Arab Saudi tengah menggenjot pembangunan Distrik Keuangan Raja Abdullah (KAFD) bernilai miliaran dollar AS yang digadang menyaingi dan merebut posisi Uni Emirat Arab sebagai pusat bisnis di Timur Tengah.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
Pembangunan Distrik Keuangan Raja Abdullah atau King Abdullah Financial District di Riyadh, Arab Saudi, sudah memasuki tahap akhir. Kawasan itu pun siap memenuhi target peluncuran secara resmi tahun ini. Sempat tertunda-tunda sejak diumumkan tahun 2006, proyek bernilai miliaran dollar AS itu digadang menjadi penegas ambisi Arab Saudi untuk menyaingi dan merebut posisi Uni Emirat Arab sebagai pusat bisnis di Timur Tengah.
Arab Saudi pada Februari lalu meminta perusahaan asing yang ingin menjalin kontrak dengan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi untuk memindahkan markas regional mereka ke Arab Saudi. Riyadh memberi ultimatum bakal menghentikan kontrak kerja sama dengan perusahaan asing yang markas regional mereka berada di luar Arab Saudi mulai 2024. King Abdullah Financial District (KAFD) ditargetkan jadi penanda khusus dalam proyek ambisius kerajaan.
Disebutkan bahwa kebijakan itu bertujuan menciptakan lebih banyak pekerjaan dan membatasi kebocoran ekonomi di Arab Saudi. Riyadh juga bertekad meningkatkan efisiensi terkait dengan pengeluaran di kerajaan. Arab Saudi ingin menjamin barang dan jasa utama yang dibeli sejumlah badan pemerintah bisa diproduksi di negara itu.
Ultimatum berani oleh Riyadh tersebut dinilai dapat meningkatkan persaingan bisnis dan modal asing antara Arab Saudi dan negara-negara Arab Teluk lainnya. Pesaing utama Arab Saudi adalah dengan sekutu utamanya, Uni Emirat Arab (UEA).
Ultimatum Riyadh pada perusahaan-perusahaan asing itu dipandang sebagai tantangan langsung pada Dubai. Kota di tepi Teluk Persia ini telah lama menjadi pusat bisnis di kawasan. Tantangan Arab Saudi ini muncul di tengah upaya Riyadh mendiversifikasi ekonominya yang masih bergantung pada minyak.
Raksasa tidur
”Raksasa yang sedang tidur itu bersiap bangun,” kata seorang sumber di kalangan konsultan yang dekat dengan proyek KAFD.
Kawasan KAFD menempati wilayah seluas 1,6 juta meter persegi. Kawasan itu bakal dipenuhi dengan gedung pencakar langit, area pejalan kaki dengan deretan pohon yang dirancang menyerupai dasar sungai, dan masjid berbentuk seperti mawar gurun. KAFD ditargetkan menjadi sebuah zona ekonomi khusus bagi para penyewanya kelak.
Raksasa yang sedang tidur itu bersiap bangun.
KAFD akan menawarkan insentif kepada perusahaan-perusahaan. Insentif itu, antara lain, adalah pajak perusahaan nol persen selama 50 tahun, pembebasan 10 tahun dari kebijakan mengalokasikan tenaga kerja khusus warga Arab Saudi, dan perlakuan khusus yang menguntungkan perusahaan-perusahaan itu dalam kontrak-kontraknya dengan Pemerintah Arab Saudi. Di luar itu, disiapkan juga aneka insentif khusus menjelang peluncuran KAFD itu.
Pembangunan proyek tersebut sempat tertunda, lalu diketahui juga biaya pembangunannya membengkak. Namun, demi ambisi Arab Saudi, proyek itu beberapa bulan terakhir tampak dikebut. Selain miliaran dollar AS telah dihabiskan untuk KAFD selama dekade terakhir, sumber mengungkapkan Dana Investasi Publik Riyadh menandatangani kontrak konstruksi senilai 8 miliar riyal (2,13 miliar dollar AS) awal tahun ini. Manajemen KAFD menolak berkomentar atas besaran dana yang sudah dikeluarkan untuk proyek besar itu.
Media Arab Saudi melaporkan, kerajaan berambisi menarik 500 perusahaan internasional ke Riyadh. Mayoritas perusahaan itu ditargetkan akan menempati kawasan KAFD paling lambat pada 2024, sesuai target Riyadh. Ambisi besar itu, jika berhasil, akan melebihi capaian UEA. Dubai menarik sekitar 140 kantor pusat perusahaan internasional dalam tiga dekade terakhir. Ini jumlah tertinggi di Timur Tengah.
Perusahaan rintisan perhotelan asal India, Oyo, dan perusahaan modal ventura yang membawahkan 500 perusahaan rintisan mengaku tengah berproses untuk mendirikan kantor pusat regional mereka di KAFD. Beberapa perusahaan lokal Saudi, seperti raksasa perbankan Samba, dilaporkan mulai beroperasi di KAFD. Namun, menemukan penyewa jangka panjang di KAFD itu butuh perjuangan keras.
Sebuah dokumen publik yang menguraikan rencana reformasi Visi Arab Saudi yang digalang 2030, Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman mengakui bahwa KAFD direncanakan ”tanpa mempertimbangkan kelayakan ekonomi”, dan ”bahkan mencapai tingkat hunian–dalam arti penyewa--yang layak akan sangat menantang”. Dorongan untuk memulai proyek itu datang di tengah lambannya investasi asing di Riyadh.
Beberapa eksekutif Barat secara pribadi mengkritik ultimatum Saudi pada Februari lalu sebagai pilihan sulit. ”Namun, jika pilihannya adalah pekerjaan atau tidak ada pekerjaan, orang akan pergi (ke Saudi)," kata seorang eksekutif keuangan yang berbasis di Dubai.
Dengan populasi 34 juta, Arab Saudi memang menawarkan pasar terbesar di kawasan itu dan kontrak yang menguntungkan di berbagai megaproyek senilai ratusan miliar dollar AS.
”Ultimatum Saudi adalah permainan dua tingkat: vendor untuk pemerintah dan perusahaan yang berfokus pada konsumen,” kata Sam Blatteis, salah satu pendiri Dewan Bisnis Teknologi Tinggi Timur Tengah yang berbasis di Dubai. Perusahaan itu menjadi penasihat lusinan perusahaan global yang menjajaki ekspansi di Arab Saudi.
Kerajaan Arab Saudi secara agresif mengatasi ketinggalan dengan Dubai dalam hal gaya hidup. Mereka, misalnya, mengizinkan bioskop, konser, dan ajang-ajang olahraga ditonton kaum perempuan. Pejabat Arab Saudi secara terbuka tak mau membesar-besarkan pembicaraan tentang persaingannya dengan Dubai. Waktu akan membuktikan, apakah ambisi Riyadh itu akan tercapai atau tidak. (AFP)