Tidak seperti perundingan Iran-AS yang banyak disorot, pertemuan delegasi Iran dan Arab Saudi di Baghdad, Irak, tak banyak muncul ke permukaan. Meski begitu, pertemuan ini diharapkan menghasilkan sesuatu yang positif.
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
RIYADH, MINGGU — Sebuah pertemuan antara Pemerintah Iran dan Arab Saudi telah berlangsung beberapa waktu lalu untuk memperbaiki hubungan dua rival regional itu. Pertemuan keduanya sepi dari pemberitaan dibandingkan pertemuan tidak langsung Iran-Amerika Serikat di Vienna, Austria, untuk membicarakan kelanjutan soal Kesepakatan Nuklir Iran 2015 atau Rencana Aksi Komprehensif Bersama 2015 (JCPOA).
Bila kedua pembicaraan mengarah pada pencapaian yang positif, dinamika di Timur Tengah diyakini akan berubah dengan cepat.
Informasi pertemuan antara pejabat senior Pemerintah Arab Saudi dan Iran dikabarkan pertama kali oleh Financial Times, Minggu (18/4/2021), mengutip tiga pejabat yang diberi pengarahan tentang adanya pertemuan tersebut.
Menurut salah satu pejabat, putaran pertama pembicaraan antara Arab Saudi dan Iran berlangsung di Baghdad, Irak, 9 April lalu. Dalam pertemuan yang difasilitasi oleh Perdana Menteri Irak Mustafa al-Kadhimi itu, delegasi Pemerintah Arab Saudi dipimpin oleh Kepala Intelijen Khalid bin Ali al-Humaidan, salah satu substansi yang dibicarakan adalah soal serangan kelompok Houthi atas sejumlah kota dan fasilitas kilang minyak Arab Saudi. Menurut pejabat tersebut, arah pembicaraan cukup positif bagi kedua pihak.
Menurut pejabat tersebut, pembicaraan antara Arab Saudi dan Iran bergerak cepat karena pada saat yang sama, perundingan tidak langsung antara Iran dan AS juga bergerak dan bahkan lebih cepat. Hal lainnya yang mempercepat pertemuan tersebut adalah serangan kelompok Houthi terhadap Arab Sausi.
Bantahan soal adanya pertemuan itu datang dari pejabat senior Arab Saudi. Pemerintah Iran dan Irak tidak mengeluarkan komentar khusus terkait informasi itu.
Namun, seorang pejabat senior Irak dan seorang diplomat asing yang mengetahui pertemuan tersebut membenarkan adanya pertemuan tripartit itu. Pejabat senior Pemerintah Irak, yang tidak mau disebutkan namanya itu, menambahkan, Baghdad juga telah memfasilitasi saluran komunikasi antara Iran dan Mesir serta Iran dan Jordania.
Bahkan, menurut pejabat tersebut, PM Kadhimi ingin terlibat langsung dalam pembicaraan antara Iran dan Arab Saudi.
”Perdana menteri sangat ingin secara pribadi memainkan peran dalam mengubah Irak menjadi jembatan antara kekuatan antagonis di kawasan itu. Ini adalah kepentingan Irak untuk memainkan peran ini. Semakin banyak konfrontasi yang Anda lakukan di wilayah tersebut, semakin banyak mereka bermain di sini dan pembicaraan ini telah berlangsung,” kata pejabat tersebut.
Kadhimi diharapkan mampu memainkan peran sebagai mediator dan jembatan strategis antara Arab Saudi dan Iran karena memiliki hubungan baik dengan kedua pihak, terutama Iran. Namun, menurut salah satu pejabat, jalan masih panjang untuk bisa meraba ke arah mana pembicaraan ini akan berakhir.
”Kadhimi memiliki hubungan yang baik dengan sistem Iran. Hal yang baru adalah Kadhimi memainkan peran ini dengan Arab Saudi. Untung Irak memainkan peran ini, tetapi ini masih sangat awal,” kata pejabat lainnya.
Hubungan antara Arab Saudi dan Iran, masing-masing mewakili kelompok Islam Sunni dan Syiah, mencapai titik terendah pada Januari 2016 setelah Kedutaan Besar Arab Saudi di Teheran diobrak-abrik.
Peristiwa itu sendiri dipicu keputusan Pemerintah Arab Saudi mengeksekusi Sheikh Nimr al-Nimr, seorang ulama senior Syiah. Keduanya memutuskan hubungan diplomatik sejak saat itu.
Ketegangan antara kedua negara dan kawasan semakin meningkat setelah mantan Presiden Donald Trump secara sepihak menarik AS dari Kesepakatan Nuklir Iran pada 2018 dan menjatuhkan sanksi demi sanksi untuk melumpuhkan Iran. Arab Saudi yang memiliki hubungan baik dengan AS mendukung tindakan Pemerintah AS.
Namun, Arab Saudi memiliki kerentanan setelah berbagai serangan roket dan pesawat nirawak (UAV) pada September 2019 melumpuhkan pusat-pusat produksi minyak negara yang dipimpin Raja Salman tersebut. Kelompok Houthi yang mendapat dukungan dari Teheran mengaku bertanggung jawab terhadap serangan-serangan itu meski Washington dan Arab Saudi secara langsung menuding Iran bertanggung jawab atas serangan itu.
Irak, sejak lepas dari kendali Saddam Hussein, menjadi rumah bagi kelompok militan yang didukung Iran. Kondisi ini membuat Irak terjebak dalam ketegangan regional, terutama ketika Trump menginstruksikan pembunuhan Jenderal Qassem Soleimani, Komandan Pasukan Quds Garda Revolusi Iran pada Januari 2020. Pembunuhan itu sendiri membuat suasana Timur Tengah diliputi ketegangan dan nyaris berujung pada perang antara AS dan Iran. PM Khadimi dan rakyat Irak terjebak di dalamnya.
Pembicaraan Saudi-Iran adalah tanda bahwa terpilihnya Joe Biden telah mulai mengubah dinamika regional. Pada bulan Januari, Riyadh mengakhiri embargo regional lebih dari tiga tahun terhadap Qatar, yang diberlakukan sebagian karena hubungan Doha dengan Teheran. Langkah tersebut secara luas dipandang sebagai bagian dari upaya Pangeran Mohammed bin Salman, putra mahkota Kerajaan Arab Saudi untuk mendapatkan kredibilitas dengan pemerintahan Biden.
Perundingan Iran-AS
Uni Eropa, Rusia, dan Iran mengakui adanya kemajuan yang dicapai dalam pembicaraan mengenai program nuklir Iran meski Teheran menyatakan mereka terus memperkaya uraniumnya hingga tingkat kemurnian 60 persen. Kini, menurut verifikasi Badan Energi Atom Internasional (IAEA), tingkat pengayaan nuklir Iran berada pada angka 55,3 persen atau kurang dari 40 persen lagi bagi Iran untuk memiliki bahan baku bom nuklir.
Utusan Uni Eropa Enrique Mora dalam perundingan tidak langsung, Sabtu (17/4/2021), mengatakan, kemajuan telah dicapai meski pencapaian itu tidak mudah. ”Kini, kami tengah melakukan pekerjaan yang lebih rinci,” kata Mora.
Ketua Delegasi Pemerintah Iran dalam negosiasi itu, Abbas Araghchi, berkomentar di Telegram bahwa diskusi yang baik terjadi di dalam komisi gabungan. ”Tampaknya kesepakatan baru sedang terbentuk dan sekarang ada tujuan akhir bersama di antara semua,” katanya.
Walau begitu, dia mengakui bahwa negosiasi akan memasuki tahapan yang rumit. ”Bukannya perselisihan telah diselesaikan. Masih ada ketidaksepakatan serius yang harus dikurangi selama negosiasi di masa depan,” katanya.
Sebelumnya banyak pihak skeptis dengan pola perundingan tidak langsung ini. Di satu sisi, Iran menuntut Pemerintah AS bergerak terlebih dulu mencabut seluruh sanksi yang telah dijatuhkan Washington kepada Teheran tanpa syarat. Sebaliknya, Washington bersikeras hanya mencabut sanksi yang terkait dengan kepatuhan Iran dalam menjalankan substansi JCPOA 2015.
Negosiasi yang bertujuan untuk memastikan kembalinya Amerika Serikat ke JCPOA dan pencabutan sanksi dilanjutkan minggu ini.
”Kami kira perundingan sudah mencapai tahap dimana para pihak bisa mulai mengerjakan teks bersama. Penulisan teks bisa dimulai, setidaknya di lapangan dengan konsensus,” kata Araghchi. (AP/AFP)