Kematian Pengunjuk Rasa di Myanmar Picu Protes Lebih Besar
Kematian empat korban penembakan dalam unjuk rasa anti-kudeta militer di Myanmar tidak menyurutkan niat warga melawan junta. Mya Thwate Thwate Khaing, korban pertama, menjadi lambang perlawanan baru terhadap junta.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
YANGON, SENIN — Warga Myanmar mempersiapkan unjuk rasa lebih besar pada Senin (22/2/2021) ini. Kematian empat orang, penangkapan lebih dari 500 orang, dan cedera dialami puluhan orang tidak menyurutkan niat warga melawan junta.
Politisi Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), Aung Kyaw Kyaw Oo, mengatakan, perlawanan akan terus berlanjut. ”Kami mengharapkan massa terbesar di seluruh negeri pada Senin,” ujarnya, Minggu (21/2/2021), di Yangon.
Sejumlah toko dan pusat perbelanjaan di Naypyidaw dilaporkan akan tutup pada Senin. Tidak diketahui alasan penutupan yang dilakukan pada hari kerja itu. Hal yang jelas, pengumuman penutupan diungkap selepas ada ajakan unjuk rasa besar-besaran.
Unjuk rasa menentang kudeta militer telah menewaskan seorang perempuan di Naypyidaw, dua pria di Mandalay, dan seorang pria di Yangon. Mya Thwate Thwate Khaing--versi lain penulisan namanya: Mya Thwet Thwet Khine-- ditembak dalam unjuk rasa di Naypyidaw. Setelah dirawat beberapa hari, ia meninggal pada Jumat (19/2/2021) lalu dan dimakamkan pada Minggu kemarin.
Dalam perjalanan dari rumah ke pemakaman, jenazahnya diantar ribuan orang. Konvoi pengantar membentuk barisan panjang.
Mya Thwate Thwate Khaing menjadi lambang perlawanan baru terhadap junta militer. Tentara Myanmar, Tatmadaw, menyebut peluru yang ditemukan pada Mya Thwate Thwate Khaing bukan peluru standar polisi Myanmar. Karena itu, Tatmadaw menyebut Mya Thwate Thwate Khaing ditembak pihak tidak dikenal.
Selain di Naypyidaw, unjuk rasa untuk mengenang Mya Thwate Thwate Khaing sekaligus memprotes junta juga berlangsung di Yangon. ”Hentikan genosida, hentikan penggunaan senjata mematikan,” kata salah seorang pengunjuk rasa di Yangon, Min Htet Naing.
Pengunjuk rasa juga membawa foto Mya Thwate Thwate Khaing. Mereka marah oleh kabar kematian perempuan yang bekerja sebagai penjaga toko di Naypyidaw itu.
Di Naypyidaw dan Yangon, orang-orang memperingati kematiannya juga dengan mengangkat tiga jari. Sejak protes terhadap kudeta dilancarkan, tiga jari menjadi lambang perlawanan terhadap kudeta Tatmadaw. Mya Thwate Thwate Khaing dianggap sebagai korban dan harus ada penyelidikan tuntas terkait kematiannya.
Lembaga pegiat hak asasi manusia, Human Rights Watch, menyebut pembunuhan oleh polisi sangat keterlaluan dan tidak bisa diterima. ”Petugas yang menembak harus diperiksa, ditangkap, dan dituntut dengan hukuman terberat,” kata Phil Robertson dari Human Rights Watch.
Penembakan di Yangon
Warga Yangon juga memperingati kematian Tin Htut Hein. Warga Yangon itu tewas ditembak di kepala. Menurut keluarga, Tin Htut Hein ditembak aparat. Sampai sekarang, aparat belum mengeluarkan pernyataan resmi atas kematiannya. Tin Htut Hein diketahui ikut ronda untuk mencegah polisi masuk ke permukiman dan menangkapi orang di sekitar tempat tinggalnya. Tin Htut Hein meninggalkan seorang istri dan seorang anak berusia 4 tahun.
Sementara di Mandalay, kota terbesar kedua setelah Yangon, juga berlangsung unjuk rasa pada Minggu. Pada Sabtu, dua pekerja galangan kapal tewas dan puluhan lain terluka dalam pemogokan berujung kerusuhan di kota itu. Pekerja yang tewas diketahui ditembak di dada dan kepala. Sementara sebagian korban luka diketahui ditembak dengan peluru tajam.
Dalam berbagai rekaman video, aparat Myanmar terlihat menembaki pengunjuk rasa. Belakangan diketahui sebagian tembakan menggunakan peluru tajam. Aparat tidak lagi menggunakan peluru karet yang lazimnya dipakai dalam penanganan huru-hara.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres mengecam keras penggunaan senjata api dalam unjuk rasa di Mandalay dan beberapa kota lain di Myanmar. ”Penggunaan kekuatan mematikan, intimidasi terhadap demonstan tidak bisa diterima,” tulisnya di media sosial.
Kecaman juga datang dari pemerintah sejumlah negara. Beberapa negara Eropa menjadwalkan rapat darurat pada Senin ini untuk membahas perkembangan di Myanmar.
Media yang mendukung Pemerintah Myanmar, Global New Light Myanmar, melaporkan bahwa sejumlah aparat terluka dalam rangkaian unjuk rasa. Walakin, media itu tidak melaporkan soal kematian pengunjuk rasa.
Terkait protes di Mandalay, Global New Light Myanmar menyebut massa menyerang petugas dengan ketapel, pentungan, dan aneka benda yang dilemparkan ke aparat. Akibat penyerangan itu, sedikitnya delapan polisi terluka.
Junta berusaha mengendalikan arus informasi dengan menghentikan layanan internet dan telepon bagi mayoritas orang. Kantor-kantor media massa juga dikuasai dan junta mengeluarkan informasi versi mereka.
Upaya junta ditentang, antara lain, oleh Facebook. Akun-akun media sosial dari unit penerangan Tatmadaw dibekukan oleh Facebook pada Minggu. Akun-akun itu dinilai melanggar ketentuan soal larangan menghasut kekerasan.
Selain berusaha mengendalikan informasi, junta juga terus menangkapi orang. Aktor Lu Min ditangkap pada Minggu. Aktor itu dikenal aktif mengajak pekerja untuk mogok dan bergabung dalam gerakan menentang kudeta. Istrinya, Khin Sabel Oo, menyebut bahwa polisi datang dan menangkap suaminya.
Dengan penangkapan Lu Ming, sedikitnya 570 orang sudah ditahan junta selepas kudeta. Selain politisi, junta juga menangkap PNS, pegawai bank, atau siapa pun yang ikut mogok dan berunjuk rasa menentang kudeta. (AP/REUTERS)