Penembakan Rudal Korut ke Laut Jepang Picu Ketegangan Baru
Selama setahun ini, suasana di Semenanjung Korea relatif tenang, tetapi peluncuran empat rudal dalam lima hari terakhir ini kembali memicu ketegangan di kawasan.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
Peluncuran rudal Korut memicu ketegangan baru di Semenanjung Korea yang setahun ini relatif tenang. Persenjataan Korut tampak semakin maju.
SEOUL, KAMIS — Sejumlah negara di dunia mengecam dan menyayangkan aksi Korea Utara yang memicu ketegangan baru dengan kembali menembakkan peluru kendali ke Laut Jepang yang berhadapan langsung dengan perairan teritorial Jepang dan Korea Selatan. Dalam lima hari terakhir hingga Kamis (25/3/2021), Korea Utara telah menembakkan empat rudal.
Pada Kamis pagi, dua roket ditembakkan dari Korea Utara (Korut) ke Laut Jepang dan jatuh di luar perairan teritorial Jepang. Setiap roket terbang sejauh 420 kilometer dan 430 kilometer. Tidak ada laporan bahwa dua roket mengenai pesawat atau kapal. Sebelumnya, Minggu (21/3/2021), dua peluru kendali (rudal) juga ditembakkan Korut ke arah Jepang.
Penembakan rudal Korut kemarin dilaporkan otoritas di Amerika Serikat (AS), Korea Selatan (Korsel), dan Jepang. Kepala Staf Gabungan Korsel mengatakan, dua rudal jarak pendek diluncurkan pada Kamis pukul 07.06 dan pukul 07.25 waktu setempat dari daerah di pantai timur Korut. Dua rudal itu terbang sejauh 450 kilometer (279 mil) dengan capaian puncak ketinggian sejauh 60 kilometer (37 mil) sebelum mendarat di laut.
Insiden terbaru itu terjadi bersamaan dengan dimulainya kirab obor Olimpiade Tokyo di Jepang. Jepang akan menjadi tuan rumah Olimpiade pada Juli mendatang. Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga mengatakan, penembakan rudal itu mengancam perdamaian dan keamanan di Jepang dan kawasan Semenanjung Korea.
Aksi terbaru Korut memicu ketegangan menjelang Olimpiade Tokyo. Suga mengatakan, Tokyo akan berkoordinasi erat dengan Washington dan Seoul atas langkah yang dipilih Pyongyang itu. Sumber di Jepang menduga rudal yang dilepaskan dari Hamgyong itu merupakan rudal balistik. Jepang mengajukan protes resmi melalui kedutaan besarnya di Beijing, China.
Menteri Luar Negeri (Menlu) Korsel Chung Eui-yong menyatakan ”keprihatinan yang mendalam” atas peluncuran rudal Korut itu. Ia mendesak Korut untuk menjunjung tinggi komitmennya akan perdamaian di Semenanjung Korea dan sekitarnya. Pernyataan Chung itu disampaikan setelah bertemu Menlu Rusia Sergey Lavrov di Seoul. Lavrov menyerukan dimulainya kembali dialog secepatnya untuk menyelesaikan perselisihan di kawasan, antara Korsel dan Korut.
Kemajuan Korut
Penembakan yang intensif ini membuktikan adanya kemajuan sistem persenjataan Korut. Selain menyebabkan ketegangan menjelang pergelaran Olimpiade Tokyo, peluncuran itu juga sekaligus meningkatkan tekanan kepada pemerintahan Presiden AS Joe Biden.
Uji coba itu adalah kegiatan peluncuran rudal balistik pertama Korut dalam setahun yang lalu dan yang pertama dilaporkan di masa Biden. Selama setahun ini, suasana di Semenanjung Korea relatif tenang, tetapi peluncuran empat rudal dalam lima hari terakhir ini kembali memicu ketegangan di kawasan.
Insiden terbaru itu tidak berarti diplomasi denuklirisasi sudah mati, tetapi membuktikan tiga fakta, yakni persenjataan Pyongyang sudah semakin maju, membawa ancaman baru, dan meningkatkan potensi daya tawar Pyongyang jika perundingan nuklir akan dilanjutkan.
”Kegiatan itu menyoroti ancaman yang ditimbulkan program senjata terlarang Korut terhadap tetangganya dan komunitas internasional,” kata juru bicara Komando Indo-Pasifik AS, Kapten Mike Kafka.
Rudal yang diluncurkan pada Minggu (21/3/2021) diduga rudal jelajah. Sementara proyektil yang ditembakkan kemarin diduga berupa rudal balistik. Sanksi Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap Korut ialah melarang Pyongyang meluncurkan rudal balistik. Sementara rudal jelajah masih boleh digunakan sehingga Washington tidak banyak berkomentar soal peluncuran Minggu lalu.
Namun, Biden, Rabu (24/3/2021), mengungkapkan hasil telaah terhadap Korut. Biden menyebutkan, tidak ada yang berubah dari Korut. Wakil Menteri Tingkat Satu Korut Choe Son Hui menanggapi pernyataan itu dengan mengatakan, komunikasi AS-Korut hanya bisa dijalin lagi jika AS berhenti memusuhi Korut. Dialog dimungkinkan jika para pihak merasa nyaman.
Di bawah pemerintahan Presiden ke-45 AS Donald Trump, ada serangkaian dialog AS dengan Korut. Namun, seluruhnya gagal menghadirkan kesepakatan apa pun. AS berkeras seluruh fasilitas nuklir Korut dan pengembangan rudal balistik Korut dihancurkan. Setelah itu, baru sanksi dilonggarkan bahkan dicabut. Namun, Pemimpin Tertinggi Korut Kim Jong Un menuntut sebaliknya.
Meski terus meluncurkan rudal, Pyongyang cenderung lebih menahan diri. Terakhir kali Korut meluncurkan rudal balistik antarbenua dan menguji bom nuklir pada 2017. Pyongyang kembali meluncurkan rudal balistik pada Maret 2020 dan terakhir Kamis kemarin.
Manuver AS
Rudal-rudal diluncurkan selepas rangkaian manuver AS di kawasan. Pekan lalu, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dan Menteri Pertahanan AS Floyd Austin melawat ke Jepang dan Korsel.
Sebelum itu, ia juga mempersiapkan pertemuan AS-Australia-India-Jepang alias Quad. Pada kedua manuver itu, Blinken terus membahas soal nuklir Korut.
Para analis mengatakan, dengan adanya uji coba rudal oleh Korut itu, tidak berarti diplomasi denuklirisasi telah berakhir.
Mereka mengingatkan kenyataan yang tidak mengenakkan bagi pemerintahan baru di AS: hulu ledak Pyongyang terus meningkat setiap hari, bisa terus mendatangkan ancaman-ancaman baru, dan memperbesar posisi tawar Korut jika perundingan kelak dibuka lagi.
”Setiap hari yang berlalu tanpa ada kesepakatan yang berupaya mengurangi ancaman nuklir dan hulu ledak rudal Korut adalah hari di mana (nuklir dan rudal Korut) itu semakin besar dan buruk,” kata Vipin Narang, ahli urusan nuklir di Massachusetts Institute of Technology, AS.(AFP/REUTERS/BEN/RAZ/SAM)