatakan, mereka terpaksa mengambil alih kekuasaan pemerintah karena keluhan mereka akan adanya kecurangan dalam pemilu, November lalu, tidak digubris oleh komisi pemilu. Dalam pemilu tersebut, NLD menang telak.
Perang saudara
Di tempat terpisah, Duta Besar China untuk PBB Zhang Jun juga menyatakan kekhawatiran bahwa situasi di Myanmar akan memburuk dan berujung pada perang saudara. Untuk mencegah itu, ia mendesak agar ada upaya diplomatik yang lebih kuat.
Namun, upaya diplomatik itu harus dilakukan dengan hati-hati agar situasi tak malah jadi memburuk. Zhang menganggap Myanmar sebagai tetangga yang baik dan menegaskan bahwa China tetap mendukung upaya diplomatik ASEAN. ”Tetapi, kami tetap tidak mendukung sanksi bagi Myanmar,” ujarnya.
Dewan Keamanan PBB mendukung konsensus ASEAN yang mendorong penghentian gejolak kekerasan dan memulai upaya dialog sebagai langkah awal penyelesaian krisis Myanmar. DK PBB juga meminta semua tahanan politik Myanmar segera dibebaskan, termasuk Aung San Suu Kyi.
”Mestinya kita bantu mencari solusi politik melalui dialog antarpartai politik sesuai kerangka hukum dan konstitusi. Lagi pula, isu utamanya ada pada perbedaan soal pemilu. Itu kenapa China pilih cara dialog, bukan sanksi,” kata Zhang.
Jika tak ada solusi diplomatik dalam waktu dekat, Zhang khawatir krisis Myanmar akan berujung pada bencana kemanusiaan yang akan bisa memengaruhi negara-negara lain di kawasan. (REUTERS/AFP/AP)