Ledakan bom menewaskan lebih dari 20 orang dan ratusan lain terluka di kota Pul-e-Alam, Provinsi Logar, memperkuat tanda tanya masa depan Afghanistan setelah militer asing hengkang. Masa depan Afghanistan dipertanyakan.
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
Matahari baru saja tenggelam di ufuk barat ketika sebuah truk, Jumat (30/4/2021), memasuki halaman rumah mantan Ketua Parlemen Provinsi Longar Abdul Wali Wakil di kota Pul-e-Alam. Rumah itu kini disulap menjadi penginapan, rumah singgah, yang terbuka bagi siapa pun. Penghuni wisma, terdiri dari calon mahasiswa, mahasiswa, dan anggota milisi pro-pemerintah yang tengah menunggu penugasan kembali, baru kelar berbuka puasa. Bulan Ramadhan, bulan suci bagi umat Islam, baru saja melewati hari ke-16.
Sejumlah penghuni yang melihat kedatangan truk tersebut sempat mendekati kendaraan itu dan bertanya kepada pengemudi asal-usul truk. Hasibullah Stanikzai, Ketua Parlemen Logar Hasibullah Stanikzai, dikutip dari laman TOLonews, mengatakan, sopir truk mengaku membawa bantuan untuk warga sekitar yang membutuhkan.
Tidak ada yang curiga dan memeriksa isi truk. Sekitar pukul 19.06 waktu setempat, truk meledak. Beberapa kantor berita menuliskan, setidaknya 27 orang tewas dan ratusan orang terluka. Ledakan merusak sebuah rumah sakit, melukai beberapa dokter jaga, dan berdampak pada layanan kedaruratan rumah sakit tidak maksimal. Korban yang masih hidup dan terluka dirujuk ke Kabul, sekitar 70 kilometer utara lokasi kejadian.
Presiden Afghanistan Ashraf Ghani menuding kelompok Taliban berada di balik kejadian tersebut. Namun, sejauh ini Taliban belum mengeluarkan pernyataan dan berjanji untuk menyelidikinya.
Kekerasan meningkat
Ledakan bom mobil ini bertepatan dengan dimulainya penarikan mundur pasukan Amerika Serikat dan koalisi dari Afghanistan. Masih tersisa 2500-an anggota militer AS di Afghanistan bersama 7.000-an anggota pasukan koalisi dan ribuan kontraktor. Presiden AS Joe Biden menargetkan 11 September 2021 akan menjadi hari terakhir keberadaan pasukan AS dan koalisi di Afghanistan.
Penarikan pasukan AS adalah bagian dari isi nota kesepahaman damai antara AS dan Taliban yang ditandatangani di Doha, Qatar, akhir Februari 2020. Selain soal pasukan, yang diharapkan banyak pihak adalah perdamaian yang berkelanjutan di negara itu.
Namun, yang terjadi sebaliknya. Kekerasan terus meningkat. Korban tidak hanya dari kalangan militer, tetapi juga warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak.
Data Misi Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Afghanistan (UNAMA), yang diluncurkan dalam laporan kuartal pertama Perlindungan Warga Sipil Afghanistan Dalam Konflik Bersenjata 2021, memperlihatkan, jumlah korban warga sipil pada kuartal pertama 2021 sebanyak 1.783 jiwa, terdiri dari 573 orang tewas dan 1.210 orang terluka. Angka ini naik 29 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Perhatian dikhususkan UNAMA pada korban warga sipil perempuan dan anak-anak yang terus meningkat, mencapai 37 persen perempuan tewas dan terluka serta 23 persen anak-anak.
Pembunuhan atas perempuan menjadi perhatian banyak pihak. Kaum perempuan, yang dulu tidak diberi kesempatan untuk tampil dan berdiri sejajar dengan laki-laki, kini bisa mengeksplorasi kemampuannya di berbagai bidang, mulai dari pendidikan, seni, hingga pemerintahan dan kehakiman. Di institusi kehakiman sendiri terdapat 200 hakim perempuan di seluruh Afghanistan. Namun, beberapa bulan terakhir, pembunuhan terhadap kaum perempuan yang memiliki keahlian, mulai dari jurnalis, polisi, hingga hakim, semakin sering terjadi.
”Jumlah warga sipil Afghanistan yang terbunuh dan cacat, terutama wanita dan anak-anak, sangat mengganggu. Saya mohon para pihak untuk segera menemukan cara guna menghentikan kekerasan ini,” kata Deborah Lyons, Kepala Misi UNAMA.
Masa depan Afghanistan
Masa depan Afghanistan diyakini banyak pihak akan suram tanpa kehadiran militer AS dan pasukan koalisi. Keinginan warga Afghanistan untuk melihat setidaknya gencatan selama perundingan intra-Afghanistan juga tidak terwujud. Yang terjadi kekerasan demi kekerasan di berbagai lokasi. Meski begitu, Presiden Ghani meyakinkan bahwa pasukan Afghanistan memiliki cukup sumber daya dan kemampuan untuk menjaga negara itu dari kelompok-kelompok yang ingin memperkeruh situasi keamanan.
Laporan yang disusun oleh Clayton Thomas, analis Timur Tengah, untuk Kongres AS menyebutkan, kekuatan militer Taliban lebih kuat dibandingkan dengan tahun 2001.
Itu termasuk data dari sekitar 400 distrik lokal di 34 provinsi Afghanistan. Kontrol atas distrik-distrik tersebut telah menjadi metrik utama untuk menilai kendali keseluruhan di negara tersebut.
Dalam laporan terakhir yang dirilis pada Maret 2021, Inspektur Jenderal Khusus AS untuk Rekonstruksi Afghanistan mengatakan, Pemerintah Afghanistan hanya menguasai 54 persen dari distrik-distrik itu pada Oktober 2018, jumlah terendah yang tercatat sejak pelacakan publik dimulai pada November 2015. Distrik yang tersisa, digambarkan sebagai 34 persen tengah diperebutkan dan 12 persen di bawah kendali pemberontak.
Namun, tingkat penguasaan distrik itu tidak digunakan sebagai landasan pengambilan keputusan lagi setelah pemerintahan Donald Trump membuka negosiasi dengan kelompok Taliban. Menurut Bill Roggio dari lembaga Yayasan Pertahanan Demokrasi, sebuah lembaga yang diduga terafiliasi dengan Partai Republik, Pemerintah Afghanistan diperkirakan hanya menguasai sekitar 120 distrik. Adapun Taliban mengusai 70 distrik.
Situasi keamanan yang tidak menentu, menurut Roggio, membuatnya tidak terlalu memercayai angka itu sekarang ini.
”Saya pikir peta itu seharusnya terlihat lebih buruk dari yang sebenarnya,” katanya.
Fawad Aman, wakil juru bicara Kementerian Pertahanan Afghanistan, membantah angka Roggio sebagai ”tidak benar dan jauh dari kenyataan”. Namun, dia mengklaim tanpa memberikan bukti bahwa Taliban hanya menguasai ”lebih dari 10 distrik” di Afghanistan di ”bagian yang sangat terpencil di negara itu”.
Klaim Aman kira-kira setengah dari perkiraan terendah dari kendali distrik Taliban yang pernah ditawarkan secara publik oleh AS, yang datang pada Januari 2016.
Sebuah laporan baru-baru ini dari Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (UNOCHA) melaporkan, pembunuhan dan kekerasan bersenjata yang terjadi pada awal tahun ini saja telah membuat 90.000 orang mengungsi. Sejak 2012, sekitar 4,8 juta orang telah mengungsi dari rumah mereka dan memilih tidak kembali.
Bahkan, Kabul, ibu kota negara yang dijaga ketat, tidak aman. Misi Bantuan PBB di Afghanistan mengatakan, sepanjang 2020, sebanyak 255 orang tewas dan 562 orang lainnya luka-luka.
Aman juga membantah bahwa Kabul tidak aman, mengutip apa yang dia gambarkan sebagai patroli pasukan keamanan reguler, pos pemeriksaan, dan penggerebekan.
”Kehadiran Taliban di sekitar ibu kota, Kabul, lebih sedikit dari sebelumnya,” klaimnya. ”Tidak ada perhatian bagi orang Kabul.”
Sesaat setelah mengumumkan keputusannya untuk menarik mundur seluruh pasukan AS di Afghanistan tanpa syarat, Biden mengatakan, sudah waktunya bagi rakyat AS untuk menerima kenyataan.
”Kita tidak dapat melanjutkan siklus untuk memperpanjang atau memperluas kehadiran militer AS di Afghanistan dengan harapan dapat menciptakan kondisi yang ideal pada saat penarikan pasukan, dengan mengharapkan hasil yang berbeda,” katanya. (AP/AFP/Reuters)