Taliban dan NIIS Diduga Bunuh Dua Hakim Wanita Afghanistan
Pembunuhan dua hakim wanita Afghanistan memicu kekhawatiran akan keselamatan lebih dari 200 hakim wanita lainnya yang bekerja di pengadilan tinggi negara itu.
Oleh
pascal s bin saju
·3 menit baca
KABUL, MINGGU — Aparat Afghanistan, Minggu (17/1/2021), menyelidiki kemungkinan Taliban dan kelompok teror Negara Islam di Irak dan Suriah sebagai otak pembunuhan dua hakim wanita negara itu. Dua hakim wanita yang bekerja untuk Mahkamah Agung itu dibunuh pada Minggu pagi di Kabul.
Kekerasan terus meningkat di seluruh Afghanistan dalam beberapa bulan terakhir di saat pembicaraan damai antara Taliban dan pemerintah sedang berproses. Pejabat mengatakan, tren pembunuhan tokoh-tokoh terkenal telah menebarkan ketakutan di tengah masyarakat lokal.
Serangan terbaru tersebut terjadi hanya dua hari setelah Departemen Pertahanan Amerika Serikat (AS) mengumumkan telah mengurangi jumlah pasukan AS di Afghanistan menjadi hanya tersisa 2.500 personel. Jumlah ini merupakan angka terendah dalam hampir dua dekade.
Juru bicara Mahkamah Agung, Ahmad Fahim Qaweem, mengatakan, penyerangan terhadap dua hakim MA itu terjadi saat mereka sedang menuju kantor dengan kendaraan dinas. ”Sayangnya, kami telah kehilangan dua hakim wanita dalam serangan hari ini. Sopirnya terluka,” kata Qaweem.
Polisi Kabul membenarkan adanya serangan yang menarget dua hakim MA tersebut. Qaweem menambahkan, ada lebih dari 200 hakim wanita Afghanistan yang bekerja untuk pengadilan tinggi negara itu.
MA telah menjadi target pada Februari 2017. Saat itu sebuah bom bunuh diri meledak di tengah kerumunan pegawai pengadilan sehingga sedikitnya 20 orang tewas dan 41 lainnya terluka. Dalam beberapa bulan ini, beberapa politisi, dokter, jurnalis, aktivis, dan jaksa sering dibunuh di Kabul dan kota-kota Afghanistan.
Para pejabat Afghanistan menuding Taliban atas serangan terbaru, tetapi dibantah oleh kelompok pemberontak itu. Aparat keamanan tetap menyelidiki kemungkinan Taliban terlibat serta juga menyelidiki kemungkinan lain, yakni keterlibatan kelompok teror Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Beberapa kasus pembunuhan telah diklaim kelompok teror NIIS, termasuk serangan ke lembaga pendidikan yang menewaskan 50 orang, terutama pelajar.
NIIS juga mengaku bertanggung jawab atas serangan roket pada Desember lalu. Namun, serangan yang menargetkan pangkalan utama AS di Afghanistan itu tidak menyebabkan jatuhnya korban jiwa.
Serangan Taliban yang tidak diklaim dan pembunuhan yang menargetkan pejabat pemerintah, pemimpin masyarakat sipil, dan jurnalis harus dihentikan agar perdamaian berhasil.
Awal Januari ini, militer AS untuk pertama kalinya secara langsung menuduh Taliban. ”Serangan Taliban yang tidak diklaim dan pembunuhan yang menargetkan pejabat pemerintah, pemimpin masyarakat sipil, dan jurnalis harus dihentikan agar perdamaian berhasil,” kata Kolonel Sonny Leggett, juru bicara pasukan AS di Afghanistan, di Twitter.
Pembunuhan dengan menargetkan tokoh-tokoh terus meningkat meskipun Taliban dan pemerintah sedang berunding untuk mengakhiri kekerasan. Taliban melakukan lebih dari 18.000 serangan pada 2020, kata Kepala Dinas Intelijen Afghanistan Ahmad Zia Siraj kepada anggota parlemen awal bulan ini.
Taliban dan Pemerintah Afghanistan awal bulan ini melanjutkan pembicaraan damai di Doha, Qatar. Negosiasi berjalan lambat karena kelompok pemberontak terus menyerang pasukan pemerintah, tetapi tetap menepati janji mereka untuk tidak menyerang pasukan AS dan NATO.
Pada Jumat lalu, Pentagon mengumumkan telah memangkas jumlah pasukan di Afghanistan menjadi 2.500 orang sebagai bagian dari kesepakatannya dengan Taliban untuk menarik semua pasukan dari negara itu pada Mei 2021.
Kesepakatan itu dicapai dengan imbalan jaminan keamanan dari pemberontak dan komitmen untuk pembicaraan damai dengan pemerintah. (AFP/AP)