Pemimpin Brunei Darussalam Sultan Hassanal Bolkiah memastikan diri hadir dan memimpin Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Jakarta. Konferensi itu secara khusus akan membahas isu Myanmar.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sultan Hassanal Bolkiah, pemimpin Brunei Darussalam, memastikan hadir dan memimpin langsung Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN yang akan digelar pada Sabtu (24/4/2021) di Jakarta. KTT itu secara khusus akan membahas krisis politik di Myanmar.
Sejumlah kepala negara anggota ASEAN juga akan hadir, di antaranya Presiden RI Joko Widodo, Perdana Menteri (PM) Malaysia Muhyiddin Yassin, PM Kamboja Hun Sen, dan PM Vietnam Pham Minh Chinh. Pemimpin junta militer Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing, juga akan hadir dalam pertemuan tersebut.
Kabar hadirnya Hlaing di KTT ASEAN pertama kali muncul di media Jepang, Nikkei Asia, Rabu (21/4). Nikkei mengutip pernyataan juru bicara militer Myanmar, Zaw Min Tun, yang mengonfirmasi Hlaing akan hadir dalam KTT ASEAN.
Sementara itu, beberapa kepala negara anggota ASEAN lainnya belum memastikan untuk hadir. PM Thailand Prayuth Chan-ocha menyatakan tidak hadir. Thailand diwakili Menteri Luar Negeri Don Pramudwinai.
Kehadiran wakil Pemerintahan Persatuan Nasional, pemerintahan yang dibentuk oleh masyarakat, politisi, dan aktivis sipil Myanmar, juga belum bisa dipastikan. Asisten Direktur Hubungan Masyarakat ASEAN Romeo Jr Abad Arca, Rabu, mengatakan, undangan dikeluarkan Brunei Darussalam sebagai ketua ASEAN saat ini, bukan Sekretariat ASEAN. ”Kami tidak memiliki informasi yang spesifik atau konfirmasi tentang siapa saja yang diundang,” katanya.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Teuku Faizasyah menyatakan belum bisa berbicara banyak tentang persiapan KTT kali ini.
Utusan Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Myanmar Christine Schraner Burgener dikabarkan akan datang ke Jakarta, Kamis (22/4/2021), untuk bertemu dengan sejumlah pejabat senior ASEAN, termasuk Menlu RI Retno LP Marsudi. Burgener, menurut sejumlah sumber di kalangan diplomat ASEAN, berharap bisa bertemu Hlaing di Jakarta.
Tantangan
KTT ASEAN kali ini, menurut pengamat politik internasional dari Departemen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah, seperti mengulangi peran Indonesia saat menjadi mediator konflik Kamboja pada akhir era 1990-an melalui serangkaian pertemuan yang disebut Jakarta Informal Meeting (JIM). Indonesia, menurut Rezasyah, punya tanggung jawab moral karena mendukung Myanmar masuk dalam keanggotaan ASEAN.
Menurut Rezasyah, kepastian kehadiran Myanmar dalam KTT ASEAN memberikan beberapa sinyalemen bahwa junta tampak mulai kesulitan. Tekanan dari banyak pihak, termasuk dari PBB dan Uni Eropa, membuat junta tak memiliki pilihan lain. Apalagi hingga saat ini mereka tidak memiliki cetak biru masa depan Myanmar.
Merujuk pada tekanan yang juga dihadapi pemerintahan sipil terkait isu Rohingya, menurut Resazyah, ASEAN merupakan ”rumah” bagi junta militer. ”ASEAN menjadi rumah yang selama ini melindunginya dari terkaman dan terjangan Uni Eropa, AS, Jepang, dan sebagainya. Dia datang ke rumahnya sendiri,” kata Rezasyah.
”Indonesia sudah memiliki bank data lengkap. Tinggal diterjemahkan dalam langkah dan tawaran konkret untuk mencari solusi bagi semua pihak,” tuturnya.
Randy Wirasta Nandyatama, dosen Departemen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, menyoroti ketidakhadiran PM Prayuth. ”Ini menyimbolkan belum ada kesepakatan yang cukup serius terkait dengan respons ideal kasus Myanmar,” katanya.
Ketidakhadiran PM Prayuth juga dinilai memberikan sinyalemen bahwa proses pembicaraan masih agak berat. Selama ini, Thailand membantu komunikasi antara ASEAN dan komunitas internasional dengan junta Myanmar. Dalam pandangan Thailand, menurut Randy, KTT ASEAN bisa dianggap sebagai awal intervensi organisasi atas urusan dalam negeri sebuah negara.
Akan tetapi, KTT ASEAN kali ini juga bisa menjadi fondasi terciptanya suasana kondusif di Myanmar. Beberapa negara yang mendukung kerja diplomasi Indonesia, seperti Singapura dan Malaysia, yang memiliki sejumlah kepentingan ekonomi di Myanmar menjadi kunci perundingan dalam KTT nanti. ”Yang terpenting dalam KTT nantinya adalah bagaimana kekerasan atas warga sipil dihentikan,” kata Randy.
Seperti halnya JIM, Randy percaya pertemuan membahas soal Myanmar tidak akan berhenti pada KTT ASEAN. Akan ada tahapan pembicaraan lanjutan yang membutuhkan kerja bersama agar kepentingan semua pihak terakomodasi, terutama memulihkan demokrasi di Myanmar. (REUTERS)