Jurnalis Ditangkap, PBB Ingatkan Junta Militer soal Kekerasan
Jurnalis kantor berita AP ditahan junta militer Myanmar ketika sedang melaksanakan tugas profesional di tengah massa warga yang menolak kudeta 1 Februari.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
NAYPIDAW, SENIN — Thein Zaw (32), jurnalis kantor berita Associated Press, yang ditangkap pada Sabtu (27/2/2021) oleh polisi saat meliput protes terhadap kudeta militer di kota Yangon, Myanmar, diyakini masih ditahan. Ia diduga ditahan bersama puluhan warga lainnya di penjara Insein, Yangon.
Penangkapan terjadi saat polisi mencoba menghalau dan membubarkan pengunjuk rasa yang berkumpul di perempatan Hledan Center yang kemudian menyebar ke berbagai sudut kota.
”The Associated Press (AP) menyerukan pembebasan segera jurnalis AP, Thein Zaw, yang ditahan di Myanmar saat melakukan pekerjaannya. Jurnalis independen harus diizinkan untuk dengan bebas dan aman melaporkan berita tanpa takut akan pembalasan,” kata Ian Phillips, Wakil Presiden AP untuk berita internasional, Senin (1/3/2021).
Seruan AP digaungkan oleh Klub Koresponden Asing Myanmar. Mereka mengecam keras penangkapan jurnalis yang sedang menunaikan tugas atau kerja profesional peliputan berita yang menjadi tugas keseharian jurnalis.
”FCCM menyerukan pembebasan segera dan tanpa syarat Thein Zaw dan jurnalis lain yang ditahan serta mendesak semua otoritas terkait untuk memastikan keselamatan dan keamanan jurnalis yang menjalankan tugas profesionalnya, yakni meliput protes di negara itu,” katanya.
Tindakan keras aparat keamanan terus meningkat untuk membungkam gerakan prodemokrasi. Gerakan sipil ini menuntut pemulihan kembali pemerintahan sipil, yang telah berkuasa selama 10 tahun terakhir, dari tangan junta militer.
Hari Minggu (28/2/2021) menjadi hari paling ”mematikan” sejak kudeta militer pada 1 Februari lalu. Kemarin, sedikitnya 18 pengunjuk rasa tewas dan puluhan lainnya luka-luka.
Penangkapan jurnalis juga pernah terjadi sebelumnya. Tahun 2017, dua jurnalis kantor berita Reuters ditangkap saat mengerjakan tugas jurnalistik tentang kelompok minoritas Rohingya di Myanmar.
Aparat keamanan menuding keduanya memiliki dan menyimpan dokumen resmi secara ilegal. Mereka membela diri dan merasa dijebak karena aparat menolak pembelaan diri keduanya.
Meskipun kasus mereka menarik perhatian internasional dan ada kampanye internasional untuk pembebasan keduanya, aparat bergeming. Mereka dijatuhi hukuman dua tahun penjara dan baru dibebaskan pada 2019.
Peluru tajam
Aparat keamanan junta militer mengklaim mengurangi sikap kerasnya terhadap pengunjuk rasa setelah kematian tiga demonstran dua pekan lalu. Namun, sikap itu berubah sejak Sabtu (27/2/2021) dan aparat junta militer kembali mengulangi kekerasannya yang brutal dan mematikan, kemarin.
Pejabat dan kantor Badan HAM PBB menyatakan, mereka memiliki informasi yang dapat dipercaya bahwa sedikitnya 18 warga tewas dan lebih dari 30 orang luka-luka akibat kekerasan aparat, Minggu (28/2)/2021. Diperkirakan, sekitar 1.000 orang ditahan oleh aparat keamanan.
”Kematian dilaporkan terjadi akibat peluru tajam yang ditembakkan ke kerumunan di Yangon, Dawei, Mandalay, Myeik, Bago, dan Pokokku,” kata Kantor Hak Asasi Manusia PBB dalam pernyataannya.
Mereka menambahkan, aparat keamanan menggunakan gas air mata hingga granat setrum untuk membubarkan warga.
Angka kematian seperti yang disampaikan kantor HAM PBB di Myanmar berbeda dengan berita yang disiarkan oleh Democratic Voive of Burma, media independen Myanmar, yang memberitakan 19 kematian dari sembilan kota. Sebanyak 10 di antaranya belum bisa dikonfirmasi.
DVB menghitung lima kematian di Yangon dan dua di Mandalay, kota terbesar dan terbesar kedua. DVB juga mencatat lima kematian di Dawei.
Untuk mengonfirmasi kematian pengunjuk rasa sulit dilakukan di tengah kekacauan dan kurangnya berita dari sumber resmi, terutama di daerah di luar Yangon, Mandalay, dan ibu kota Naypyidaw.
Namun, dalam banyak kasus, foto dan video yang beredar menunjukkan keadaan pembunuhan dan foto mayat yang mengerikan.
Asosiasi Bantuan Tahanan Politik independen melaporkan, dari 1.000 orang yang ditahan, baru 270 orang yang bisa diidentifikasi oleh mereka. Tambahan 1.000 orang itu membuat jumlah warga yang telah ditangkap, didakwa, ataupun dijatuhi hukuman sejak kudeta berlangsung menjadi 1132 orang.
Juru bicara PBB, Stephane Dujarric, mengatakan, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengecam tindakan keras tersebut dengan menyebut penggunaan kekuatan mematikan terhadap pengunjuk rasa damai dan penangkapan sewenang-wenang ”tidak dapat diterima”. Dujarric juga menyatakan, Guterres juga menyatakan keprihatinan serius atas peningkatan kematian dan cedera serius.
”Sekretaris Jenderal mendesak masyarakat internasional untuk berkumpul dan mengirimkan sinyal yang jelas kepada militer bahwa mereka harus menghormati keinginan rakyat Myanmar seperti yang diungkapkan melalui pemilihan dan menghentikan penindasan,” kata Dujarric.
Pejabat AS, termasuk Menteri Luar Negeri Antony Blinken, juga mengutuk kekerasan tersebut. Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih Jake Sullivan mengeluarkan pernyataan yang menyatakan AS ”khawatir” dengan kekerasan dan berdiri dalam solidaritas dengan rakyat Myanmar ”yang terus dengan berani menyuarakan aspirasi mereka untuk demokrasi, supremasi hukum, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia”. (AP/REUTERS)