Riyadh Beri Ultimatum Perusahaan Asing agar Pindahkan Markasnya ke Arab Saudi
Perusahaan multinasional yang menjalin bisnis dengan kalangan bisnis di Arab Saudi selama ini lebih memilih menempatkan kantor regional mereka di negara-negara tetangga Arab Saudi. Riyadh ingin mengubah hal itu.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
RIYADH, SELASA — Arab Saudi pada Senin (15/2/2021) meminta perusahaan-perusahaan asing yang ingin menjalin kontrak dengan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi untuk memindahkan markas regional mereka ke wilayah Arab Saudi. Riyadh memberi ultimatum bakal menghentikan kontrak kerja sama dengan perusahaan-perusahaan asing yang markas regional mereka ada di luar Arab Saudi mulai tahun 2024.
”Arab Saudi bermaksud menghentikan kontrak dengan perusahaan dan institusi komersial dengan kantor pusat regional yang tidak berlokasi di kerajaan,” demikian, antara lain, bunyi laporan kantor berita Saudi Press Agency (SPA), mengutip sumber resmi yang tidak disebutkan namanya.
”Penghentian akan mencakup instansi, lembaga, dan dana milik pemerintah dan akan berlaku efektif mulai 1 Januari 2024.”
Disebutkan juga bahwa kebijakan itu bertujuan menciptakan lebih banyak pekerjaan dan membatasi kebocoran ekonomi di Arab Saudi. Riyadh juga bertekad meningkatkan efisiensi terkait dengan pengeluaran-pengeluaran di kerajaan. Arab Saudi sekaligus ingin menjamin bahwa barang dan jasa utama yang dibeli oleh berbagai badan pemerintah dapat diproduksi di negara tersebut.
Ultimatum yang berani oleh Riyadh itu dinilai dapat meningkatkan persaingan bisnis dan modal asing antara Arab Saudi dan negara-negara Arab Teluk lainnya. Persaingan utama Arab Saudi adalah dengan sekutu utamanya, Uni Emirat Arab (UEA). Seperti negara-negara lain di dunia, ekonomi negara-negara Arab Teluk juga terhuyung-huyung akibat kemerosotan ekonomi selama pandemi Covid-19.
Sebagai negara dengan perekonomian terbesar di kawasan Arab, Arab Saudi terus berupaya menarik investasi asing. Langkah itu menjadi pilar utama kerajaan terkait rencana diversifikasi ekonominya.
Sebagai negara dengan perekonomian terbesar di kawasan Arab, Arab Saudi terus berupaya menarik investasi asing. Langkah itu menjadi pilar utama kerajaan terkait dengan rencana diversifikasi ekonominya. Melalui ”Visi 2030”, yang dipimpin langsung oleh Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman (MBS), Arab Saudi bertekad meningkatkan pendapatannya di luar minyak bumi.
Banyak perusahaan multinasional, yang memiliki bisnis atau menjalin bisnis dengan pebisnis di Arab Saudi, lebih memilih menempatkan kantor regional mereka di negara-negara tetangga Arab Saudi. Hal ini diduga terkait dengan sifat konservatif di lingkungan Arab Saudi. Sejumlah negara tetangga Arab Saudi, seperti UEA dan Qatar, cenderung lebih bebas, menawarkan gaya hidup yang relatif lebih liberal, termasuk antara lain mengizinkan minuman beralkohol.
Arab Saudi berusaha menghilangkan citra keras dan konservatif dengan mengizinkan, antara lain, kembali operasionalisasi bioskop, penyelenggaraan konser, dan perhelatan kegiatan-kegiatan olahraga yang ditampilkan secara umum. Di sisi bisnis, sebelumnya melalui inisiatif pemerintah yang dikenal sebagai ”Program HQ”, Riyadh juga menawarkan keringanan pajak dan insentif kepada perusahaan multinasional untuk merelokasi kantor-kantor mereka yang berada di kawasan Timur Tengah ke wilayah Saudi.
Tak pengaruhi sektor swasta
Media SPA menyebutkan, sebanyak 24 perusahaan internasional telah menyatakan niat mereka untuk memindahkan markas mereka ke Arab Saudi. Hal itu diungkapkan pihak perusahaan-perusahaan tersebut dalam pada forum Inisiatif Investasi Masa Depan (Future Investment Initiative) yang digelar Riyadh, bulan lalu.
SPA menyebutkan bahwa langkah terbaru Arab Saudi kali ini tidak akan memengaruhi kemampuan investor untuk memasuki pasar Arab Saudi atau untuk melanjutkan bisnis mereka dengan sektor swasta di Arab Saudi. Namun, langkah Riyadh itu dinilai akan menambah tekanan kepada perusahaan sektor swasta yang sangat bergantung pada kontrak Pemerintah Arab Saudi.
”Menekan perusahaan multinasional untuk mendirikan markas di Arab Saudi berpusat pada keyakinan bahwa perusahaan asing yang mendapat keuntungan dari pasar Arab Saudi harus meningkatkan kehadiran fisik mereka di negara itu,” kata Robert Mogielnicki dari lembaga Institut Negara Teluk Arab di Washington.
”Ini pada akhirnya merupakan evaluasi ulang terhadap keberlanjutan model pembangunan ekonomi Arab Saudi, dan bukan tantangan komersial yang disengaja untuk UEA. Jika dilakukan dengan sukses, kemungkinan akan berdampak komersial pada UEA.”
Pengumuman Arab Saudi itu muncul di tengah tekanan atas ekonomi negara tersebut, yakni tingkat pengangguran yang tinggi dan penurunan pertumbuhan yang dipicu oleh pandemi Covid-19. Pengangguran di Arab Saudi menyentuh 14,9 persen pada triwulan ketiga tahun 2020. Tingkat pengangguran itu turun sedikit dari level tertinggi sepanjang masa sebesar 15,4 persen pada triwulan kedua tahun lalu.
MBS—sapaan akrab Putra Mahktota Arab Saudi—pada Januari lalu mengatakan bahwa Arab Saudi akan menginvestasikan 40 miliar dollar AS setiap tahun dalam ekonomi domestik selama lima tahun ke depan. Kerajaan Arab Saudi juga berusaha meningkatkan penciptaan lapangan kerja dan menghidupkan kembali bisnis yang hancur oleh pandemi.
Tahun lalu, akibat guncangan ganda, yakni pandemi dan penurunan harga minyak, negara eksportir terbesar minyak mentah itu harus melipatgandakan pajak pertambahan nilainya. Pemerintah Arab Saudi juga harus menangguhkan tunjangan bulanan bagi pegawai negeri untuk mengendalikan defisit anggaran yang membengkak. (AFP/REUTERS)