Pasar Gelap Obat dan Alat Kesehatan di India Memanfaatkan Kesempatan dalam Kesempitan
Krisis peralatan medis kian menekan PM Narendra Modi, yang saat ini juga tengah dikecam karena memperbolehkan kegiatan keagamaan besar-besaran dan kampanye politik yang membuat banyak orang berkumpul.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Ketika persediaan obat-obatan Covid-19 dan oksigen untuk alat pernapasan tak tersedia lagi di rumah sakit, Pranay Punj, warga kota Patna, India, panik karena ibunya, Poonam Sinha, bergantung pada kedua hal itu. Punj mendatangi semua apotek di kota satu demi satu demi mencari obat antivirus remdesivir untuk ibunya yang sakit keras. Hasilnya, nihil.
Ketika sampai di salah satu apotek, Punj diberi tahu seorang apoteker bahwa obat yang dicari itu hanya bisa dibeli di pasar gelap. Ia bahkan menawarkan diri untuk mencarikan, tetapi harganya sangat mahal, 1.340 dollar AS atau lebih dari 30 kali lipat dari harga normal dan tiga kali gaji bulanan rata-rata pekerja kerah putih di India. Punj jelas menolak karena tak mempunyai uang sebanyak itu. Akhirnya, Punj mendapatkan obat itu dari saudara yang istrinya meninggal karena Covid-19.
Mimpi buruknya belum berakhir. Tengah malam Punj mendapat telepon dari rumah sakit yang memberi tahu stok oksigen menipis dan nyawa ibunya terancam. Ia lalu memutuskan memindahkan ibunya ke rumah sakit lain. ”Beberapa jam kemudian, saya akhirnya mendapat dipan untuk ibu saya dengan harga yang sangat mahal di rumah sakit swasta,” ujarnya.
Krisis obat-obatan dan oksigen di India ini dimanfaatkan oleh orang-orang yang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Padahal, banyak anak muda yang menjadi sukarelawan untuk membantu masyarakat, seperti Punj melalui Twitter dan Instagram. Apa yang dialami Punj juga dialami banyak warga India di sejumlah daerah. Banyak orang putus asa meminta bantuan untuk dicarikan dipan, oksigen, dan obat-obatan melalui media sosial.
Meski India dikenal sebagai pusat farmasi dunia, tetap saja kewalahan memenuhi kebutuhan obat antivirus, seperti remdesivir dan favipiravir. Di kota Lucknow, Ahmed Abbas (34) harus membayar 45.000 rupee atau hampir Rp 9 juta untuk 46 liter oksigen. Ini sembilan kali lipat dari harga normal. ”Mereka minta saya beri uang muka dulu dan baru bisa diambil besoknya,” ujarnya.
Krisis peralatan medis itu kian menekan Perdana Menteri India Narendra Modi yang saat ini juga tengah dikecam karena memperbolehkan kegiatan keagamaan besar-besaran dan kampanye politik yang membuat banyak orang berkumpul. Menteri Perdagangan India Piyush Goyal malah menyalahkan dokter karena memberikan oksigen kepada pasien yang tidak membutuhkan. ”Pasien seharusnya diberikan oksigen sesuai kebutuhannya,” ujarnya.
Kini India tengah berencana mengimpor 50.000 ton oksigen dan membuat layanan ”Oksigen Ekspres” yang akan mengirimkan tabung-tabung gas ke daerah-daerah yang terdampak parah Covid-19. Modi berjanji akan berusaha semaksimal mungkin untuk menambah persediaan oksigen.
”Seharusnya pemerintah menyiapkan stok obat antivirus yang cukup saat kasusnya masih belum banyak. Ini yang tidak dilakukan,” kata pakar penyakit menular di RS Sahyadri di kota Pune, Raman Gaikwad.
Yang terjadi malah pemerintah meminta perusahaan pembuat obat remdesivir untuk menghentikan produksinya, Januari lalu, karena jumlah kasus Covid-19 yang menurun.
Banyaknya permintaan akan tempat tidur dan obat-obatan di media sosial membuat sekelompok aktivis dan influencer membentuk jaringan yang membantu warga yang membutuhkan. Aktivis lingkungan, Disha Ravi, dan Youtuber Kusha Kapila, termasuk sebagian anak-anak muda India yang membantu mencarikan, mengumpulkan, dan berbagi informasi terbaru seperti mengenai ketersediaan dipan di rumah sakit, jalur telepon bantuan lokal, nomor kontak apotek, hingga layanan makanan pesan antar.
Pembuat konten, Srishti Dixit (28), menerima permintaan bantuan setiap 30 detik sekali. Tanpa dibayar, ia bekerja sampai malam, mengedit, dan memverifikasi semua informasi yang dibutuhkan dan menyebarkan informasi itu ke berbagai pihak. Daftar kebutuhan warga itu dibagikan ke 684.000 pengikutnya di Instagram. Tetapi, informasi itu kerap kali berakhir tidak berguna karena tempat tidur dan obat-obatan yang semula tersedia lalu sudah habis dalam waktu cepat. ”Saya tidak selalu berhasil. Tetapi, saya harap ini akan membantu orang lain,” ujarnya.
Banyak orang yang melakukan persis apa yang dilakukan para sukarelawan. Mereka tergerak membantu karena banyak orang yang sangat membutuhkan dan semakin putus asa. ”Kami sudah membantu mencarikan lewat saluran bantuan pemerintah. Produsen dan penyalur oksigen juga sudah tidak mau menerima telepon,” kata Manajer Penjualan di Hotel Lucknow, Zain Zaidi (34).
Akhirnya Zaidi menemukan satu penyalur oksigen, tetapi harganya mahal hingga 20.000 rupee. Meski mahal, Zaidi tetap membelinya untuk salah satu temannya. ”Saya harus membelinya dengan harga berapa pun, semahal apa pun,” ujarnya. (AFP)