Setelah 20 tahun, Pemerintah AS menarik seluruh pasukannya dari Afghanistan pada 20 September 2021. Tujuan awal dan utama yang sudah tercapai menjadi alasan.
Oleh
Mahdi Muhammad
·6 menit baca
Berjalan di antara batu nisan prajurit Amerika Serikat yang tewas di Afghanistan di Pemakaman Nasional Arlington, Washington, Presiden AS Joe Biden tak bisa melepaskan pikirannya dari mendiang putranya, Beau Biden. Beau, yang memiliki nama lengkap Joseph Robinette Biden III, meninggal pada 2015 karena tumor otak, pernah bertugas di Irak tahun 2008-2009. Putra tertua Biden itu memperoleh penghargaan Bintang Perunggu atas jasanya selama bertugas di Irak.
Kematian Beau, diakui Biden, masih menghantuinya. ”Akhir-akhir ini, saat berkunjung ke pemakaman, saya tidak bisa tidak memikirkan putra saya Beau. Dia dengan bangga bersikeras mengenakan seragam (militer) itu dan menyerahkan posisinya sebagai jaksa agung di Delaware karena dia berpikir itu adalah hal yang benar untuk dilakukan,” kata Biden.
Pengalaman militer Beau Biden adalah satu di antara banyak alasan yang diberikan Biden saat mengambil keputusan untuk menarik seluruh tentara AS di Afghanistan, yang tersisa hanya 2.500 orang. Penarikan akan dimulai pada 1 Mei dan diharapkan akan berakhir pada 11 September 2021, bertepatan dengan dua dekade peristiwa pemboman Menara Kembar WTC di New York.
”Saya adalah presiden pertama AS dalam 40 tahun yang tahu apa artinya memiliki anak yang bertugas di zona perang. Sepanjang proses ini, Bintang Utara saya telah mengingat bagaimana rasanya ketika almarhum putra saya Beau dikerahkan ke Irak,” kata Biden. Tidak hanya soal Beau dan keputusannya untuk berdinas ke Irak, tetapi juga dampaknya terhadap keluarganya.
Biden mengatakan, sejak dia didapuk menjadi wakil presiden pada 2009, dirinya selalu mengantongi kartu yang berisi tentang jumlah pasti dan personel militer AS yang tewas dan terluka, baik di Irak ataupun di Afghanistan. Kebiasaannya itu terbawa hingga kini, saat menjabat sebagai presiden. Per Rabu (14/4/2021), jumlah personel AS yang tewas di Afghanistan mencapai 2.488 orang dan 20.722 luka-luka. Rakyat AS juga menanggung biaya perang yang tidak kecil, yang mencapai 1 triliun dollar.
”Lihat semuanya,” kata Biden menunjuk ke deretan batu nisan putih yang membentang di belakangnya. ”Setiap orang yang tewas adalah manusia suci yang meninggalkan seluruh keluarga,” ujarnya.
Pikirannya tentang Beau, militer AS dan pasukan koalisi serta warga sipil yang tewas di Afghanistan, membuat Biden akhirnya memutuskan untuk menarik mundur seluruh pasukan AS dari Afghanistan. Dalam pidato yang disiarkan secara langsung, Biden menyatakan, AS telah menyelesaikan misi awalnya untuk menghancurkan kelompok teror internasional di balik serangan 11 September. Tidak ada alasan lagi untuk tetap tinggal.
”Serangan mengerikan 20 tahun lalu, tidak bisa menjelaskan mengapa kami harus tetap di sana pada 2021. Sudah waktunya untuk mengakhiri perang selamanya,” kata Biden.
Pencarian Osama
Perang di Afghanistan dimulai sebagai upaya pencarian pemimpin kelompok Al Qaeda, Osama bin Laden, dalang peristiwa pengeboman Menara Kembar WTC, 11 September 2001. Dari ruang perjanjian di Gedung Putih, presiden AS saat itu, George W Bush, menyatakan perang terhadap Osama da Al Qaeda, 2001.
Bush kemudian mendapat julukan presiden perang, sama seperti sang ayah, yang keputusannya ikut berperang melawan Irak saat Saddam Hussein menginvasi Kuwait di tahun 1990-an.
Tahun 2011 menjadi puncak kehadiran AS di Afghanistan dengan jumlah mencapai 100.000 orang. Pada tahun yang sama, Osama bin Laden, orang yang paling dicari oleh AS, tewas di tangan militer AS bukan di Afghanistan, melainkan di Pakistan.
”Kita sudah memiliki anggota militer yang orangtuanya dan dirinya bertugas di tempat yang sama, di perang yang sama. Kita bahkan memiliki anggota militer yang belum lahir ketika negara ini diserang pada 11 September,” kata Biden. Dia menambahkan, perang itu tidak pernah dimaksudkan untuk dijalani dan menjadi urusan multigenerasi, turun-temurun.
Tidak hanya terkait dengan anggota pasukan yang hadir turun-temurun di Afghanistan, hal ini juga berlaku bagi pejabat pemerintah, dalam hal ini adalah presiden.
”Saya sekarang adalah presiden keempat Amerika yang memimpin kehadiran pasukan Amerika di Afghanistan. Dua Republik. Dua Demokrat,” katanya. ”Saya tidak akan menyerahkan tanggung jawab ini kepada yang kelima.
Skeptis
Biden sudah lama skeptis dengan kehadiran pasukan AS di Afghanistan. Saat mendampingi Barack Obama sebagai wapres, Biden adalah suara kesepian dalam pemerintahan. Biden menyarankan Obama untuk memilih peran kontraterorisme yang lebih kecil di negara itu. Namun, dia berhadapan dengan penasihat militer yang terus mendesakkan penambahan kehadiran pasukan AS untuk menghadapi kelompok Taliban.
Kini, posisinya sebagai presiden membuat Biden memiliki kelegaan, keleluasaan untuk mengalibrasi ulang kebijakan luar negeri AS untuk menghadapi tantangan lebih besar yang ditimbulkan oleh China dan Rusia.
Penarikan semua pasukan AS juga memiliki risiko yang jelas. Kebijakan penarikan mundur seluruh pasukan, di satu sisi memberikan kelegaan pada AS, tetapi juga memiliki risiko kembali berkuasanya Taliban di Afghanistan yang berujung pada kegelapan bagi hak-hak perempuan dan anak, demokrasi, yang sudah terbukti selama dua dekade terakhir. Bahkan, termasuk kemungkinan Afghanistan menjadi tempat berlindung bagi organisasi radikal lainnya.
Keputusan Biden pun menuai kritik, termasuk dari lawan-lawan politiknya di Partai Republik. Walaupun, Biden tidak sepenuhnya bisa disalahkan karena mantan Presiden Donald Trump, seorang Republikan, juga menginginkan penarikan penuh militer AS dari Afghanistan.
Kritik datang dari pemimpin senior Partai Republik, Senator Mitch McConnell. ”Pemerintahan ini telah memutuskan untuk mengabaikan upaya AS di Afghanistan yang telah membantu mengendalikan terorisme dan kelompok radikal. Dan anehnya, mereka telah memutuskan untuk melakukannya pada 11 September,” kata McConnell.
Direktur CIA William Burns mengakui bahwa kemampuan Amerika untuk menahan ancaman teroris dari Afghanistan diuntungkan dari kehadiran militer di sana. Saat pasukan ditarik, menurut dia, kemampuan Pemerintah AS untuk mengumpulkan informasi dan bertindak atas ancaman akan berkurang.
Obama, yang berharap bisa mengakhiri peran AS di Afghanistan pada masa kepresidenannya tetapi gagal, dalam sebuah pernyataan mendukung keputusan Biden. ”Inilah saatnya untuk mengakui bahwa kita telah mencapai semua yang kita bisa secara militer dan inilah saatnya untuk membawa pulang pasukan kita yang tersisa,” kata Obama dalam pernyataannya.
Biden juga menyatakan telah berbicara dengan Presiden Afghanistan Ashraf Ghani sebelum pengumuman resmi itu disampaikan. Dalam pembicaraan itu, Biden mengatakan kepada Ghani bahwa Pemerintah AS akan terus mendukung rakyat Afghanistan melalui bantuan pembangunan, kemanusiaan dan keamanan.
Ghani memahami keputusan Biden. ”Republik Islam Afghanistan menghormati keputusan AS dan kami akan bekerja dengan mitra AS kami untuk memastikan transisi yang mulus,” kata Ghani dalam sebuah posting Twitter.
Biden juga berbicara dengan mantan Presiden Bush sebelum mengumumkan keputusannya. Menurut Gedung Putih, Biden juga berbicara dengan sekutu, pemimpin militer, anggota parlemen dan Wakil Presiden Kamala Harris untuk membantunya membuat keputusan. Bush, melalui juru bicaranya, menolak berkomentar tentang percakapannya dengan Biden.
Perang selama 20 tahun telah menemui jalan buntu. Meski mendapat dukungan dari dunia internasional, pemerintahan Presiden Ashraf Ghani memiliki kendali yang lemah atas sebagian besar wilayah Afghanistan. Sebaliknya, Taliban semakin kuat.
Namun, Biden mengatakan, sudah waktunya bagi rakyat AS untuk menerima kenyataan.
”Kita tidak dapat melanjutkan siklus untuk memperpanjang atau memperluas kehadiran militer AS di Afghanistan dengan harapan dapat menciptakan kondisi yang ideal pada saat penarikan pasukan, dengan mengharapkan hasil yang berbeda,” katanya.
Dia juga mengingatkan, kehadiran pasukan AS di Afghanistan sejak awal memang bukanlah untuk mempersatukan Afghanistan. (AP/AFP/REUTERS)