Junta militer memunculkan tuduhan baru atas pemimpin Liga Nasional untuk Demokrasi, Aung San Suu Kyi, yaitu menerima suap. Meski tuduhan semakin banyak, pengacara belum bisa mengakses Suu Kyi secara langsung.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
NAYPYIDAW, JUMAT — Junta militer menambah tekanannya kepada Aung San Suu Kyi, pemimpin de facto Myanmar sekaligus pemimpin Liga Nasional Demokrasi, dengan tuduhan menerima suap. Tuduhan terbaru ini menjadikan dakwaan terhadap pemenang hadiah Nobel Perdamaian itu bertambah setelah dia dituding memiliki alat komunikasi (walkie-talkie) impor ilegal dan tuduhan menghasut rakyat untuk melawan junta hingga melanggar pembatasan gerak karena pandemi.
Pengacara Suu Kyi, Khin Maung Zaw, Jumat (12/3/2021), menyatakan tuduhan terbaru yang disampaikan juru bicara junta militer, Brigadir Jenderal Zaw Min Tun, sehari sebelumnya tidak memiliki dasar sama sekali. Khin menilai, tuduhan terbaru yang dikeluarkan junta, 40 hari setelah kudeta berlangsung, adalah sebuah lelucon.
”Tuduhan terhadap Daw Aung San Suu Kyi, penasihat negara, tidak berdasar, terutama terkait dollar dan emas batangan. Itu adalah lelucon yang paling lucu. Aku tidak pernah melihat begitu banyak tuduhan tidak berdasar seperti ini sebelumnya,” kata Khin.
Tuduhan terbaru yang disampaikan Brigjen Zaw Min Tun menyebut, Suu Kyi menerima suap dari seorang menteri pada kabinet pemerintahan sipil NLD. Suap itu berupa uang tunai senilai 600.000 dollar Amerika Serikat atau sekitar Rp 8,63 miliar dan dalam bentuk emas batangan seberat 10 kilogram.
Khin, pengacara veteran hak asasi manusia itu, mengatakan, Suu Kyi mungkin membutuhkan uang. Namun, dia menilai, Suu Kyi bukanlah sosok yang korup dan mau menerima suap.
”Dia mungkin memiliki kekurangan, tetapi suap dan korupsi bukanlah sifatnya,” katanya.
Hal yang membuat Khin khawatir saat ini adalah mengetahui keberadaan dan kondisi Suu Kyi secara langsung. Sejak ditahan pada 1 Februari lalu, Khin, sebagai pengacaranya, belum pernah bertemu muka dengan Suu Kyi. Pada saat yang sama, jadwal persidangan berbagai tuduhan yang ditudingkan junta terhadap Suu Kyi akan dimulai pada 15 Maret mendatang.
”Saya frustrasi karena klien saya tidak diberi hak pembelaan dan hak atas peradilan yang adil. Saya tidak khawatir dengan empat kasus (dakwaan) ini. Namun, tuduhan lain bisa terjadi dan kasus lain bisa menumpuk, mengakibatkan dakwaan palsu dan tuduhan palsu,” katanya.
Upaya intervensi
Upaya berbagai negara untuk membantu rakyat Myanmar mengakhiri kekerasan berdarah yang dilakukan oleh junta militer sejauh ini belum menampakkan hasil. Tekanan yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan sejumlah negara anggota Uni Eropa belum efektif untuk mengakhiri kekerasan berdarah yang dilakukan junta terhadap rakyat Myanmar yang menolak intervensi dan kudeta militer terhadap pemerintahan yang terpilih secara demokratis.
Tint Zam Hein, salah satu aktivis sipil pendiri gerakan Yone Htwet Sot Myanmar, dalam diskusi yang diadakan Safenet dan ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) mengatakan tindakan yang dilakukan junta pimpinan Jenderal Min Aung Hlaing adalah terorisme terhadap rakyat. Tindakan menggunakan senjata api yang berisi peluru tajam kepada rakyat yang tengah menuntut haknya secara damai adalah sebuah tindakan yang barbar.
Tint mengatakan, dukungan yang diharapkan dari negara-negara ASEAN adalah agar sembilan negara anggota perhimpunan bangsa-bangsa Asia Tenggara itu tidak melakukan komunikasi dengan junta militer. Menurut Tint, membuka komunikasi dengan junta bisa diartikan sebagai mengakui kudeta militer itu sendiri dan meninggalkan rakyat Myanmar sebagai pemilik kedaulatan yang sesungguhnya.
Tint menyampaikan, aktivis hak asasi manusia dan aktivis prodemokrasi saat ini tengah mengonsolidasikan gerakan mereka dengan Committee Representing The Pyidaungsu Hluttaw (CRPH) atau Komite Perwakilan Parlemen Terpilih untuk membentuk pemerintahan baru, mewakili Myanmar sebagai sebuah negara federasi. Mereka menginginkan pemerintahan yang inklusif bagi seluruh rakyat, termasuk semua kelompok etnis.
Menurut Tint, apabila militer ingin ikut serta dalam pemerintahan ini, pintu terbuka lebar. Namun, militer harus mau mereformasi diri dan menerima pemerintahan sipil serta menerima paham demokrasi.
Sementara Wakil Indonesia pada AICHR Yuyun Wahyuningrum dalam diskusi tersebut mengulangi desakannya agar junta militer memastikan keselamatan warga sipil di Myanmar dan mendesak aparat keamanan agar tidak menggunakan kekerasan bersenjata terhadap para pendemo. Selain itu, Yuyun dalam pernyataannya mendesak agar junta mengembalikan demokrasi ke posisinya semula dan para pihak mencari jalan untuk menghidupkan dialog dan perundingan.
Selain itu, junta didesak untuk menghormati keinginan rakyat Myanmar dan membebaskan seluruh tahanan.
Dalam diskusi itu, dia juga mengulangi seruannya agar negara-negara ASEAN menindaklanjuti hal yang telah mereka sepakati pada pertemuan 2 Maret lalu, yaitu kesiapan dan kesediaan ASEAN untuk membantu Myanmar secara positif, damai, dan tindakan yang konstruktif. (AFP)