Sabotase fasilitas nuklir Natanz milik Iran oleh Israel tidak akan menghentikan proses pengayaan uranium di lokasi tersebut. Sabotase juga tidak akan melemahkan Iran dalam proses negosiasi ulang JCPOA dengan AS.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
TEHERAN, SELASA — Serangan siber yang diduga dilakukan dinas intelijen Israel Mossad terhadap fasilitas nuklir Iran Natanz menjadi pertaruhan buruk Israel dan negara-negara yang mendukungnya. Tindakan sabotase tidak akan melemahkan Iran dan sebaliknya makin memperkuat posisi Iran.
”Israel memainkan pertaruhan yang sangat buruk jika dianggap bahwa serangan itu akan melemahkan tangan Iran dalam pembicaraan nuklir. Sebaliknya, tindakan itu akan memperkuat posisi Iran,” kata Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif dalam konferensi pers yang dihadiri koleganya, Menlu Rusia Sergei Lavrov.
Sehari sebelumnya, Pemerintah Iran secara resmi menuduh Mossad berada di balik sabotase fasilitas nuklir Natanz, terletak 400 kilometer selatan Kota Teheran, yang menyebabkan terputusnya aliran listrik dan macetnya kegiatan operasional instalasi nuklir bawah tanah tersebut. Israel diduga menyerang Natanz karena di fasilitas nuklir inilah Iran melakukan proyek pengayaan uranium utamanya. Hingga saat ini belum ada komentar resmi dari Pemerintah Israel.
Juru bicara Pemerintah Iran, Ali Rabiei, mengatakan, sabotase terjadi pada saluran kabel listrik yang mengarah ke mesin sentrifugasi. Dari temuan itu, para ahli nuklir dan intelijen Iran menilai, menurut Rabiei, tindakan tersebut bukanlah serangan eksternal dan lokasi sabotase itu telah ditentukan dengan jelas.
Pernyataan Rabiei tentang bukan serangan eksternal sepertinya merujuk pada seseorang yang menurut pihak berwenang Iran telah melakukan tindakan yang menyebabkan pemadaman listrik di Natanz. Rencana penangkapan terhadapnya juga telah disusun. Sementara, kerusakan yang terjadi bisa diperbaiki. Bahkan, otoritas Iran menyebut bahwa kegiatan pengayaan uranium tidak berhenti meski gangguan terjadi.
Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) dalam laporannya pada Februari lalu menyebutkan, Pemerintah Iran terus melakukan kegiatan pengayaan pengayaan uranium di berbagai fasilitas nuklir bawah tanah miliknya. Dalam kesepakatan nuklir tahun 2015, atau yang dikenal dengan Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA), disebutkan bahwa Iran boleh memurnikan uranium hanya di situs pengayaan utamanya, Natanz, dengan sentrifugal IR-1 generasi pertama.
Namun, tahun lalu, Iran mulai melakukan pengayaan di sana dengan kaskade atau kluster mesin IR-2m yang jauh lebih efisien. Bahkan, pada Desember lalu, Iran menyatakan akan memasang tiga alat lagi untuk mempercepat proses pengayaan.
Saat diperbolehkan kembali melakukan inspeksi ke fasilitas nuklirnya, tim inspeksi IAEA menemukan kenaikan stok uranium Iran secara signifikan, melebihi batasan yang telah disepakati dalam JCPOA, yaitu hanya 202 kilogram. Temuan tim inspeksi saat itu, stok uranium Iran sudah mencapai 10 kali lipat angka yang diizinkan, yaitu 2,4 ton dan dengan tingkat pengayaan 4,5 persen (batasannya adalah 3,6 persen).
Zarif mengatakan, dalam waktu dekat, Natanz akan bergerak lebih maju dalam proses pengayaan uraniumnya dibandingkan sebelumnya.
Negosiasi
Tindakan sabotase ini juga dinilai mengancam negosiasi ulang JCPOA 2015 atau yang lebih dikenal sebagai Kesepakatan Nuklir Iran 2015. AS dan Iran, dengan mediasi Uni Eropa serta negara penandatanganan JCPOA lainnya, tengah melakukan perundingan tidak langsung untuk membahas kembalinya AS dalam kesepakatan tersebut.
Pemerintah AS sendiri menyatakan tidak terlibat dalam sabotase itu dan tidak berkomentar tentang spekulasi penyebab insiden itu.
Zarif mengatakan, sabotase itu tidak akan memberikan AS pengaruh ekstra dalam negosiasi itu. ”Kami tidak memiliki masalah untuk kembali melaksanakan komitmen JCPOA kami. Tetapi Amerika harus tahu bahwa baik sanksi maupun tindakan sabotase tidak akan memberi mereka alat negosiasi dan tindakan ini hanya akan membuat situasi lebih sulit bagi mereka,” kata Zarif.
Sejauh ini, hasil pembicaraan dalam perundingan tidak langsung itu belum menunjukkan hasil. Gedung Putih telah menawarkan keringanan beberapa sanksi atas Iran. Namun, Iran bersikeras bahwa semua sanksi harus dicabut sekaligus.
Negosiasi tak langsung kini menjadi lebih pelik setelah Kementerian Luar Negeri Iran menyatakan pihaknya menangguhkan kerja sama dengan Uni Eropa di berbagai bidang. Kebijakan penangguhan ini diambil Iran setelah UE memasukkan beberapa nama pejabat keamanan Iran dalam daftar hitam blok perdagangan itu terkait dengan kerusuhan di tahun 2019 pada saat protes kenaikan harga bahan bakar minyak yang menewaskan 304 orang. (AP/AFP/Reuters)